Sistem Hukum Singapura
a.
Sistem hukum Singapura adalah hamparan permadani yang kaya dengan
undang-undang, institusi-institusi, nilai-nilai, sejarah serta budaya. Layaknya
sulaman perca ala Singapura, setiap helai sistem hukum itu dijalin bersama
sedemikian sehingga membentuk kaleidoskop yurisprudensi dan diikat dengan
identitas nasional yang unik.
b
Sistem hukum tersebut sudah tentu akan menyebabkan suatu tekanan seperti
tekanan yang dialami karena adanya perubahan-perubahan sosial-ekonomi dan
politik-hukum yang timbul seiring dengan meningkatnya globalisasi dan
regionalisasi. Karenanya, Singapura harus bereaksi dengan cepat dan tangkas
dalam membuat undang-undang dan institusi-institusi baru, atau menyesuaikan
undang-undang dan institusi-institusi yang sudah ada.
.c
Dalam hal ini, Singapura telah siap dan bersedia belajar dari
perkembangan-perkembangan hukum yang terjadi di luar negeri, jika memiliki
kesamaan aspirasi. Kadang-kadang, cara-cara penyelesaian masalah yang sudah
kuno harus diganti dengan ide-ide baru yang telah teruji dengan modifikasi-modifikasi
yang tepat agar sesuai dengan keadaan setempat. Dalam proses adaptasi, belajar
dan perubahan berkesinambungan yang (kadang kala) sulit ini, bagaimanapun,
peranan sejarah tetap amat berguna sebagai petunjuk (meskipun tidak sempurna)
menuju hukum Singapura yang sekarang dan di masa yang akan datang (lihat Bagian
2).
.a
Sejak ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles dari British East India
Company di tahun 1819 hingga kemerdekaannya di tahun 1965, perkembangan hukum
Singapura telah sangat berhubungan erat dengan majikan kolonial
Inggris-nya. Seringkali, tradisi-tradisi hukum, kebiasaan-kebiasaan,
kasus-kasus hukum dan perundang-undangan menurut hukum Inggris diserap tanpa
banyak pertimbangan apakah hal tersebut cocok dengan keadaan setempat
Singapura.
.b
Dengan kemerdekaannya, kemudian secara bertahap – dan terus meningkat –
terjadilah pergerakan-pergerakan menuju perkembangan suatu sistem hukum lokal.
Prinsip kuncinya adalah setiap penyerapan suatu praktek hukum atau norma harus
sesuai dengan kondisi budaya, sosial dan ekonomi Singapura. Dalam hal ini,
dapat dikatakan bahwa kesuksesan ekonomi Singapura didorong oleh, antara lain,
faktor bijaknya kepemimpinan, penggunaan hukum dan sistem hukum dalam membangun
masyarakat baru dan memastikan kelangsungan hidup ekonominya, sambil memastikan
pula agar sistem hukum Singapura dapat selaras dengan kebutuhan dan permintaan
komunitas internasional. Sebagai kelanjutannya, maka terbentuklah suatu sketsa
tonggak-tonggak bersejarah perkembangan konstitusional dan hukum Singapura.
3.
Kedatangan Inggris – Singapura dalam Kerajaan Inggris (1819)
.a Pada Awal abad ke-19:
Singapura berada di bawah kekuasaan Sultan Johor, yang menetap di kepulauan
Riau-Lingga. Kombinasi tradisi Melayu dan hukum adat (yaitu hukum dan kebiasaan
tradisional yang secara lokal berlaku di Indonesia dan Malaysia) telah
membentuk dasar bagi sistem hukum awal yang berlaku bagi masyarakat nelayan
pada waktu itu yang jumlahnya tidak lebih dari 200 orang.
b. Tanggal
29 Januari 1819: Pendirian Singapura
modern oleh Raffles, yang pada saat itu adalah Letnan-Gubernur Bengkulu.
