1. Pengertian
Pengertian sederhana Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu
pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang
hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasi-kan
hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Namun pengertian
sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan
kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan bagaimana sebenarnya atau
seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana
seorang pengacara meng-argumentasi-kan hukum?
Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Legal Reasoning adalah: suatu
kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa
hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan,
dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun
administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.
Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk
memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini
berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan
tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan
untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa
ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun undang-undang dan
peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu
undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan
bagi pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang
mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya
menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang hakiki.
Bagi beberapa ahli hukum formulasi tentang legal reasoning sebagaimana
disebutkan di atas mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal
reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut
mengenai: (i) reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada
saat ini, atau (ii) reasoning yang diambil dari substansi hukum yang ada itu
yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang
dihadapkan kepada hakim saat ini.
Para ahli juga berbeda pandangan mengenai formulasi tentang bagaimana hakim
memutuskan perkara, yang menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu apakah
dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum
positif yang ada mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan
semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan lain-lain?
Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang
legal reasoning yaitu:
* Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang
sedang terjadi.
* Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan
yang harus diambil atas suatu perkara yang terjadi.
* Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara,
dengan mempertimbangkan semua aspek.
2. Kerangka Analitis tentang Legal Reasoning
a. Reasoning melalui contoh
Pola dasar legal reasoning adalah reasoning melalui contoh. Namun dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang menjadi bahan perdebatan di antara
pada ahli hukum terutama di negara yang menganut case law (common law).
Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari contoh legal
reasoning yang di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh para ahli
hukum di Amerika Serikat sebagai membatasi kebebasan para hakim untuk
menggunakan kemampuannya untuk melihat kasus yang di adilinya.
Akibat doktrin yang kaku ini para hakim seakan kehilangan kebebasannya untuk
mencari perbedaan di dalam suatu kasus dengan kasus-kasus yang sudah diputuskan
terdahulu. Dalam perkembangan teori hukum para ahli mengharapkan bahwa hakim
tidak hanya berupaya melihat kasus melalui “mata” para pendahulunya, akan
tetapi juga harus dapat melihat kasus yang diadilinya melalui matanya sendiri.
Di negara yang yang menganut sistem hukum common law seperti Amerika Serikat
dan Inggris juga terjadi perdebatan mengenai penerapan legal reasoning yang
didasarkan pada doktrin “stare decisis” yang mewajibkan para hakim untuk tetap
mengacu kepada preseden dari kasus terdahulu.
Di Inggris, Prof. Montrose misalnya telah menyatakan secara explisit bahwa
dalam kerangka analitis reasoning melalui contoh, pandangan kebanyakan hakim di
Inggris, terutama pada dekade akhir-akhir ini, adalah bahwa praktek peradilan
Inggris modern membatasi kebebasan hakim Inggris untuk mengesampingkan
reasoning yang diajukan oleh pengadilan terdahulu.
Sementara Mr. Cross menyatakan keberatannya bahwa akibat dari penerapan doktrin
preseden tersebut secara kaku adalah bahwa hakim-hakim sering harus melihat
hukum melalui mata para pendahulunya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tidak
sepakat bahwa tugas hakim di Amerika hanya untuk melihat hukum sebagai suatu
yang tetap secara keseluruhan, dan menurutnya melihat hukum melalui matanya
sendiri dan bukan melalui mata para pendahulunya tidak akan membawa kepada pola
yang secara dominan merupakan penolakan dari reasoning yang diajukan oleh hakim
terdahulu atau membuat perbedaan apabila tidak terdapat alasan untuk membedakan
peristiwa yang terjadi.
b. Reasoning Kasus per Kasus
Legal reasoning yang telah tersusun melalui kasus yang sudah diputuskan oleh
hakim terdahulu diikuti oleh hakim yang mengadili kasus yang terjadi sesudahnya
dengan kegiatan mencari dan membangun legal reasoning secara kasus per kasus.
Jadi meskipun telah terjadi suatu kasus yang sejenis berkali-kali, namun dalam
menyusun argumentasi di dalam opininya, hakim harus mendasarkan legal reasoning
secara khusus untuk setiap kasus tertentu.
3. Legal Reasoning Dalam Penyusunan Konsep Hukum
Ada berbagai pihak yang menyatakan keberatannya bahwa analisis legal reasoning
ini terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus dengan
kasus yang lainnya dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-konsep
hukum (legal concepts). Memang benar bahwa persamaan antara suatu kasus dengan
kasus lain adalah terlihat dalam susunan kata-kata, dan ketidakmampuan untuk
mengungkapkan kesamaan atau perbedaan akan menghambat perubahan hukum.
