AWAS ADA
SENGKUNI DALAM KONFLIK
DI NTB
A.
Pengantar
Tak
ada tokoh setenar Sengkuni untuk hal-hal yang bersangkutpaut dengan kelicikan
dan kebusukan. Jika pada figur ‘orang-orang kiri’ semisal Burisrawa, Durna dan
Jayadatra kita masih bisa menemukan sisi baik meski samar-samar, maka
sepertinya hal ini tak berlaku pada Sengkuni.
Tak
terbantahkan bahwa Sengkuni alias Haryo Suman adalah tokoh antagonis tulen.
Masyarakat tradisional Jawa memakai nama Sengkuni untuk menjuluki orang paling
tidak disukai di lingkungannya. Di masa lalu, dalam pentas wayang kulit yang
melibatkan Sengkuni, setelah pertunjukan masyarakat melarung wayang Sengkuni ke
laut Selatan sebagai simbolisme penolakan karakter jahat yang
dipersonifikasikan pada tokoh ini.
Membicarakan
Sengkuni bukanlah dalam konteks untuk mencela, juga bukan dalam rangka
mengadopsi wataknya yang angkara murka, namun lebih pada mewaspadai bahaya
laten yang mungkin muncul dan telah muncul disekitar kita
berupa konflik vertical dan
horizontal . Mendiskusikan
Sengkuni selalu relevan pada setiap kondisi karena di masyarakat nyaris ada
orang-orang yang berpotensi menjadi penghasut, pengacau dan oportunis yang
hipokrit.
Inilah Sengkuni, yang pada mulanya
adalah seorang pangeran yang tampan, namun kemudian menjadi buruk rupa sebagai
akibat ulahnya sendiri. Sengkuni mempunyai pusaka berwujud Cis (tongkat pendek
untuk memerintah gajah) yang mempunyai khasiat dapat menimbulkan air bila
ditancapkan ke tanah..
.Puncak kelicikan Sengkuni adalah
upaya pembunuhan Kunti dan para Pandawa dalam Lakon Bale Sigala-gala. Atas ide
Sengkuni, Kurawa membangun sebuah rumah peristirahatan bagi Kunti dan Pandawa
dari kayu yang mudah terbakar. Tak hanya itu, mereka juga menyajikan makanan
dan minuman yang dalam mampu menidurkan dalam sekejab, kemudian mereka membakar
rumah kayu itu di saat Kunti dan Pandawa tertidur lelap. Hanya kewaskitaan Bima
membuat ibu dan anak itu selamat. Perang Bharatayudha adalah akhir riwayat
Sengkuni. Meski ia kebal senjata oleh khasiyat Minyak Tala, ia dikalahkan
Pandawa di perang antar keturunan Kuru ini. Ia mengakhiri hidupnya dengan
tragis, digigit oleh Duryudana lalu jasadnya dilumatkan oleh Gada Rujakpolo
milik Bima.
B.
Konfik di NTB
Kita menyaksikan betapa secara tidak terduga sering terjadi
konflik di tengah masyarakat (khususnya di NTB), dan
terakhir terjadi di Kabupaten Sumbawa. Berbagai teori telah diungkap oleh para pakar tentang penyebab konflik
dengan pendekatan yuridis
dan sosiologis , dan
berapa kali penelitian dan seminar
telah dilakukan untuk merumuskan cara cara meredam konflik. Tapi
konflik tetap saja terjadi.
Maka perlu kiranya
sedikit bercermin pada pendekatan
budaya dan berkesenian,
bahwa konflik terjadi karena ada
“ juru hasut, juru fitnah, juru provokasi “ yang
bekerja dengan ilmu “ Cis
“ yang dipunyai Sengkuni.
Jika Sengkuni
memiliki “ CIS “ atau tongkat pendek
untuk memerintah gajah, maka pada era
modern sekarang ini maka ilmu yang
dimliiki para Sengkuni adalah SMS yang bisa menghasut dan memerintah manusia untuk tunduk dan percaya pada pesan
SMS.
Siapa sebenarnya para Sengkuni
yang ada di era modern sekarang ini ?
Jawabnya sama dengan Sengkuni pada cerita Pewayangan. Sengkuni bukanlah orang sembarangan atau
orang orang yang tidak mengerti dan dari kalangan orang biasa. Sengkuni, pada galibnya adalah orang
orang cerdas dan orang orang
pilihan. Bahkan Sengkuni awalnya adalah seorang “ pangeran
yang tampan “, tetapi kemudian menjadi
buruk karena kelakuannya.
