Selasa, 12 November 2013

TEORI   HUKUM  DAN PSSI
Zainal Asikin

Begitu lama  Persepakbolaan Indonesia mengalami lesu darah akibat  konflik yang terus  terjadi diantara  para  pengurus PSSI,  konflik antara PSSI  dan para anggota  LIGA  PSSI,  konflik antara  supporter..!   Sampai  kemudian ditengah keributan yang terjadi di Gelora Bung Karno,  Menpora  yang akhli HITI  mencoba menenangkan penonton dengan mengambil alih microfon  dan mengajak  hadirin menyanyikan  lagu  SATU NUSA  SATU BANGSA……tetapi persis  ditengah  tengah lagu  sang Menteri lupa syairnya dan lagupun terhenti  (  persis seperti  Grup Band Kuburan  yang punya syair lupa).    
Itu sisi gelap  PSSI dan persepakbolaan Indonesia  sebelum akhirnya PSSI U19   menjuarai piala  kompetisi tingkat ASEAN  di Stadion Sidoarjo  melawan Vietnam dengan ADU PINALTI.   Maka  darah segar PSSI  mulai mengalir melalui anak anak  GARUDA  MUDA  dengan Kapten  IVAN  DIMAS.     Anak ini memang  luar  biasa  lahir dari  sebuah Klub Sepakbola Persebaya  1927   yang tidak diakui PSSI  tapi mampu menyumbangkan  kehebatannya dengan menyumbang  3  gol  untuk kemenangan PSSI membabat  KOREA  yang telah menjadi juara bertahan  12 kali.     Bak seorang  filosof   , IVAN  DIMAS  mengatakan  tidak ada yang tidak  bisa dikalahkan selain TUHAN, dan tidak ada yang  harus ditakuti selain TUHAN, begitu ia ditanya mengenai  peluang  melawan  KOREA.
Dan semua pemain mendapat  pujian,  semua mendapat tawaran menjadi bintang IKLAN dengan  bayaran  300 juta satu kali jepret. Bolehkah  ?    Tapi  mereka menjawab    semua orang butuh uang, tapi yang lebih penting kepentingan  Negara “.    Persoalannya  adakah  Negara  menjamin kehidupan anak anak  muda itu di masa depan terhadap kehidupan ekonomi dan pendidikanya.   Karena dengan  kegiatan yang padat  berlatih  menghadapi piala dunia di Myanmar  2014  maka nyaris anak anak ini akan terbekengkalai  pendidikannnya.  Belum lagi  tentang kesulitan ekonomi  orang orang tua mereka di kampong halaman.
Karut Marut di atas adalah suatu kompleksitas persepakbolaan tanah air. Untung masih ada Indra Syafii yang rela melatih  meski sudah  6 bulan  belum dibayar  gajinya   sebagai  pelatih.   Dan sang pelatih yang  bekumis ini tetap  optimis mengatakan kiblat sepak bola diu= ASIA  bukan lagi di Korea….tetapi di Indonesia, dan  dia akan tetap  mencari bibit muda di daerah daerah  untuk  memperkuat team sepakbola  muda Indonesia.  Lho  memang selama ini  PSSI  tidak pernah melakukan  pencarian bakat ke daerah daerah….atau  memang PSSI  hanya terima jadi  meskipun yang  diambil bukan bibit unggul tapi pemain sepakbola  titipan.
Nampaknya  berbagai  masalah di atas, belum pernah terurai  dihadapan saya melalui  pendekatan  yang sistemis  , dan terlihat  bagaimana  harusnya  Hukum dipakai untuk mengatur, merekayasa olah raga  secara lebih professional. Oleh sebab  itu  saya berharap  Saudara  membuat  makalah  PEMBANGUNAN  Persepakbolaan di Indonesia melalui pendekatan hokum yang  komperehnsif.  Bidang apa saja yang  perlu pengaturan.
Selamat  bekerja. 