Raffles telah sanggup meramal ke depan dan menentukan bahwa Singapura sebagai
lokasi yang strategis secara geo-politis: hal ini telah menjadikan Singapura
sebagai titik kontrol yang sangat baik bagi Kerajaan Inggris untuk mengawasi
gerbang masuk menuju Selat Malaka dan rute pelayaran utama antara Asia Selatan
dan Asia Timur Laut. Secara cepat, Singapura telah berevolusi menjadi pelabuhan
dagang yang penting.
c Selanjutnya
tanggal 30 Januari 1819: Raffles membuat
suatu perjanjian awal dengan Temenggong Abdu'r Rahman, perwakilan Sultan
Johor di Johor dan Singapura, untuk mendirikan suatu pusat perniagaan (trading
factory) di Singapura.
c Tanggal
6 Februari 1819: Suatu perjanjian formal dibuat antara Sultan Hussein dari
Johor bersama Temenggong Abdu’r Rahman, masing-masing adalah penguasa de
jure dan penguasa de facto Singapura waktu itu, untuk meresmikan
perjanjian awal yang telah dibuat sebelumnya. Raffles kemudian menetapkan
Singapura sebagai bagian dari yurisdiksi Bengkulu, yang kemudian berada di
bawah pemerintahan Gubernur Jenderal di Calcutta, India.
d Kemudian
sekitar Tahun 1819 - 1823: Agar pemerintahan di Singapura berjalan dengan
baik, Raffles menetapkan suatu kitab undang-undang yang dikenal dengan sebutan
“Singapore Regulations” atau “Peraturan-peraturan Singapura” dan menetapkan
suatu sistem hukum yang mendasar namun bersifat fungsional dengan penerapan
hukum yang seragam yang berlaku bagi semua penduduk.
d. Pada
bulan Maret 1824: Status Singapura
sebagai daerah kekuasaan Inggris ditegaskan dalam Perjanjian Anglo-Belanda
(Anglo-Dutch Treaty) dan Perjanjian Penyerahan Kekuasaan Treaty of Cession). Belanda mencabut semua
keberatannya terhadap pendudukan Inggris atas Singapura dan menyerahkan Malaka,
sebagai ganti pelepasan penguasaan Inggris atas pabrik-pabrik di Bengkulu dan
Sumatera kepada Belanda. Kemudian, dalam tahun yang sama, perjanjian yang kedua
dibuat dengan Sultan Hussein dan Temenggong Abdu’r Rahman, berdasarkan mana
Kesultanan Johor menyerahkan Singapura kepada Inggris sebagai ganti peningkatan
pembayaran uang tunai dan pensiun.
4. Sistem Hukum yang Masih Baru – Suatu Awal
yang Kacau Balau (1826 - 1867)
a Pada tanggal
27 November 1826: Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice)
disetujui oleh Parlemen Inggris atas petisi dari East India Company. Da4lam
Piagam tersebut ditetapkan pendirian Pengadilan Yudikatur (Court of Judicature)
di Pulau Milik Pangeran Wales - Penang, Singapura
dan Malaka, baik pengadilan perdata maupun pidana, yang sejajar dengan
pengadilan-pengadilan sejenis di Inggris. Singapura bersama-sama dengan
Malaka dan Penang (dua daerah pendudukan Inggris lainnya di Semenanjung Melayu)
kemudian menjadi Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements) pada
tahun 1826, di bawah penguasaan India Britanika (British
India). Piagam tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa
hukum Inggris harus diterapkan di Singapura, namun diasumsikan bahwa Piagam
tersebut telah meletakkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum hukum Inggris
di Singapura. Kasus hukum lokal sejak abad ke-19, setelah kasus terkenal R v
Willans (1858) di Penang, telah menyerap posisi hukum bahwa hukum Inggris (baik
common law maupun equity yang berlaku pada 1826 maupun perundangan Inggris
pra-1826) telah diperkenalkan kepada Singapura melalui The Second Charter of
Justice.