Kata-kata yang ditemukan di dalam suatu putusan kasus di masa lalu mempunyai
ketetapannya sendiri dan mengendalikan keputusan yang telah diambil itu.
Sebagaimana diutarakan oleh Judge Cardozo dalam membicarakan suatu metofora,
bahwa: “suatu perkataan dimulai dengan kebebasan dalam berpikir dan berakhir
dengan memperbudaknya”.
Pergerakan dari suatu konsep ke dalam dan keluar bidang hukum harus menjadi
perhatian. Jika suatu masyarakat yang telah memulai untuk memperhatikan
pentingnya kesamaan atau perbedaan, maka perbandingan akan timbul dengan
kata-kata. Apabila kata-kata itu akhirnya diterima, maka ia akan menjadi konsep
hukum.
Dalam penyusunan konsep hukum berdasarkan legal reasoning ini terjadi lingkaran
konsepsi hukum sebagai berikut:
Tahap yang pertama adalah penciptaan konsep hukum yang terjadi sebagaimana
diutarakan di atas yaitu dengan membandingkan suatu kasus dengan kasus-kasus
yang lain, kemudian tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut
sedikit banyaknya menjadi suatu yang tetap, meskipun reasoning melalui contoh
terus berlangsung untuk mengklasifikasikan hal-hal yang ada di luar dan di
dalam konsep tersebut. Tahap ketiga adalah tahap di mana terjadi keruntuhan
konsep tersebut, apabila reasoning melalui contoh kasus telah bergerak ke depan
dan membuktikan bahwa ketetapan yang dibuat melalui kata-kata tidak lagi
diperlukan, dan dimulai lagi penciptaan konsep hukum yang baru, dan kemudian
mengalami reasoning kembali, demikian seterusnya yang terjadi sebagai suatu
lingkaran yang tak terputus.
4. Sifat Induktif dan Deduktif Dalam Legal Reasoning
Adalah telah menjadi pendapat yang umum bahwa proses reasoning dengan
berdasarkan case law adalah cara berpikir induktif dan bahwa reasoing dengan
menggunakan undang-undang adalah cara berpikir deduktif. Namun pendapat ini
tidak sepenuhnya benar. Dengan menggunakan case law konsep yang tercipta di
dapat dari contoh-contoh yang tertentu. Hal ini tidak mencerminkan induktif
sepenuhnya, tetapi arahnya memang dari khusus ke umum. Telah dibuktikan bahwa
ketentuan umum mendapatkan artinya dalam hubungan-hubungan yang terjadi pada
kasus-kasus khusus. Akan tetapi ia juga mempunyai kemampuan untuk mendorong
implikasi dari kasus yang menjadi hipotesis yang dibawanya dan bahkan dengan
kemampuan untuk mendorong kategori yang lain yang mempunyai kesamaan. Kata-kata
“bahaya yang ada” misalnya mengandung arti “dekat”, “terkait” dan juga “jelas”.
Dengan demikian kata-kata ini mendorong suatu contoh kasus yang terjadi untuk
dimasukkan ke dalam kategori yang sama, dan jika itu terjadi maka akan
merupakan cara reasoning yang deduktif.
Sedangkan dalam penerapan reasoning melalui undang-undang adalah datang dari
arah yang berlawanan. Suatu kata-kata telah disusun di dalam undang-undang, hal
ini tidak dapat dipandang ringan karena kata-kata tersebut merupakan kemauan
pembuat undang-undang (legislatif). Pihak legislatif mungkin saja menyimpan
suatu kasus tertentu di dalam pikirannya, tetapi yang dikeluarkan adalah
kata-kata yang berbentuk terminologi umum.
Jadi dalam pelaksanaan undang-undang, keinginan legislatif adalah penting,
tetapi kata-kata yang digunakan tidaklah cukup jelas untuk dimengerti.
Laporan-laporan dan catatan dalam penyusunan undang-undang mungkin dapat
menolong. Rancangan-rancangan undang-undang terdahulu akan menunjukkan
perubahan yang terjadi, tetapi bagaimanapun juga akan sulit untuk menemukan
keinginan yang pasti dari pihak legislatif, untuk itu diperlukan keahlian dalam
menafsirkan undang-undang untuk menyusun legal reasoning melalui undang-undang.