CERITA WAWASAN  SEMPIT ALA BUKU KUNING

Tahun 90 –an,  NTB digemparkan  oleh persoalan  BUKU  KUNING, mungkin TG.Hasanain Juaini waktu itu masih belum pulang kampung menuntut ilmu dari Timur Tengah. Buku Kuning memuat nama nama orang orang NTB  ( Tokoh Politik,Tokoh Budaya, Tokoh Masyarakat)  yang konon dianggap  berbahaya  sehingga tidak layak menduduki tampuk pemerintahan, dan mereka  itu di juluki   berwawasan sempit”.     Ternyata  BUKU  KUNING  dan istilah “ wawasan sempit “  itu adalah sebuah rekayasa  ORDE BARU yang tidak menginginkan orang orang daerah  tampil sebagai Gubernur dan Bupati, sehingga Gubernur dan Bupati itu harus dipegang oleh orang orang yang tidak berwawasan sempit yaitu orang luar NTB terutama  para militer.  Jadi  walaupun orang NTB banyak yang profesor, doctor dan  akhli di Birokrasi,…jangan mimpi ingin jadi pejabat di NTB  jika sudah masuk dalam BUKU KUNING itu.   Maka tidak mengheranan ketika itu yang jadi Bupati NTB  hamper seluruhnya militer, kecuali satu yang putra daerah (sipil)  yaitu  Drs H.Lalu Mujitahid  sebagai  Bupati  Lombok .
Istilah  “wawasan sempit , ekstrim kiri  ( PKI)  , ekstrim kanan  ( Islam),  daerah rawan,  mono loyalitas dan sebagainya adalah istilah istilah  rezim Orde Baru  yang sengaja direkayasa melalui Ali Moertopo (sebagain tangan kanan Soeharto)  sehingga bagi siapa saja yang diberi label tersebut “ haram hukumnya bisa menjadi pemimpin “.    Jadi betapa menakutkan  istilah .  
Dan laksana para sang Nabi ,  pendekar Odre Baru   seolah olah menghembuskan kata kata suci (yang busuk) dengan jargon  “ basmi  KKN  ( Kolusi, Korupsi  dan Nepotisme), padahal sebagaimana diketahui rezim Orde Barulah yang paling  KKN di dunia ini.   Para pebisnis tidak akan bisa hidup tanpa menjadi bagian lingkar kekuasaan Orde Baru sehingga perusahaan yang mengerjakan Proyek di NTB waktu itu adalah perusahaan yang dibawa oleh –penguasa  pusat  atau yang  setidak tidaknya yang bisa ber KKN dengan penguasa Orde Baru yang di drop ke NTB.
Singkat kata  istilah  putra daerah sama sekali dihapus dari kamus Orde Baru, karena menyebut kata Putra Daerah ( Pribumi)  sama dengan menantang kekuasaan dan menantang Orde Baru.  Maka atas nama kekuasaan, putra daerah tidak boleh menjadi pemimpin.
Seiring dengan tumbangya Orde Baru dan munculnya Reformasi, maka  tidak ada lagi dikotomi  , tidak lagi ada perbedaan antara Putra Pribumi dan Non Pri  karena semua warganegara dimana saja berhak menjadi pemimpin, baik putra daerah dan bukan putra daerah sepanjang bisa terpilih secara langsung dalam PILKADA, baik  dalam jajaran Legislatif dan Eksekutif. 
Mengapa  ?  karena sejatinya  pada Negara Indonesia ini terlalu sulit untuk menentukan siapa yang dimaksud dengan warga pribumi dan warga non pribumi, siapa yang dimaksud dengan putra daerah dan bukan  putra daerah  .  Apakah seseorang yang lahir dan besar  di  Jawa  kemudian nyalon jadi anggota Legislatif di NTB  termasuk putra daerah   , meski  Bapak dan Ibunya orang NTB  ?      Apakah orang yang lahir di NTB dan hidupnya lebih dari 40 tahun di NTB (tapi bapak  ibunya orang luar NTB) termasuk bukan putra daerah ?  dan berbagai persoalan muncul berkenan dengan kriteria yang sulit dijelaskan .
Oleh sebab itu menjelang Tahun 2014,  ketika pesta demokrasi akan terjadi, maka sebaiknya tidak usah lagi menghebuskan istilah “ pri dan non pri, istilah putra daerah dan bukan putra daerah  “ yang dulu digelontorkan oleh Orde Baru.   Saatnya sekarang kita memilih putra terbaik Indonesia yang berkompetisi di NTB ini secara lebih dewasa dan obyektif .     Siapa yang lebih banyak berbuat untuk NTB-lah yang menjadi pilihan  ketimbang memilih orang yang mengaku ngaku  orang NTB  tapi tidak pernah menunjukan  aktifitas sosialnya di NTB.
Maka sekali lagi pilihan kita adalah seberapa banyak ia berbuat untuk NTB, bukan seberapa banyak ia menonton dari luar NTB.   Trimakasih.

