PEJABAT KAWIN
KAWINAN
OLEH
ZAINAL ASIKIN
A. Pengantar
Perkawinan adalah lembaga sakral nan suci oleh sebab itu lembaga perkawinan ini tidak boleh dipermainkan. Kata suci mengandung makna yang sangat mulia
karena dimuliakan oleh Tuhan dan para Rasul. Maka nikahlah kamu, barang siapa yang tidak
menikah bukan merupakan golonganku kata Baginda Rasul. Untuk itupula maka “ nikah atau perkawinan “ harus dilaksanakan
sesuai dengan syariat agama agar perkawinan itu dapat dinyatakan syah oleh
agama dan menghindari perbuatan yang dilarang agama (antara lain zinah). Jadi syahnya
nikah menurut agama apabila
dilakukan dengan memenuhi rukun
dan sarsarat yang ditentukan oleh agama .
Persoalannya ialah apakah pernikahan atau perkawinan yang “ syah “ menurut agama
akan “ syah “ pula menurut Negara atau Pemerintah ?
Jawabnya TIDAK, karena suatu perkawinan baru dianggap syah oleh
Negara apabila mengikuti hokum Negara (
hokum positif) yang di Indonesia diatur
dalam UU No,1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
juncto Peraturan Pemerintah No 9. Tahun
1975. Jadi bagi warganegara yang tidak
mengikuti peraturan nikah menurut hokum Negara akan mengalami
kesulitan terhadap anak anak yang
dilahirkannya, karena anaknya tidak
diakui oleh Negara karena tidak memiliki akta perkawinan, dan selanjutnya
kesulitan dalam mengurus urusan urusan kenegaraan, menyekolahkan anak dan
sebagainya. Selanjunya perkawinan ada juga diakatgorikan sebagai pernikahan sosiologis yaitu pernikahan yang harus diakui
secara budaya sehingga perlu dilakukan walimah, pesta, dan berbagai kegiatan
yang dikalangan Tionghoa yang cukup nikah secara adat sudah syah tanpa melalui mekanisme perniakahan Negara. Jelaslah bahwa soal perkawinan ternyata
menyangkut soal agama ( keabsahan etis
dan religi), keabsahan oleh Negara (keabsahan
normative), dan keabsahan
kulturak (keabsahan sosiologis). Dalam ilmu
hukum ada beberapa keberlakuan hukum yaitu keberlakuan yuridis (juridische geldigheid), keberlakuan
sosiologis (afdwingbaarheid socioloisgische), dan keberlakuan (
filosoffilosofische geldigheid)
Pertanyaannya mana yang penting dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara ?
jawabnya bahwa yang paling ideal bahwa seluruh perkawinan dan segala
prosesnya sejatinya harusnya dilaksanakan agar dikemudian hari tidak
menimbulkan masalah hokum.
Ambil contoh ketika Aceng Fikri (mantan Bupati Garut) melaksanakan perkawinan dengan Fanny Octora
secara agama Islam tanpa melalui prosedur hokum positif, atau pernikahan siri, dan kemudian Fany Octora
diceraikan pula tanpa melalui prosedur
hokum. Maka hokum positif Indonesia menganggap Aceng Fikri telah melanggar peraturan hokum
dan oleh sebab itu dalam perspektif
ketatanegaraan Aceng Fikri dapat dianggap melanggar sumpah sebagai Pejabat Negara. Karena dalam sumpah Pejabat Negara dikatakan
akan dengan tetap memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala perarutaran
perundang-undangan selurus-lurusnya, maka tindakan Aceng dapat dikategorikan
melanggar sumpah sehingga Mahkamah Agung menyatakan Pelengseran Aceng oleh DPRD Garut dianggap
tepat secara hokum dan "Mengabulkan
permohonan DPRD Kabupaten Garut Nomor 172/139/DPRD tanggal 26 Desember 2012.
Itulah resiko apabila pejabat public
melakukan pelanggaran hokum yang menyangkut sumpah jabatan yang terkait dengan
kawin dibawah tangah atau “ kawin kawinan “ meskipun agama telah menganggap
perkawinan itu syah dan halal. Ternyata
syah dan halal dalam konteks ilmu hukum hanya berurusan dengan Tuhan yaitu dosa
dan pahala, itulah sebabnya Ilmu Hukum
membaga kaidah menjadi 4 yaitu kaidah Agama ( menyangkut Dosa dan
Pahala), Kaidah Kesusilaan (menyankut
etis apa tidak), kaidah adat kebiasaan ( aspek patut apa tidak), dan
kaidah hokum ( pasti apa tidak secara
pemerintahan).