Dengan demikian dipandang bahwa penyusunan legal reasoning berdasarkan
penafsiran undang-undang adalah melibatkan cara berpikir yang deduktif. Karena
ketetapan yang diambil dari kata-kata yang ada di dalam undang-undang yang
sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus tertentu secara khusus.
Dalam mengkaji suatu peristiwa dan/ atau perbuatan hukum, proses legal
reasoning diperlukan untuk menjaga agar peristiwa atau perbuatan hukum tersebut
tetap berada dalam koridor ketentuan hukum yang berlaku. Dalam penyusunan
undang-undang, peraturan pemerintah, maupun dalam penyusunan peraturan internal
di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini dilakukan untuk menjaga agar
tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undang-undang atau peraturan
lainnya. Demikian pula, untuk menyelesaikan suatu sengketa hukum yang terjadi,
proses legal reasoning sangat diperlukan, untuk mendapatkan esensi dari
sengketa agar dapat menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya dalam lingkup hukum
yang berlaku.
5. Peranan Interpretasi dalam Legal Reasoning
Pentingnya peranan interpretasi ini timbul dari berbagai dasar di antaranya,
bahwa interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari
penyelesaian, atau setidaknya untuk mencari jawaban yang dapat disampaikan
terhadap suatu problem ketidakpastian bahasa dalam menentukan pengertian
perundang-undangan. Jika suatu kata atau kalimat di dalam perundang-undangan
tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat dijadikan suatu
dasar hukum melalui proses legal reasoning, maka haruslah ada pihak yang
menjadi penafsirnya yang memberi arti melalui proses interpretasi. Peranan
pandangan ahli filsafat hukum (di antaranya Ronald Dworkin) sangat membantu
dalam memperkenalkan teori hukum sebagai “interpretative concept” yang membawa
pengaruh terhadap kegiatan hakim dan para ahli teori hukum dalam memberi
kontribusi terhadap peranan interpretasi dalam legal reasoning.
Interpretasi merupakan suatu konsep Janus-faced, yaitu yang harus
mempertimbangkan dua arah, backward dan forward looking, yaitu: mencari dasar
ke belakang (konsep hukum yang sudah ada) dan merancang ke depan (menyusun
konsep baru), dengan kata lain interpretasi tentang sesuatu adalah interpretasi
tentang “sesuatu“, haruslah terlebih dahulu dianggap bahwa ada sesuatu, yang
original, yang akan ditafsirkan dan terhadap apa penafsiran yang absah itu
dilaksanakan, jadi harus dibedakan antara interpretasi dengan penciptaan murni,
akan tetapi interpretasi juga bukan hanya merupakan upaya untuk melakukan
reproduksi tetapi juga untuk membuat sesuatu atau mengambil sesuatu keluar dari
yang aslinya.
Dari pengertian yang dualistis tersebut dapat dikatakan bahwa interpretasi
mempunyai peranan yang penting pada dua hal dalam legal reasoning, yaitu: (i) dalam
reasoning untuk menyusun substansi hukum yang ada pada masalah/ kasus yang
terjadi, dan (ii) dalam menyusun reasoning dari substansi hukum yang ada untuk
mendapatkan keputusan dalam masalah/ kasus yang sedang dihadapi.
Di Amerika Serikat terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dalam menafsirkan
konstitusi, hakim harus berupaya untuk menelusuri bagaimana ketentuan-ketentuan
dalam konstitusi itu dari semula diartikan oleh pihak yang mengesahkannya.
Pendekatan ini menyatakan semakin dekat dengan pengertian aslinya maka semakin
“benar” penafsiran tersebut (dikemukakan oleh Bork, 1990). Pendekatan ini
menekankan pentingkan konsep backward-looking. Sedangkan Levinson (1982)
menekankan pentingnya inovasi dan menolak originalisme yang diajukan Bork.
Levinson berpendapat bahwa konstitusi perlu ditafsirkan secara kreatif karena
adanya ketidakpastian bahasa dalam undang-undang (konstitusi).
Seberapa besar peranan persyaratan bahwa hakim harus yakin terhadap sesuatu
yang harus ditafsirkan menjadi hambatan dalam penafsiran hukum, dan adakah
hambatan lainnya bagi hakim dalam penafsiran hukum?