Senin, 26 Agustus 2013



PEJABAT  KAWIN  KAWINAN
OLEH  ZAINAL  ASIKIN
A.    Pengantar
Perkawinan adalah  lembaga sakral nan suci  oleh sebab itu lembaga perkawinan  ini tidak boleh dipermainkan.   Kata suci mengandung makna yang sangat mulia karena dimuliakan oleh Tuhan dan para Rasul.  Maka nikahlah kamu, barang siapa yang tidak menikah bukan merupakan golonganku kata Baginda Rasul.   Untuk itupula maka “  nikah atau perkawinan “ harus dilaksanakan sesuai dengan syariat agama agar perkawinan itu dapat dinyatakan syah oleh agama dan menghindari perbuatan yang dilarang agama (antara lain zinah).   Jadi syahnya  nikah menurut agama apabila  dilakukan  dengan memenuhi rukun dan sarsarat yang ditentukan oleh agama .    Persoalannya ialah apakah pernikahan atau perkawinan yang “ syah “  menurut agama  akan “ syah “  pula  menurut Negara atau Pemerintah  ?    Jawabnya  TIDAK, karena  suatu perkawinan baru dianggap syah oleh Negara apabila mengikuti hokum  Negara ( hokum positif)  yang di Indonesia diatur dalam UU No,1 Tahun 1974  Tentang Perkawinan juncto   Peraturan Pemerintah No 9. Tahun 1975.    Jadi bagi warganegara yang tidak mengikuti  peraturan  nikah menurut hokum Negara akan mengalami kesulitan terhadap  anak anak yang dilahirkannya,  karena anaknya tidak diakui oleh Negara karena tidak memiliki akta perkawinan, dan selanjutnya kesulitan dalam mengurus urusan urusan kenegaraan, menyekolahkan anak dan sebagainya.     Selanjunya  perkawinan ada juga diakatgorikan  sebagai pernikahan  sosiologis yaitu pernikahan yang harus diakui secara budaya sehingga perlu dilakukan walimah, pesta, dan berbagai kegiatan yang dikalangan Tionghoa yang cukup nikah secara adat sudah syah  tanpa melalui mekanisme perniakahan Negara.   Jelaslah bahwa soal perkawinan ternyata menyangkut soal agama ( keabsahan  etis dan religi),   keabsahan oleh Negara  (keabsahan  normative), dan keabsahan  kulturak (keabsahan sosiologis).  Dalam ilmu  hukum  ada beberapa  keberlakuan hukum  yaitu keberlakuan  yuridis (juridische geldigheid),   keberlakuan   sosiologis  (afdwingbaarheid socioloisgische), dan keberlakuan (  filosoffilosofische geldigheid)
Pertanyaannya  mana yang penting dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara ?   jawabnya bahwa yang paling ideal bahwa seluruh perkawinan dan segala prosesnya sejatinya harusnya dilaksanakan agar dikemudian hari tidak menimbulkan masalah hokum.
Ambil contoh ketika  Aceng Fikri (mantan Bupati Garut)  melaksanakan perkawinan dengan Fanny Octora secara agama Islam tanpa melalui prosedur hokum positif, atau  pernikahan siri, dan kemudian Fany Octora diceraikan pula tanpa melalui  prosedur hokum.  Maka  hokum positif Indonesia menganggap  Aceng Fikri telah melanggar peraturan hokum dan  oleh sebab itu dalam perspektif ketatanegaraan Aceng Fikri dapat dianggap melanggar sumpah sebagai  Pejabat Negara.  Karena dalam sumpah Pejabat Negara dikatakan akan dengan tetap memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala perarutaran perundang-undangan selurus-lurusnya, maka tindakan Aceng dapat dikategorikan melanggar sumpah sehingga Mahkamah Agung menyatakan  Pelengseran Aceng oleh DPRD Garut dianggap tepat secara hokum dan  "Mengabulkan permohonan DPRD Kabupaten Garut Nomor 172/139/DPRD tanggal 26 Desember 2012.
Itulah resiko apabila pejabat public melakukan pelanggaran hokum yang menyangkut sumpah jabatan yang terkait dengan kawin dibawah tangah atau “ kawin kawinan “ meskipun agama telah menganggap perkawinan itu syah dan halal.  Ternyata syah dan halal dalam konteks ilmu hukum hanya berurusan dengan Tuhan yaitu dosa dan pahala,  itulah sebabnya Ilmu Hukum membaga kaidah menjadi  4  yaitu kaidah Agama ( menyangkut Dosa dan Pahala), Kaidah  Kesusilaan (menyankut etis apa tidak),  kaidah adat  kebiasaan ( aspek patut apa tidak), dan kaidah hokum (  pasti apa tidak secara pemerintahan).
B.    PELENGSERAN   KEPALA  DAERAH  YANG KAWIN KAWINAN