b
Pada
tahun 1833
dengan adanya reorganisasi daerah-daerah yang dikuasai East India
Company oleh Parlemen Inggris pada tahun 1833, Gubernur Jenderal India kemudian
diberi wewenang untuk membuat peraturan perundangan yang berlaku bagi
Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements). Pada masa ini, muncul
suatu ketidakpuasan pada sistem hukum yang ada. Masyarakat bisnis lokal merasa
tidak suka dengan kerangka yudisial yang dinilai tidak adil, yang membuat
keadilan diperlakukan secara menyedihkan.
c Pada
Tahun 1855: Atas petisi East India Company, Piagam Keadilan Ketiga
(The Third Charter of Justice) disetujui [oleh Parlemen Inggris] agar dapat
mempermudah penanganan pekerjaan di bidang hukum yang meningkat. Namun
demikian, Piagam Ketiga tidak berhasil memperbaiki keadaan. Dengan
dibubarkannya East India Company pada tahun 1858, maka Daerah-daerah Pendudukan
di Selat (Straits Settlements) kemudian dialihkan ke dalam kekuasaan
Pemerintah India.
Namun, banyak suara tidak puas dari Straits Settlements yang diperintah di luar
wilayah India,
karena hal ini cenderung menimbulkan perasaan direndahkan, jika tidak
diabaikan.
d. Pada tanggal
1 April 1867: Straits Settlements
berubah menjadi Koloni Kerajaan (Crown Colony) di bawah yurisdiksi langsung
Kantor Pemerintahan Kolonial (Colonial Office) di London. Tahun 1868: Mahkamah
Agung untuk Straits Settlements didirikan, setelah dibubarkannya Pengadilan
Yudikatur (Court of Judicature). Pada tahun 1873, terjadi lagi reorganisasi
lanjutan yaitu dengan diberikannya kekuasaan kepada Mahkamah Agung untuk
berfungsi sebagai Pengadilan Banding (Court of Appeal). Sebelumnya, upaya-upaya
banding diajukan kepada Dewan Kerajaan (King-in-Council). Pada tahun 1878,
sebagai akibat dari perubahan yang terjadi pada sistem yudisial Inggris, maka
pengadilan-pengadilan di Singapura turut direstrukturisasi sedemikian sehingga
serupa dengan pengadilan-pengadilan di bawah Pengadilan Tinggi Inggris (English
High Court).
e Pada 1934:
Pengadilan Banding Pidana (Court of Criminal Appeal) ditambahkan ke dalam
struktur Mahkamah Agung.
5. Dari
Inggris ke Jepang ke Inggris Lagi (1942 – 1945)
a. Pada sekitar bulan Februari
1942 - September 1945: Masa penjajahan Jepang atas Singapura. Nama “Singapura” diubah menjadi
“Syonan” (Cahaya dari Selatan) dan dioperasikan di bawah
pemerintahan militer Jepang. Akhir Perang Dunia II telah mengakibatkan
Singapura berada di bawah pemerintahan sementara Pemerintah Militer Inggris
(British Military Administration - BMA). Setelah masa ini, kekuasaan imperial
kemudian mendorong penentuan nasib sendiri dan de-kolonisasi.
b. Selanjutnya
tahun 1946: Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits
Settlements) dibebaskan. Penang dan Malaka menjadi bagian dari Malayan
Union pada tahun 1946 dan setelah itu menjadi Persekutuan Tanah Melayu
(Federation of Malaya) pada tahun 1948. Singapura dijadikan Koloni Kerajaan
yang memiliki konstitusi sendiri. Kekuasaan sesungguhnya untuk memerintah
dan membuat peraturan berada di tangan Gubernur dan pejabat-pejabat kolonial
dengan sedikit porsi partisipasi dan perwakilan lokal, melalui pemilihan
perwakilan terbatas di Dewan Legislatif (Legislative Council). Pemilihan
perwakilan yang pertama dilakukan pada tahun 1948.
