Selasa, 12 November 2013

TEORI   HUKUM  DAN PSSI
Zainal Asikin

Begitu lama  Persepakbolaan Indonesia mengalami lesu darah akibat  konflik yang terus  terjadi diantara  para  pengurus PSSI,  konflik antara PSSI  dan para anggota  LIGA  PSSI,  konflik antara  supporter..!   Sampai  kemudian ditengah keributan yang terjadi di Gelora Bung Karno,  Menpora  yang akhli HITI  mencoba menenangkan penonton dengan mengambil alih microfon  dan mengajak  hadirin menyanyikan  lagu  SATU NUSA  SATU BANGSA……tetapi persis  ditengah  tengah lagu  sang Menteri lupa syairnya dan lagupun terhenti  (  persis seperti  Grup Band Kuburan  yang punya syair lupa).    
Itu sisi gelap  PSSI dan persepakbolaan Indonesia  sebelum akhirnya PSSI U19   menjuarai piala  kompetisi tingkat ASEAN  di Stadion Sidoarjo  melawan Vietnam dengan ADU PINALTI.   Maka  darah segar PSSI  mulai mengalir melalui anak anak  GARUDA  MUDA  dengan Kapten  IVAN  DIMAS.     Anak ini memang  luar  biasa  lahir dari  sebuah Klub Sepakbola Persebaya  1927   yang tidak diakui PSSI  tapi mampu menyumbangkan  kehebatannya dengan menyumbang  3  gol  untuk kemenangan PSSI membabat  KOREA  yang telah menjadi juara bertahan  12 kali.     Bak seorang  filosof   , IVAN  DIMAS  mengatakan  tidak ada yang tidak  bisa dikalahkan selain TUHAN, dan tidak ada yang  harus ditakuti selain TUHAN, begitu ia ditanya mengenai  peluang  melawan  KOREA.
Dan semua pemain mendapat  pujian,  semua mendapat tawaran menjadi bintang IKLAN dengan  bayaran  300 juta satu kali jepret. Bolehkah  ?    Tapi  mereka menjawab    semua orang butuh uang, tapi yang lebih penting kepentingan  Negara “.    Persoalannya  adakah  Negara  menjamin kehidupan anak anak  muda itu di masa depan terhadap kehidupan ekonomi dan pendidikanya.   Karena dengan  kegiatan yang padat  berlatih  menghadapi piala dunia di Myanmar  2014  maka nyaris anak anak ini akan terbekengkalai  pendidikannnya.  Belum lagi  tentang kesulitan ekonomi  orang orang tua mereka di kampong halaman.
Karut Marut di atas adalah suatu kompleksitas persepakbolaan tanah air. Untung masih ada Indra Syafii yang rela melatih  meski sudah  6 bulan  belum dibayar  gajinya   sebagai  pelatih.   Dan sang pelatih yang  bekumis ini tetap  optimis mengatakan kiblat sepak bola diu= ASIA  bukan lagi di Korea….tetapi di Indonesia, dan  dia akan tetap  mencari bibit muda di daerah daerah  untuk  memperkuat team sepakbola  muda Indonesia.  Lho  memang selama ini  PSSI  tidak pernah melakukan  pencarian bakat ke daerah daerah….atau  memang PSSI  hanya terima jadi  meskipun yang  diambil bukan bibit unggul tapi pemain sepakbola  titipan.
Nampaknya  berbagai  masalah di atas, belum pernah terurai  dihadapan saya melalui  pendekatan  yang sistemis  , dan terlihat  bagaimana  harusnya  Hukum dipakai untuk mengatur, merekayasa olah raga  secara lebih professional. Oleh sebab  itu  saya berharap  Saudara  membuat  makalah  PEMBANGUNAN  Persepakbolaan di Indonesia melalui pendekatan hokum yang  komperehnsif.  Bidang apa saja yang  perlu pengaturan.
Selamat  bekerja. 