Masalah perkawinan atau pernikahan yang dilakukan kepala daerah secara kawin siri atau diam diam bukan saja dilakukan  oleh  mantan  Bupati Garut  Aceng Fikri, akan tetapi diduga banyak (lebih dari satu) pejabat  public  alias Kepala Daerah  yang memiliki istri baru, isteri simpanan, istri yang syah menurut agama tapi tidak syah menurut hukum Negara.   Tetapi  para  Kepala Daerah itu tiidak  bernasib  appes, tidak dilengserkan  oleh DPRD.       Persoalan  pemberhentian, pelengseran  atau pemakzulan  Kepala daerah sebenarnya bukan  murni  persoalan “ hukum  dan etika “.  Tapi  persoalan pelengseran  suatu Kepala Daerah lebih banyak menyangkut  persoalan  politis.    Nasib mantan Bupati Garut memberikan pelajaran  politik  yang nyata bahwa  seorang kepala Daerah haruslah memilik  basis politik yang kuat di masyarakat  dan memiliki basis pendukung  yang kuat di parlemen (DPRD)  dengan menguasai  fraksi  fraksi yang ada di DPRD.   Sebab manakala seorang kepala daerah tidak memiliki basis  pendukung yang kuat dalam fraksi fraksi di DPRD maka sewaktu waktu  Kepala Daerah dapat dimohonkan untuk  dimakzulkan apabila terindikasi melakukan pelanggaran sumpah jabatan.   Aceng Fikri  menjadi Bupati Garut   melalui jalur  independen  berpasangan dengan actor  Diki Candra (yang mundur di tengah perjalanan).    Dengan demikian dapat dibayangkan  betapa “  rapuhnya “  posisi dan dukungan  Bupati  Garut di Parlemen.    Dengan demikian dapat dibayangkan ancaman  pelengeseran seorang Kepala daerah  dalam system hukum ketatanegaraan di Indonesia akan mudah terjadi di parlemen,meskipun  Kepala Daerah itu dipilih dengan suara mutlak oleh rakyat, akan tetapi suara rakyat akan terkalahkan  oleh suara parlemen.    
Walikota Palembang Eddy Santana Putra, Wali Kota Bogor Diani Budiarto dan 
Bupati Cirebon   Dedi Supardi juga pernah kesandung kasus poligami dengan   pedangdut Melinda,  tetapi  Kepala Kepala Daerah  itu tidak  bernasib sama dengan  Aceng  Fikri, karena mereka memiliki  basis yang kuat  di  DPRD sehingga  DPRD secara politis  tidak berkehendak  untuk  menjatuhan mereka   meskipun  mereka telah  melangga  UU No 32/2004, PP No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, serta UU No 1/1974 tentang Perkawinan.
Kepala  Daerah  haruslah  menjadi  panutan bagi rakyat,  oleh sebab itu segala tindak tanduknya  harusnya  selalu mengikuti  standar hokum dan  etika.   Persoalannya betapa  penafsiran ( interpretasi  hukum)  sering  tercerabut dengan persoalan politik.   Ruang  interpretasi  begitu  luas diberikan oleh  ilmu hukum, dari penafsiran yang  bersifat  gramatikal  sampai  penafsiran  yang futuristic.    Ruang  ruang  interpretasi ini  kemudian dapat  melegalkan tindakan  seorang   pejabat  yang melakukan  kawin siri.
Contoh  , ada  Kepala Daerah  yang kawin lagi secara  diam diam ( kawin siri),  tetapi  kemudian  istri pertamanya  diceraikan secara hukum Negara melalui  Pengadilan sesuai  dengan UU Perkawinan.  Apakah  pejabat   tersebut dapat dikategorikan  melanggar hukum dan etika  ?     Persoalan itu  menjadi  multi tafsir bagi parlemen sehingga Kepala daerah sulit dilengserkan, lebih lebih  Kepala Daerah itu  memiliki basis yang kuat di parlemen.  
Belum  lagi  tentang  siapa  yang dimaksud  dengan    pejabat Negara ,  pejabat  public, dan  jabatan  negara    “,  karena  begitu banyak  pejabat Negara  dan jabatan  Negara  di NTB ini  yang terindikasi melakukan  pelangaran  hukum , kawin lagi secara diam diam,   perceraian secara illegal tanpa proses hokum di Pengadilan.   Akan tetapi  pejabat Negara, pejabat public dan jabatan Negara itu   (  termasuk anggota DPRD  dan  Notaris )  ternyata  tidak  mendapat sanksi hokum, padahal  mereka  dapat dikenakan ancaman pidana.  Tetapi aparat penegak hokum  tidak menyentuh mereka.   Pantas saja  para pengamat hokum di Indonesia dan para kritikus hokum luar negeri menganggap bahwa hokum  di  Indonesia hanya tajam ke bawah  tapi tumpul  ke atas.