6. Menuju Pemerintahan Sendiri (1948 – 1959)
a..Pada tahun 1948-1960:
Masa darurat. Pemerintah di Singapura dan Malaya (yang pada tahun 1957 menjadi
Malaysia) mengawasi dengan ketat partai komunis (Communist Party of Malaya),
yang telah mendeklarasikan tujuan mereka untuk mengambil alih Malaya dan
Singapura dengan cara kekerasan. Peraturan-peraturan yang amat keras (seperti
penjara tanpa proses pengadilan) telah ditetapkan sebagai upaya mengendalikan
kegiatan-kegiatan frontal komunis bersatu.
b. Pada tahun 1953: Suatu
Komite Konstitusional (Constitutional Commission), yang dipimpin oleh Sir
George Rendel (‘Rendel Comission’) didirikan untuk menelaah konstitusi Negara
Koloni itu dan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam hal penatakelolaan
sendiri (self-governance). Pemerintah menerima hampir semua laporan Komite
termasuk transformasi Dewan Legislatif (Legislative Council) menjadi suatu
dewan (chamber) yang terdiri dari para anggota yang dipilih secara
langsung. Bagaimanapun, kekuasaan yang sesungguhnya masih berada di
tangan Gubernur dan Pejabat-pejabat Anggota Dewan Menteri (Council of
Ministers) dan bukan pada anggota Dewan terpilih tadi. Sehingga pada masa ini,
Progressive Party merupakan partai politik unggul di Singapura yang telah
memenangi pemilihan anggota Dewan Legislatif (Legislative Council) pada tahun
1948 dan 1951.
c. Tahun 1955: Dalam
pemilihan anggota Majelis Legislatif (Legislative Assembly) yang pertama,
partai Labour Front – yang dipimpin oleh David Saul Marshall – berhasil
menggantikan posisi Progressive Party sebagai partai pemenang pemilihan, dengan
memenangkan 10 dari 25 kursi. People’s Action Party (selanjutnya disebut
‘PAP’), yang didirikan pada tahun yang sama, memenangkan 3 kursi. Marshall
kemudian dijadikan Menteri Kepala (Chief Minister) yang kemudian bersikeras
untuk mempercepat gerakan menuju pemerintahan sendiri. Pembicaraan-pembicaraan
konstitusional mengenai pemerintahan sendiri dimulai pada tahun 1956 di
London, dengan misi tanpa pendukung (non-partisan mission) yang terdiri dari
perwakilan-perwakilan seluruh partai dalam Majelis.
d. Tahun 1956:
Marshall mengundurkan diri pada tanggal 6 Juni dari kedudukannya sebagai
Menteri Kepala setelah gagalnya pembicaraan-pembicaraan konstitusional mengenai
apakah Komisaris Tinggi Inggris (British High Commissioner) di Singapura
memiliki hak suara atas Dewan Pertahanan (Defence Council) yang diusulkan. Lim
Yew Hock, yang adalah wakil Marshall dan Menteri Perburuhan, kemudian
menggantikannya menjadi Menteri Kepala (Chief Minister). Lim memimpin Misi
Konstitusional pada bulan Maret 1957, yang berhasil menegosiasikan
ketentuan-ketentuan utama Konstitusi Singapura (Singapore Constitution) yang
baru.
e.
Pada tanggal 8 Mei 1958: Perjanjian
Konstitusional (The Constitutional Agreement) ditandatangani di London. Parlemen Inggris
mengesahkan Undang-undang tentang Negara Singapura (The State of Singapore Act)
pada tanggal 1 Agustus, yang menandai transisi Singapura dari negara koloni
menjadi negara yang mengatur dirinya sendiri pada tahun 1959.
f
Tanggal Mei 1959: Partai PAP memenangkan 43
kursi, yang merupakan 53,4% dari total suara, dalam pemilihan 51 perwakilan
anggota Majelis Legislatif (Legislative Assembly) yang untuk pertama
kalinya dipilih secara penuh. Pada tanggal 3 Juni, Konstitusi Negara (State
Constitution) baru diberlakukan berdasarkan proklamasi Gubernur Sir William
Goode, yang menjadi Kepala Negara Singapura pertama. Adapun Lee Kuan Yew
menjadi Perdana Menteri Singapura pertama. Peristiwa ini menandakan titik
kulminasi perjalanan menuju pemerintahan sendiri dan merupakan awal dari
perjalanan sulit menuju kemerdekaan melalui penggabungan dengan Malaysia.