CERITA WAWASAN  SEMPIT ALA BUKU KUNING

Tahun 90 –an,  NTB digemparkan  oleh persoalan  BUKU  KUNING, mungkin TG.Hasanain Juaini waktu itu masih belum pulang kampung menuntut ilmu dari Timur Tengah. Buku Kuning memuat nama nama orang orang NTB  ( Tokoh Politik,Tokoh Budaya, Tokoh Masyarakat)  yang konon dianggap  berbahaya  sehingga tidak layak menduduki tampuk pemerintahan, dan mereka  itu di juluki   berwawasan sempit”.     Ternyata  BUKU  KUNING  dan istilah “ wawasan sempit “  itu adalah sebuah rekayasa  ORDE BARU yang tidak menginginkan orang orang daerah  tampil sebagai Gubernur dan Bupati, sehingga Gubernur dan Bupati itu harus dipegang oleh orang orang yang tidak berwawasan sempit yaitu orang luar NTB terutama  para militer.  Jadi  walaupun orang NTB banyak yang profesor, doctor dan  akhli di Birokrasi,…jangan mimpi ingin jadi pejabat di NTB  jika sudah masuk dalam BUKU KUNING itu.   Maka tidak mengheranan ketika itu yang jadi Bupati NTB  hamper seluruhnya militer, kecuali satu yang putra daerah (sipil)  yaitu  Drs H.Lalu Mujitahid  sebagai  Bupati  Lombok .
Istilah  “wawasan sempit , ekstrim kiri  ( PKI)  , ekstrim kanan  ( Islam),  daerah rawan,  mono loyalitas dan sebagainya adalah istilah istilah  rezim Orde Baru  yang sengaja direkayasa melalui Ali Moertopo (sebagain tangan kanan Soeharto)  sehingga bagi siapa saja yang diberi label tersebut “ haram hukumnya bisa menjadi pemimpin “.    Jadi betapa menakutkan  istilah .  
Dan laksana para sang Nabi ,  pendekar Odre Baru   seolah olah menghembuskan kata kata suci (yang busuk) dengan jargon  “ basmi  KKN  ( Kolusi, Korupsi  dan Nepotisme), padahal sebagaimana diketahui rezim Orde Barulah yang paling  KKN di dunia ini.   Para pebisnis tidak akan bisa hidup tanpa menjadi bagian lingkar kekuasaan Orde Baru sehingga perusahaan yang mengerjakan Proyek di NTB waktu itu adalah perusahaan yang dibawa oleh –penguasa  pusat  atau yang  setidak tidaknya yang bisa ber KKN dengan penguasa Orde Baru yang di drop ke NTB.
Singkat kata  istilah  putra daerah sama sekali dihapus dari kamus Orde Baru, karena menyebut kata Putra Daerah ( Pribumi)  sama dengan menantang kekuasaan dan menantang Orde Baru.  Maka atas nama kekuasaan, putra daerah tidak boleh menjadi pemimpin.
Seiring dengan tumbangya Orde Baru dan munculnya Reformasi, maka  tidak ada lagi dikotomi  , tidak lagi ada perbedaan antara Putra Pribumi dan Non Pri  karena semua warganegara dimana saja berhak menjadi pemimpin, baik putra daerah dan bukan putra daerah sepanjang bisa terpilih secara langsung dalam PILKADA, baik  dalam jajaran Legislatif dan Eksekutif. 
Mengapa  ?  karena sejatinya  pada Negara Indonesia ini terlalu sulit untuk menentukan siapa yang dimaksud dengan warga pribumi dan warga non pribumi, siapa yang dimaksud dengan putra daerah dan bukan  putra daerah  .  Apakah seseorang yang lahir dan besar  di  Jawa  kemudian nyalon jadi anggota Legislatif di NTB  termasuk putra daerah   , meski  Bapak dan Ibunya orang NTB  ?      Apakah orang yang lahir di NTB dan hidupnya lebih dari 40 tahun di NTB (tapi bapak  ibunya orang luar NTB) termasuk bukan putra daerah ?  dan berbagai persoalan muncul berkenan dengan kriteria yang sulit dijelaskan .
Oleh sebab itu menjelang Tahun 2014,  ketika pesta demokrasi akan terjadi, maka sebaiknya tidak usah lagi menghebuskan istilah “ pri dan non pri, istilah putra daerah dan bukan putra daerah  “ yang dulu digelontorkan oleh Orde Baru.   Saatnya sekarang kita memilih putra terbaik Indonesia yang berkompetisi di NTB ini secara lebih dewasa dan obyektif .     Siapa yang lebih banyak berbuat untuk NTB-lah yang menjadi pilihan  ketimbang memilih orang yang mengaku ngaku  orang NTB  tapi tidak pernah menunjukan  aktifitas sosialnya di NTB.
Maka sekali lagi pilihan kita adalah seberapa banyak ia berbuat untuk NTB, bukan seberapa banyak ia menonton dari luar NTB.   Trimakasih.