C.    KESIMPULAN
Hukum  sebagai pranata kebudayaan  semestinya  mampu meredam gejolak yang terjadi di masyarakat dan mengapresiasi perkembangan kebudayaan yang ada di tengah masyarakat.    Tindakan  yang dianggap  tidak etis dan tidak berbudaya  dapat diangkat dalam persoalan hokum agar kehidupan  masyarakat  menjadi lebih  aman dan damai.    Gejolak prilaku pejabat   yang  dianggap  melanggar  suasana kebatinan tentunya  harus dihentikan melalui penegakan  hokum  yang  pasti dengan  keterlibatan  penegak hokum secara lebih progresif melakukan pengusutan terhadap pejabat yang melakukan pelanggaran  etika dan hokum perkawinan.  Sedangkan  secara politis biarlah  parlemen melakukan gerak ketatanegsaraan  dengan mengharap  kesadaran  moral melakukan penafsiran hokum secara lebih obyektif.




Minggu, 27 Januari 2013

ADA SENGKUNI DI NTB


AWAS   ADA  SENGKUNI  DALAM   KONFLIK
DI   NTB
A.    Pengantar
Tak ada tokoh setenar Sengkuni untuk hal-hal yang bersangkutpaut dengan kelicikan dan kebusukan. Jika pada figur ‘orang-orang kiri’ semisal Burisrawa, Durna dan Jayadatra kita masih bisa menemukan sisi baik meski samar-samar, maka sepertinya hal ini tak berlaku pada Sengkuni.
Tak terbantahkan bahwa Sengkuni alias Haryo Suman adalah tokoh antagonis tulen. Masyarakat tradisional Jawa memakai nama Sengkuni untuk menjuluki orang paling tidak disukai di lingkungannya. Di masa lalu, dalam pentas wayang kulit yang melibatkan Sengkuni, setelah pertunjukan masyarakat melarung wayang Sengkuni ke laut Selatan sebagai simbolisme penolakan karakter jahat yang dipersonifikasikan pada tokoh ini.
Membicarakan Sengkuni bukanlah dalam konteks untuk mencela, juga bukan dalam rangka mengadopsi wataknya yang angkara murka, namun lebih pada mewaspadai bahaya laten yang mungkin muncul  dan  telah muncul disekitar  kita  berupa  konflik  vertical dan  horizontal  . Mendiskusikan Sengkuni selalu relevan pada setiap kondisi karena di masyarakat nyaris ada orang-orang yang berpotensi menjadi penghasut, pengacau dan oportunis yang hipokrit.
Inilah Sengkuni, yang pada mulanya adalah seorang pangeran yang tampan, namun kemudian menjadi buruk rupa sebagai akibat ulahnya sendiri. Sengkuni mempunyai pusaka berwujud Cis (tongkat pendek untuk memerintah gajah) yang mempunyai khasiat dapat menimbulkan air bila ditancapkan ke tanah..