Sengkuni di zaman modern ini adalah “ kumpulan orang orang berpendidikan “ yang
pandai menggunakan tehnologi ( HP
dan sejenisnya sebagai senjata provpokasi), Sengkuni modern adalah
orang yang lihai memainkan fakta dan
logika untuk mengecoh opini masyarakat.
Sengkuni modern adalah orang terdidik, tapi
karena tidak berhasil masuk dalam riuh rendah lapangan kerja yang dijanjikan maka jadilah
mereka menjadi penganggur tersembunyi , penganggur terdidik dan
menggumpal frustrasi dan akhirnya melahirkan tempramen garang seperti
Sengkuni, dan biasa menerima bayaran untuk demonstrasi dengan berbagai tarif. Tarif
yang telah ditawarkan Sengkuni di NTB adalah Rp, 50 000
untuk sekedar ikut naik kendaraan Truck melambaikan bendera dan
spanduk tanpa ikut berteriak.
Jika ikut berteriak, maka tariff
yang didosorkan Sengkuni adalah Rp. 100.000.
Nah yang terakhir, jika ikut naik Truk, Berteriak dan melempar dan membakar
tarifnya lain lagi.
Sengkuni modern ( termasuk di NTB) adalah kumpulan orang orang yang gagal dalam
mengambil bagian dalam politik dan pernah
terkecewakan oleh politik.
Politik yang dulu dianggap sebagai rumah masa depan, ternyata telah menghabiskan masa depannya akibat kejam dan
hitamnya politik, kawan jadi lawan, teman jadi musuh, saudara menjadi kurawa, tawa menjadi
tangis. Semuanya akibat ketidak siapan
kita menghadapi reformasi politik dan demokrasi
yang kurang tertata secara substantive.
Maka ketika kita
ingin menyelesaikan konflik di NTB tidak
cukup hanya dengan menangkap
masyarakat yang hanya sekedar
tersulut emosi, atau hanya menyelesaikan sesuatu yang ada di permukaan. Maka penyelesaian konflik adalah memulai dengan merancang ulang sebuah kebijakan. Ada kebijakan yang salah dalam pengelolaan sumber daya manusia , sumber daya
ekonomi, politik dan lapangan kerja,. Kebijakan
yang menciptakan Sengkuni Sengkuni baru
di NTB. Ada ketidak adilan, ada ketimpangan, ada kesombongan, dan ada
nilai kepantasan yang telah sirna.
Persoalan konflik antar
etnis di Sumbawa bukan pertama
kali, tapi pernah terjadi 20 tahun yang
lalu dengan modus yang hampir sama yaitu “ kebijakan yang salah dalam pembagian
sumber daya ekonomi .
Ada kesalahan dalam kebijakan “ penempatan SDM atau
personalia petugas keamanan di suatu wilayah “ yang berpotensi menciptakan
gesekan cultural. Jika di Aceh
polisi harus berbusana Muslim (bagi
Polwan). Maka di NTB
yang mayoritas penduduk muslim tentunya
ada pendekatan keamanan yang khusus dari pemangku keamanan.
Maka tugas DPRD dan Pemerintah adalah merencanakan kebijakan
yang melahirkan keadilan, kepantasan, kesejahteraan yang jauh dari konflik.
C.
Kesimpulan
Menyelesaikan konfiik di era modern sekarang ini, tidak
cukup dilakukan dengan pendekatan keamanan. Jika dulu, ketika terjadi konflik
dan kerusuhan, maka \petugas cukup menembakkan peluru hampa, maka masyarakat
lari terbitit birit, Tapi sekarang, ketika masyarakat dihadang
dengan tembakan ,,maka mereka semakin beringas dan emosi, maju terus pantang
mundur. Maka harus ada pendekatan prefentif yang
lebih dialogis dengan mempoisisikan keseimbangan harkat dan martabat
manusia. Pendekatan keamanan, hanya
mampu memadamkan api seketika, tapi
tidak untuk memadamkan sumber api yang disulut oleh Sengkuni oleh kesalahan
kebijakan.
Mari kembali menggugat kebijakan yang salah demi memenangkan kebenaran yang damai.