Menurut Owen Fiss (1982) aturan disiplin dalam bentuk standar yang diterapkan
bagi profesi hakim menjadi penghambat terhadap penafsiran yuridis yang akan
dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara, demikian pula peraturan tentang
penggunaan bahasa yang dari semula sudah merupakan hambatan para pengguna untuk
mendapatkan arti yang sebenarnya dari teks undang-undang.
Raz (1996) menolak dua jenis teori umum tentang interpretasi, yaitu teori
“operasional” (recipe-like theories) yang dirancang untuk menjadi panduan bagi
hakim untuk mendapatkan putusan yang tepat bagi kasus yang diadilinya, dan
teori yang meskipun tidak ditujukan sebagai panduan bagi hakim dalam mengambil
keputusan yang tepat akan tetapi dirancang untuk memberikan kriteria untuk
membedakan interpretasi yang baik dengan interpretasi yang tidak baik. Akan
tetapi Ronald Dworkin mendukung adanya teori umum tentang interpretasi yang
dapat digunakan kegiatan penafsiran hukum. Bagi Dworkin, adalah merupakan
tujuan semua interpretasi hukum untuk secara konstruktif menafsirkan praktek
hukum di dalam masyarakat, dengan menekankan tujuannya berupa: membuat suatu
kemungkinan adanya contoh terbaik yang dapat diambil dari interpretasi, akan
tetapi menurut Dworkin hal itu bukan berarti memberikan panduan yang
recipe-like yang memandu hakim langkah demi langkah yang terancang untuk
memberikan keputusan yang terbaik.
Teori tentang penafsiran yang lazim dianut di Indonesia berlatarbelakang dari
ilmu hukum dogmatis yang bertolak dari tata hukum yang ada dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dalam rangka memberi arti agar dapat dimengerti
secara umum melalui interpretasi yang bertujuan memberi makna terhadap
ketentuan-ketentuan hukum yang ada di dalam undang-undang. Interpretasi
merupakan metode yang khas bagi ilmu hukum. Namun, di Indonesia telah ada
pendapat yang berpengaruh bahwa adakalanya penafsiran undang-undang tidak
diperlukan, sebab teks undang-undang itu sudah terang dengan sendirinya,
mengerti kalimat atau kata dalam undang-undang berarti sudah menafsirkannya.
Ada beberapa jenis penafsiran yang ada dalam sistem hukum di Indonesia, yaitu:
a. Penafsiran penambah
Akan tetapi terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa penafsiran terhadap
undang-undang diperlukan, yaitu apabila teks undang-undang mengandung arti yang
samar-samar, penafsiran yang utama ada di dalam penjelasan undang-undang itu
sendiri.
b. Penafsiran pelengkap
Memahami klausula dalam undang-undang dengan melakukan interpretasi penambah,
ternyata belum lengkap, karena kelengkapan yang dituju di bidang hukum tidak
mungkin keseluruhannya ditentukan oleh undang-undang, hanya sebagian yang
sesuai dengan rasa keadilan yang muncul dari teks undang-undang, sedangkan sebagian
lagi tetap membisu di dalam teks itu. Untuk itu diperlukan pencapaian untuk
sampai kepada pengertian undang-undang yang sesungguhnya sehingga benar-benar
dimengerti bagaimana undang-undang tersebut berfungsi dalam kehidupan. Ilmu
hukum bukan suatu sistem yang tertutup melainkan merupakan sistem yang terbuka
bagi pertimbangan-pertimbangan baru. Suatu penafsiran pelengkap didapatkan
melalui suatu penelitian di lapangan, untuk mendapat informasi tambahan bagi
suatu penafsiran yang tepat, karena mustahil bagi pembuat undang-undang untuk
memikirkan semua situasi yang dapat muncul.
c. Penafsiran budaya
Di samping kedua penafsiran tersebut di atas masih terdapat suatu penafsiran
yang bersifat total, yang disebut dengan penafsiran budaya, yaitu penafsiran
perkara/ kasus di bawah pengaruh keyakinan suatu masyarakat tertentu yang bukan
bersifat politis akan tetapi bersifat sosial etis, yang menentukan apakah suatu
perkara/ kasus atau masalah merupakan hal yang layak di masyarakat tertentu.
Keberatan terhadap teori ini adalah bahwa keyakinan sosial etis sudah ada
sebelum adanya ketentuan hukum atau argumen-argumen yuridis yang cocok. Oleh
karena itu, keyakinan-keyakinan sosial etis itu harus digabungkan dengan
argumen yuridis murni, agar dapat menjadi argumen yang meyakinkan, dengan
demikian argumen tersebut tidak subjektif lagi, dan menjadi penafsiran yuridis
yang layak.