.Puncak kelicikan Sengkuni adalah upaya pembunuhan Kunti dan para Pandawa dalam Lakon Bale Sigala-gala. Atas ide Sengkuni, Kurawa membangun sebuah rumah peristirahatan bagi Kunti dan Pandawa dari kayu yang mudah terbakar. Tak hanya itu, mereka juga menyajikan makanan dan minuman yang dalam mampu menidurkan dalam sekejab, kemudian mereka membakar rumah kayu itu di saat Kunti dan Pandawa tertidur lelap. Hanya kewaskitaan Bima membuat ibu dan anak itu selamat. Perang Bharatayudha adalah akhir riwayat Sengkuni. Meski ia kebal senjata oleh khasiyat Minyak Tala, ia dikalahkan Pandawa di perang antar keturunan Kuru ini. Ia mengakhiri hidupnya dengan tragis, digigit oleh Duryudana lalu jasadnya dilumatkan oleh Gada Rujakpolo milik Bima.
B.     Konfik di NTB
Kita menyaksikan  betapa secara tidak  terduga sering  terjadi  konflik di tengah masyarakat (khususnya di NTB),  dan  terakhir  terjadi di Kabupaten Sumbawa.  Berbagai teori  telah diungkap  oleh para pakar  tentang penyebab  konflik  dengan  pendekatan  yuridis  dan  sosiologis ,  dan  berapa  kali penelitian  dan seminar  telah dilakukan  untuk  merumuskan cara cara meredam konflik.  Tapi  konflik tetap saja  terjadi.
Maka perlu kiranya  sedikit  bercermin pada  pendekatan  budaya dan berkesenian,  bahwa  konflik terjadi  karena ada    juru  hasut, juru fitnah, juru provokasi “  yang  bekerja dengan ilmu    Cis    yang  dipunyai Sengkuni.
Jika  Sengkuni memiliki “ CIS “  atau tongkat pendek untuk memerintah gajah, maka  pada era modern sekarang ini   maka ilmu yang dimliiki para Sengkuni adalah  SMS  yang bisa menghasut  dan memerintah  manusia untuk tunduk dan percaya pada pesan SMS.
Siapa  sebenarnya  para Sengkuni  yang ada di era modern sekarang ini ?   Jawabnya sama dengan Sengkuni pada cerita Pewayangan.  Sengkuni bukanlah orang sembarangan atau orang orang yang tidak mengerti dan dari kalangan orang biasa.   Sengkuni, pada galibnya adalah orang orang  cerdas dan orang orang pilihan.  Bahkan  Sengkuni awalnya adalah seorang “ pangeran yang tampan “,  tetapi kemudian menjadi buruk karena kelakuannya.
Sengkuni di zaman modern ini adalah “  kumpulan orang orang  berpendidikan “  yang  pandai menggunakan  tehnologi ( HP dan sejenisnya  sebagai senjata  provpokasi), Sengkuni modern adalah orang  yang lihai memainkan fakta dan logika untuk mengecoh opini masyarakat.  Sengkuni modern adalah orang terdidik,    tapi karena tidak  berhasil  masuk dalam riuh rendah  lapangan kerja yang dijanjikan maka jadilah mereka menjadi penganggur tersembunyi , penganggur terdidik   dan  menggumpal frustrasi dan akhirnya melahirkan tempramen garang seperti Sengkuni, dan biasa menerima bayaran untuk demonstrasi dengan  berbagai tarif.    Tarif  yang telah ditawarkan   Sengkuni di NTB adalah  Rp, 50 000  untuk sekedar ikut naik kendaraan Truck melambaikan bendera dan spanduk  tanpa ikut  berteriak.  Jika ikut  berteriak, maka tariff yang didosorkan Sengkuni adalah Rp. 100.000.  Nah yang terakhir, jika ikut naik Truk, Berteriak dan melempar dan membakar tarifnya lain lagi.