7. Singapura dalam Malaysia (1963
– 1965)
Pada
tanggal 27 Mei 1961: Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman, mengusulkan
kerja sama politik dan ekonomi yang lebih erat di antara Persekutuan Tanah
Melayu (Federation of Malaya), Singapura, Sarawak, Borneo Utara dan Brunei,
melalui suatu penggabungan. Partai PAP lebih memilih penggabungan dengan
Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya) dengan alasan demi kelangsungan
perekonomian dan sebagai cara untuk mencapai kemerdekaan politik dari Inggris. Para pendukung kaum komunis memandang usulan ini sebagai
suatu skenario imperialis.
September 1962: Dilakukan suatu referendum
untuk menentukan ketentuan-ketentuan penggabungan dan rencana penggabungan PAP
disetujui. Ketentuan-ketentuan utama penggabungan menetapkan bahwa pemerintah
federal di Kuala Lumpur
bertanggung jawab untuk bidang pertahanan, urusan luar negeri dan keamanan
dalam negeri. Namun, ditetapkan pula tentang otonomi lokal atas bidang
keuangan, pendidikan dan perburuhan. Singapura juga diharuskan memiliki
pemerintahan negara sendiri.
Pada tanggal 16
September 1963: Malaysia –
yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya), Singapura,
Sarawak dan Borneo Utara (sekarang Sabah) –
dibentuk. Indonesia
dan Filipina menentang penggabungan ini. Presiden Indonesia,
Sukarno, meluncurkan kampanye keras Konfrontasi melawan Malaysia.
Dengan penggabungan tersebut, sistem pengadilan Singapura menjadi bagian dari
sistem pengadilan Malaysia.
Mahkamah Agung Singapura diganti dengan Pengadilan Tinggi Malaysia di
Singapura. Instansi pengadilan banding terakhir adalah Pengadilan Federal
(Federal Court) di Kuala Lumpur.
8. Perpisahan
dengan Malaysia dan Kemerdekaan (1965)
Pada tahun 1965
dalam waktu dua tahun sejak
penggabungan, kesatuan itu gagal karena berbagai alasan, mulai dari politik rasial
Malaysia sampai pertengkaran pribadi. Kesemuanya
ini, ditambah dengan ancaman dan ledakan kekerasan rasial serta ancaman komunis
yang sekalipun telah berkurang, telah memicu pemisahan Singapura dari Malaysia pada
tanggal 9 Agustus. Perjanjian tentang Kemerdekaan Singapura (The Independence
of Singapore Agreement) tanggal 9 Agustus 1965 mendeklarasikan bahwa, “…
Singapura akan selamanya merupakan negara demokratis yang berdaulat dan
merdeka yang didirikan berdasarkan prinsip-prinsip kemerdekaan, keadilan dan
berusaha mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan bagi warganegaranya dalam
masyarakat yang lebih adil dan setara”.
Desember 1965: Yusof bin Ishak
terpilih sebagai Presiden Singapura pertama pada tanggal 22 Desember 1965. Pada
tanggal yang sama, Parlemen Singapura menyelesaikan penyusunan ‘tata
tertib prosedur dan formalitas konstitusional dan hukum’ agar selaras
dengan status Singapura sebagai negara merdeka, termasuk membereskan anomali
Pengadilan Tinggi Singapura yang merupakan bagian dari sistem yudikatif
Malaysia. Komite konstitusional kedua kemudian dibentuk, dipimpin oleh Hakim
Kepala Wee Chong Jin, untuk menelaah bagaimana hak-hak golongan minoritas
(tentang ras, bahasa dan agama) dapat secara konstitusional dilindungi. Dalam
laporannya pada tahun 1966, Komite Wee (Wee Commission) merekomendasikan
ditetapkannya ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan
fundamental, badan yudikatif, badan legislatif, pemilihan umum, hak-hak
minoritas, kedudukan khusus orang Melayu dan prosedur-prosedur perubahan
(dalam hal ini, untuk mengubah ketentuan-ketentuan tersebut diperlukan proses
[persetujuan] dua tahap: 2/3 mayoritas suara di Parlemen dan diikuti dengan 2/3
mayoritas suara pada referendum nasional). Satu rekomendasi yang diterima
adalah dibentuknya Dewan Negara (State Council), yaitu suatu badan penasehat
yang mengusulkan nasehat-nasehat kepada Parlemen mengenai suatu peraturan yang
sedang diajukan dan dampaknya terhadap golongan minoritas. Badan ini sekarang
dikenal dengan nama Dewan Kepresidenan untuk Bidang Hak-hak Minoritas
(Presidential Council for Minority Rights).