B. PELENGSERAN KEPALA
DAERAH YANG KAWIN KAWINAN
Masalah perkawinan atau pernikahan
yang dilakukan kepala daerah secara kawin siri atau diam diam bukan saja
dilakukan oleh mantan
Bupati Garut Aceng Fikri, akan
tetapi diduga banyak (lebih dari satu) pejabat
public alias Kepala Daerah yang memiliki istri baru, isteri simpanan,
istri yang syah menurut agama tapi tidak syah menurut hukum Negara. Tetapi
para Kepala Daerah itu
tiidak bernasib appes, tidak dilengserkan oleh DPRD. Persoalan pemberhentian, pelengseran atau pemakzulan Kepala daerah sebenarnya bukan murni
persoalan “ hukum dan etika
“. Tapi
persoalan pelengseran suatu
Kepala Daerah lebih banyak menyangkut
persoalan politis. Nasib mantan Bupati Garut memberikan
pelajaran politik yang nyata bahwa seorang kepala Daerah haruslah memilik basis politik yang kuat di masyarakat dan memiliki basis pendukung yang kuat di parlemen (DPRD) dengan menguasai fraksi
fraksi yang ada di DPRD. Sebab
manakala seorang kepala daerah tidak memiliki basis pendukung yang kuat dalam fraksi fraksi di
DPRD maka sewaktu waktu Kepala Daerah
dapat dimohonkan untuk dimakzulkan
apabila terindikasi melakukan pelanggaran sumpah jabatan. Aceng Fikri
menjadi Bupati Garut melalui
jalur independen berpasangan dengan actor Diki Candra (yang mundur di tengah
perjalanan). Dengan demikian dapat
dibayangkan betapa “ rapuhnya “
posisi dan dukungan Bupati Garut di Parlemen. Dengan demikian dapat dibayangkan
ancaman pelengeseran seorang Kepala
daerah dalam system hukum ketatanegaraan
di Indonesia akan mudah terjadi di parlemen,meskipun Kepala Daerah itu dipilih dengan suara mutlak
oleh rakyat, akan tetapi suara rakyat akan terkalahkan oleh suara parlemen.
Walikota Palembang Eddy Santana
Putra, Wali Kota Bogor Diani Budiarto dan
Bupati Cirebon Dedi Supardi juga pernah kesandung kasus poligami dengan pedangdut Melinda, tetapi Kepala Kepala Daerah itu tidak bernasib sama dengan Aceng Fikri, karena mereka memiliki basis yang kuat di DPRD sehingga DPRD secara politis tidak berkehendak untuk menjatuhan mereka meskipun mereka telah melangga UU No 32/2004, PP No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, serta UU No 1/1974 tentang Perkawinan.
Bupati Cirebon Dedi Supardi juga pernah kesandung kasus poligami dengan pedangdut Melinda, tetapi Kepala Kepala Daerah itu tidak bernasib sama dengan Aceng Fikri, karena mereka memiliki basis yang kuat di DPRD sehingga DPRD secara politis tidak berkehendak untuk menjatuhan mereka meskipun mereka telah melangga UU No 32/2004, PP No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, serta UU No 1/1974 tentang Perkawinan.
Kepala Daerah
haruslah menjadi panutan bagi rakyat, oleh sebab itu segala tindak tanduknya harusnya
selalu mengikuti standar hokum dan etika.
Persoalannya betapa penafsiran (
interpretasi hukum) sering
tercerabut dengan persoalan politik.
Ruang interpretasi begitu
luas diberikan oleh ilmu hukum,
dari penafsiran yang bersifat gramatikal
sampai penafsiran yang futuristic. Ruang
ruang interpretasi ini kemudian dapat melegalkan tindakan seorang pejabat
yang melakukan kawin siri.
Contoh , ada Kepala
Daerah yang kawin lagi secara diam diam ( kawin siri), tetapi
kemudian istri pertamanya diceraikan secara hukum Negara melalui Pengadilan sesuai dengan UU Perkawinan. Apakah
pejabat tersebut dapat
dikategorikan melanggar hukum dan
etika ? Persoalan itu menjadi
multi tafsir bagi parlemen sehingga Kepala daerah sulit dilengserkan,
lebih lebih Kepala Daerah itu memiliki basis yang kuat di parlemen.
Belum
lagi tentang siapa
yang dimaksud dengan “
pejabat Negara , pejabat public, dan
jabatan negara “,
karena begitu banyak pejabat Negara dan jabatan
Negara di NTB ini yang terindikasi melakukan pelangaran
hukum , kawin lagi secara diam diam,
perceraian secara illegal tanpa proses hokum di Pengadilan. Akan tetapi
pejabat Negara, pejabat public dan jabatan Negara itu ( termasuk anggota DPRD dan
Notaris ) ternyata tidak
mendapat sanksi hokum, padahal
mereka dapat dikenakan ancaman
pidana. Tetapi aparat penegak hokum tidak menyentuh mereka. Pantas saja
para pengamat hokum di Indonesia dan para kritikus hokum luar negeri
menganggap bahwa hokum di Indonesia hanya tajam ke bawah tapi tumpul
ke atas.
C. KESIMPULAN
Hukum
sebagai pranata kebudayaan
semestinya mampu meredam gejolak
yang terjadi di masyarakat dan mengapresiasi perkembangan kebudayaan yang ada
di tengah masyarakat. Tindakan yang dianggap
tidak etis dan tidak berbudaya
dapat diangkat dalam persoalan hokum agar kehidupan masyarakat
menjadi lebih aman dan damai. Gejolak prilaku pejabat yang
dianggap melanggar suasana kebatinan tentunya harus dihentikan melalui penegakan hokum yang
pasti dengan keterlibatan penegak hokum secara lebih progresif
melakukan pengusutan terhadap pejabat yang melakukan pelanggaran etika dan hokum perkawinan. Sedangkan
secara politis biarlah parlemen
melakukan gerak ketatanegsaraan dengan
mengharap kesadaran moral melakukan penafsiran hokum secara lebih
obyektif.