Sengkuni modern ( termasuk di NTB)  adalah kumpulan orang orang yang gagal dalam mengambil bagian dalam politik dan pernah  terkecewakan oleh politik.  Politik yang dulu dianggap sebagai rumah masa depan, ternyata telah  menghabiskan masa depannya akibat kejam dan hitamnya politik,  kawan jadi lawan,  teman jadi musuh,  saudara menjadi kurawa, tawa menjadi tangis.  Semuanya akibat ketidak siapan kita menghadapi reformasi politik dan demokrasi  yang kurang tertata secara substantive.
Maka  ketika kita ingin menyelesaikan konflik di NTB  tidak cukup hanya dengan menangkap  masyarakat  yang hanya sekedar tersulut emosi, atau hanya menyelesaikan sesuatu yang ada di permukaan.   Maka penyelesaian konflik  adalah memulai dengan merancang ulang  sebuah kebijakan.   Ada kebijakan yang salah dalam  pengelolaan sumber daya manusia , sumber daya ekonomi, politik dan  lapangan kerja,. Kebijakan yang menciptakan Sengkuni Sengkuni  baru di NTB.   Ada ketidak adilan, ada  ketimpangan, ada kesombongan, dan  ada  nilai kepantasan yang telah sirna.
Persoalan konflik antar  etnis di Sumbawa  bukan pertama kali, tapi pernah  terjadi 20 tahun yang lalu dengan modus yang hampir sama yaitu “ kebijakan yang salah dalam pembagian sumber daya ekonomi .    
Ada kesalahan dalam kebijakan “ penempatan SDM atau personalia petugas keamanan di suatu wilayah “ yang berpotensi menciptakan gesekan cultural.     Jika di Aceh polisi  harus berbusana Muslim (bagi Polwan).  Maka di  NTB  yang mayoritas penduduk muslim tentunya  ada pendekatan keamanan yang khusus dari pemangku keamanan. 
Maka tugas  DPRD  dan Pemerintah adalah merencanakan kebijakan yang melahirkan keadilan, kepantasan, kesejahteraan yang  jauh dari konflik.

C.      Kesimpulan

Menyelesaikan konfiik di era modern sekarang ini, tidak cukup dilakukan dengan pendekatan keamanan. Jika dulu, ketika terjadi konflik dan kerusuhan, maka \petugas cukup menembakkan peluru hampa, maka masyarakat lari terbitit  birit,   Tapi sekarang, ketika masyarakat dihadang dengan tembakan ,,maka mereka semakin beringas dan emosi, maju terus pantang mundur.  Maka harus ada  pendekatan prefentif  yang  lebih dialogis dengan mempoisisikan keseimbangan harkat dan martabat manusia.   Pendekatan keamanan, hanya mampu memadamkan api seketika,  tapi tidak untuk memadamkan sumber api yang disulut oleh Sengkuni oleh kesalahan kebijakan.
Mari kembali menggugat kebijakan yang salah demi  memenangkan kebenaran yang damai.