9. Perkembangan
Sistem Hukum Milik Sendiri
Pada tahun
1970-an dan 1980-an terasa adanya kemudahan secara implisit karena telah
mewarisi tradisi, kebiasaan dan hukum Inggris. Dorongan untuk menciptakan
sistem hukum sendiri telah meningkatkan momentum pada akhir tahun 1980-an dan
dipercepat dengan pengangkatan Hakim Kepala Yong Pung How pada bulan September
1990 yang masih menjabat hingga saat ini. Peristiwa ini berbarengan dengan masa
penyusunan kembali secara konstitusional dan intensif untuk mengembangkan
sistem pemerintahan dan parlemen sendiri milik Singapura. Ditinggalkannya
sistem parlemen yang terinspirasi gaya Westminster telah
dibuktikan melalui inovasi-inovasi, yang diupayakan untuk mengatasi keadaan
politik yang unik di Singapura.
Tahun 1979:
Ketentuan-ketentuan konstitusional dibuat untuk membentuk Komisaris Yudisial
(Judicial Commissioners) yang berfungsi memfasilitasi penyelesaian perkara di
Mahkamah Agung untuk suatu waktu yang terbatas yang dapat diperbaharui, yaitu
antara 6 bulan sampai 3 tahun. Komisaris Yudisial juga dapat ditunjuk untuk
memeriksa dan memutuskan suatu kasus tertentu saja. Komisaris Yudisial melaksanakan
wewenang dan fungsi yang sama dengan Hakim Pengadilan Tinggi (High Court
Justice) dan memiliki imunitas seperti yang dimiliki Hakim Pengadilan Tinggi,
kecuali dalam hal tidak ada jaminan tentang jangka waktu masa jabatan.
Sebelumnya, pada tahun 1971, Konstitusi Singapura telah diubah sedemikian rupa
agar memungkinkan diangkatnya hakim-hakim tambahan, sehingga memungkinkan para
Hakim Pengadilan Tinggi, yang seharusnya sudah pensiun pada usia 65 tahun,
untuk tetap duduk di kursi hakim untuk masa jabatan yang lebih panjang
berdasarkan suatu kontrak.
Tahun 1993:
Penghapusan semua upaya banding ke Dewan Penasehat (Privy Council) (pada 1989,
upaya-upaya banding ke Privy Council dilarang keras). Suatu Pengadilan Banding
(Court of Appeal) yang permanen, dipimpin oleh Hakim Kepala (Chief Justice) dan
dua Hakim Banding (Justices of Appeal), ditetapkan sebagai pengadilan tertinggi
Singapura. Pada bulan November 1993, Undang-undang tentang Penerapan Hukum
Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed) diberlakukan
dan menentukan sejauh mana hukum Inggris dapat diterapkan di Singapura.