6. Peranan Koherensi dalam Legal Reasoning
Beberapa ahli berpendapat (Kress, 1984; Marmor, 1992; Raz, 1994) bahwa teori
koherensi yang mempunyai hubungan sejak dulu dengan filsafat, akhir-akhir ini
mendapatkan tempatnya di dalam filsafat hukum. Teori koherensi dalam hukum juga
mempunyai pengaruh dalam konteks teori koherensi tentang kebenaran, kepercayaan
yang sah, etika dan keadilan. Teori Dworkin tentang hukum sebagai integritas
sebagai pendukung teori koherensi tempaknya menjawab pertanyaan ini secara
lengkap: koherensi, dalam penafsiran hukum sebagaimana berbicara dengan satu
suara dengan integritas mengharuskan adanya nilai yang ditengarai mempunyai
hubungan yang relevan dengan kenyataan hukum, dalam arti bahwa ia mempunyai
peranan dalam memandu hakim untuk mencapai suatu keputusan yang adil. Harus
diperhatikan pula bahwa ketentuan-ketentuan hukum seperti doktrin preseden,
argumen dari analogi, dan keharusan memperlakukan suatu kasus sama seperti
kasus sebelumnya tampaknya diperkuat melalui beberapa penjelasan tentang
koherensi.
Mac Cormick (1984) memandang koherensi dalam bentuk kesatuan azas-azas pada
sistem hukum, dan menyatakan bahwa koherensi dari satu kesatuan norma hukum
terdiri dari keterhubungan mereka baik dalam bentuk realisasi suatu nilai atau
nilai-nilai yang sama, atau dalam bentuk pemenuhan suatu prinsip atau
prinsip-prinsip yang sama. Raz (1994) juga memandang koherensi dalam hukum
dalam bentuk kesatuan prinsip. Semakin menyatu prinsip-prinsip yang mendasari
putusan hakim dan tindakan legislatif dalam menyusun undang-undang, semakin
koheren hukum yang dicapai.
Menurut Raz (1994) teori koherensi apabila diterapkan dalam hukum, mengharuskan
adanya “dasar”atau sesuatu yang harus dibuat koheren, yang membedakan dalam
karakternya secara krusial dari dasar-dasar lain yang ada dalam ranah koherensi
di wilayah filsafat lainnya.
Raz berpendapat bahwa putusan yang terbaik adalah putusan atas suatu kasus yang
secara moral didasarkan kepada putusan yang koheren dengan hukum yang berlaku,
hakim harus menanamkan di dalam pikirannya bahwa jika mereka memilih suatu
jalan/ cara terdahulu, dan muncul beberapa masalah seperti terbenturnya mereka pada
perselisihan hukum yang mencerminkan perselisihan tujuan sosial dan ekonomi
terhadap hukum dan karena itu menciptakan ketidakseimbangan dengan doktrin
hukum yang berlaku, maka hal ini tidak berarti bahwa legislator harus menyusun
hukum yang bertentangan dengan doktrin yang telah diterima di masa lalu, karena
legislator mempunyai kewenangan untuk mengabaikan doktrin yang lalu dalam
memperkenalkan peraturan yang baru, dan untuk itu dapat mereformasi seluruh
area hukum terkait.
Sebaliknya hakim hanya dapat mengambil putusan mengenai masalah yang timbul
dalam suatu kasus hukum yang dibawa ke depannya, dan tidak berwenang untuk
melakukan reformasi hukum secara radikal. Hal ini menjadi alasan bahwa hakim
harus memberi bobot yang lebih bagi koherensi dengan hukum yang berlaku dalam
memutuskan kasus yang dibawa kehadapannya.
Namun, Dworkin mempunyai pandangan yang berbeda dalam hal ini, baginya baik
hakim maupun hali hukum teoretis harus memberi penjelasan bagaimana mereka
sampai kepada suatu kesimpulan yang menciptakan hukum. Dworkin menyatakan bahwa
hukum adalah suara yang tersusun dan koheren sebagaimana suatu kumpulan
prinsip-prinsip yang berhubungan dimana setiap anggotanya menerima kenyataan
bahwa mereka terhubung dengan kenyataan bahwa hak-hak dan tanggungjawab mereka
diatur dengan prinsip yang umum.