Tanggal 11
Juli 1994: Suatu Pernyataan Praktek tentang Preseden Yudisial (The Practice
Statement on Judicial Precedent) yang penting menyatakan bahwa
keputusan-keputusan pengadilan Singapura terdahulu, yaitu Dewan Penasehat
(Privy Council), demikian juga keputusan-keputusan Pengadilan Banding
(Court of Appeal) yang dikeluarkan sebelumnya tidak lagi mengikat
Pengadilan Banding permanen. The Practice Statement memberikan alasan bahwa
“pembangunan hukum kita harus menunjukkan perubahan-perubahan ini [bahwa
keadaan politik, sosial dan ekonomi telah mengalami perubahan sangat besar
sejak kemerdekaan Singapura] serta menunjukkan nilai-nilai fundamental
masyarakat Singapura”. Kepercayaan diri yang meningkat dalam pertumbuhan
kedewasaan, kedudukan sistem hukum Singapura di dunia internasional, serta
kekhawatiran bahwa hubungan Inggris yang meningkat dengan Uni Eropa akan
mengakibatkan hukum Inggris menjadi tidak cocok lagi dengan perkembangan dan
aspirasi dalam negeri [Singapura], telah memberikan dorongan untuk upaya-upaya
pembentukan hukum sendiri.
10 . Penerimaan Hukum Inggris
Sebelum diundangkannya Undang-undang tentang
Penerapan Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev
Ed), Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice) menetapkan dasar
hukum bagi penerimaan secara umum prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum
Inggris (common law and equity) dan undang-undang Inggris pra-1826 di
Singapura, dengan syarat harus memperhatikan kecocokan dan modifikasi sesuai
kebutuhan dalam negeri. Namun, kesulitannya adalah tidak seorang pun yang
tahu dengan pasti yang manakah dari undang-undang Inggris tersebut yang
diterapkan di sini (bahkan undang-undang yang di Inggris telah dicabut).
Permasalahan ini menunjukkan dengan jelas
penerimaan hukum Inggris secara spesifik berdasarkan Section 5 (sekarang sudah
dicabut) dari Undang-undang tentang Hukum Perdata (the Civil Law Act; Cap 43,
1988 Rev Ed) yang menetapkan bahwa jika ada suatu pertanyaan atau masalah yang
timbul di Singapura mengenai kategori hukum tertentu atau tentang hukum yang
menyangkut perdagangan secara umum, maka hukum yang diterapkan dalam hal ini
adalah hukum yang sama yang diterapkan di Inggris pada kurun waktu yang sama
pula, kecuali jika terdapat ketentuan lain berdasarkan suatu hukum yang berlaku
di Singapura. Sampai dengan dicabut pada tahun 1993, hal ini merupakan ketentuan
penerimaan yang penting dalam kitab-kitab undang-undang Singapura.
Pencabutannya juga telah menghapus banyak ketidakpastian dan keadaan-keadaan
yang tidak memuaskan yang timbul dari suatu negara berdaulat, yang hingga kini
sangat bergantung pada hukum dari bekas negara penjajahnya.
Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris
(The Application of the English Law Act) menetapkan bahwa common law Inggris
(termasuk prinsip-prinsip dan aturan-aturan tentang keadilan), sepanjang masih
menjadi bagian dari hukum Singapura sebelum 12 November 1993, akan tetap
menjadi bagian dari hukum Singapura. Section 3 dari Undang-undang tersebut
menetapkan bahwa bagaimanapun common law akan tetap berlaku di Singapura
sepanjang hal tersebut dapat diterapkan pada keadaan-keadaan di Singapura dan
harus dimodifikasi jika keadaan khusus di Singapura mengharuskannya.
Section 4, dibaca bersamaan dengan the First Schedule, menentukan
pengundangan peraturan-peraturan Inggris (baik seluruhnya maupun sebagian),
dengan modifikasi yang diperlukan, yang diberlakukan atau terus diberlakukan di
Singapura. Section 7 menetapkan berbagai perubahan pada undang-undang dalam
negeri, dengan memasukkan peraturan hukum Inggris yang relevan.
a. Akar-akar
Common Law
Common Law adalah sehelai benang penting dari
lembar kain politik-hukum Singapura. Singapura telah mewarisi tradisi common
law Inggris dan karenanya telah menikmati manfaat-manfaat kestabilan, kepastian
dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem Inggris (khususnya dalam
bidang komersial/perdagangan). Singapura memiliki akar common law Inggris yang
sama dengan yang dimiliki negara-negara tetangganya (seperti India, Malaysia,
Brunei dan Myanmar),
walaupun detil penerapan dan pelaksanaan dari masing-masing negara berbeda
sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.