Dworkin mendukung pandangan koherensi global, ia menyatakan bahwa keputusan
pengadilan yang tepat adalah yang didasarkan kepada koherensi yang baik dengan
hukum secara keseluruhan. Sedangkan Lavenbook (1984) mendukung pendapat tentang
koherensi global, ia mengkritik pandangan koherensi global, ia menyatakan bahwa
keunggulan koherensi global mengabaikan fakta bahwa adakalanya putusan yang sah
secara hukum didukung oleh, dalam hubungannya yang koheren dengan prinsip-prinsip
yang merupakan wilayah suatu bidang hukum tertentu, akan tetapi prinsip
tersebut berbeda secara substansial dengan, dan oleh karena itu tidak koheren
dengan prinsip dari bidang hukum lain. Dalam pandangan ini, suatu putusan
pengadilan yang sangat koheren dengan prinsip hukum di bidang tertentu dapat
saja tidak menghasilkan koherensi dengan keseluruhan sistem hukum.
7. Preseden dan Analogi dalam Legal Reasoning
Argumen dari preseden dan analogi merupakan hal pokok dalam legal reasoning,
legal reasoning ini berbeda dalam beberapa hal dari reasoning yang umum
dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Preseden merupakan contoh yang
baik dalam hal ini, dalam kehidupan sehari-hari, orang pada umumnya tidak
mempertimbangkan kenyataan bahwa ia telah memutuskan sesuatu pada masa lalu
dalam mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapinya dan yang akan
diputuskannya di masa depan. Berbeda dengan preseden di bidang hukum, meski
hukum bukan satu-satunya bidang di mana orang akan mempertimbangkan keputusan
terdahulu dalama mengambil putusan terhadap masalah yang dihadapi, berbagai
praktek lembaga juga memberi bobot yang cukup signifikan terhadap pertimbangan
putusan masa lalu dalam mengambil putusan selanjutnya. Dalam suatu lembaga
biasanya pengambil keputusan akan selalu mengacu kepada apa yang diputuskan
sebelumnya sebagai pertimbangan mengenai apa yang harus mereka lakukan saat
ini, tanpa memandang apakah keputusan yang diambil di masa lalu sudah benar
atau tidak.
Demikian pula pengambil keputusan di suatu lembaga selalu mempertimbangkan
keputusan sebagai suatu kejadian yang relevan meskipun masalah yang dihadapi
adalah berbeda dari masa lalu, yaitu dengan mengutipnya sebagai suatu analogi.
Mereka beralasan bahwa karena keputusan yang lalu dibuat dalam suatu peristiwa,
maka akan tidak konsisten apabila sekarang diambil keputusan yang berbeda.
Dengan Legal reasoning kita dapat memberi pertimbangan terhadap apa yang telah
diputuskan di masa lalu tanpa memandang kehadiran para pembuat keputusan secara
personal waktu itu. Dengan legal reasoning kita dapat mempertimbangkan apakah
putusan masa lalu telah diambil secara tepat, akan tetapi fokus utama adalah
bahwa keputusan yang diambil saat ini haruslah tepat dan tidak dihambat oleh
pandangan tentang masalah terdahulu.
Analogi sebagai argumen dalam legal reasoning adalah bahwa suatu kasus harus
diperlakukan dengan suatu cara tertentu karena dengan cara itu pula kasus yang
serupa telah diperlakukan. Argumen dengan analogi ini menjadi tambahan bagi
doktrin preseden dalam dua hal yaitu: (i) analogi digunakan apabila fakta-fakta
dalam suatu kasus tidak masuk dalam ratio suatu preseden, untuk dapat
digabungkan hasilnya dalam kasus yang sama, (ii) analogi digunakan apabila
fakta-fakta dalam suatu kasus masuk ke dalam ratio suatu preseden, sebagai
dasar untuk membedakan kasus yang sedang ditangani dari preseden yang ada.
Analogi sebagaimana preseden muncul dalam konteks doktinal. Kasus yang sedang
ditangani memunculkan masalah hukum, misalnya mengenai apakah persetujuan pihak
korban meniadakan tuntutan hukum mengenai perkosaan, atau apakah pembakaran
bendera merupakan bentuk penghinaan terhadap negara? Suatu analogi dapat
mengenai suatu kasus atau pula mengenai suatu doktrin hukum dan analogi
tergantung kepada karakter yang sama pada dua kasus yang terjadi atau dua
doktrin hukum yang ada yang releven terhadap masalah yang terjadi.