b. Doktrin Preseden Yudisial (Judicial
Precedent)
Pada intinya,
sistem hukum common law Singapura dicirikan dari doktrin preseden yudisial
(atau stare decisis). Berdasarkan doktrin ini, hukum itu dibangun dan
dikembangkan terus oleh para hakim melalui aplikasi prinsip-prinsip hukum pada
fakta-fakta dari kasus-kasus tertentu. Dalam hal ini, para hakim hanya
diwajibkan untuk menerapkan ratio decidendi (atau alasan yang mempengaruhi
diambilnya suatu keputusan) dari pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi dalam
hirarki yang sama. Jadi, di Singapura, ratio decidendi yang terdapat dalam
keputusan-keputusan Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal)
secara ketat mengikat Pengadilan Tinggi Singapura (Singapore High Court),
Pengadilan Negeri (District Court) dan Pengadilan Magistrat (Magistrate’s
Court). Di lain pihak, keputusan-keputusan pengadilan Inggris dan negara-negara
Persemakmuran lainnya tidak secara ketat mengikat Singapura.
Pernyataan-pernyataan yudisial lainnya (obiter dicta) yang dibuat dalam
keputusan pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya, yang tidak secara langsung
mempengaruhi hasil akhir suatu kasus, dapat diabaikan oleh pengadilan yang
lebih rendah tingkatannya.
Pengadilan yang
lebih rendah tingkatannya, dalam beberapa kasus, dapat menghindarkan diri dari
keharusan menerapkan ratio decidendi dari keputusan pengadilan yang lebih
tinggi yang dikeluarkan sebelumnya, jika (a) pengadilan tersebut dapat
membedakan secara material fakta-fakta kasus yang dibawa ke hadapannya dengan
fakta-fakta dari keputusan yang sebelumnya pernah diambil oleh pengadilan yang
lebih tinggi; atau (b) keputusan pengadilan yang lebih tinggi
tersebut memang dibuat secara per incuriam (yaitu, tanpa menghiraukan
doktrin stare dicisis).
3. Pengaruh
dari dan Ditinggalkannya Common Law Inggris
Pengaruh besar
dari hukum common law Inggris pada perkembangan hukum Singapura secara umum
lebih terbukti dari beberapa bidang common law tradisional (seperti
Perjanjian/Contract, Perbuatan Melawan Hukum/Tort dan Restitusi/Restitution)
daripada bidang-bidang lain yang didasarkan pada undang-undang (seperti Hukum
Pidana/Criminal Law, Hukum Perusahaan/Company Law dan Hukum Pembuktian/Law of
Evidence). Mengenai bidang-bidang yang didasarkan pada undang-undang ini,
negara-negara lain seperti India dan Australia telah amat mempengaruhi dari
segi pendekatan dan isi dari beberapa undang-undang Singapura tersebut.
Namun, akhir-akhir
ini tendensi pengadilan di Singapura yang dahulu selalu mengindahkan
keputusan-keputusan Inggris telah secara signifikan mulai beralih menuju
ditinggalkannya pengadilan-pengadilan Inggris tersebut (bahkan untuk
bidang-bidang tradisional common law). Bahkan saat ini terdapat pengakuan
yang lebih besar pada yurisprudensi lokal di dalam perkembangan common law di
Singapura.
Dua contoh yang
terjadi baru-baru ini, akan memberikan gambaran yang cukup jelas tentang hasrat
Singapura mengembangkan sistem dan badan hukum sendiri. Dalam bidang perbuatan
melawan hukum (torts), pengadilan-pengadilan Singapura telah secara sadar
menyimpang dari exclusionary rule dalam kasus Inggris Murphy vs Pengadilan
Negeri Brentford (1991) sehingga memungkinkan pemulihan kerugian secara ekonomi
yang timbul dari tindakan kelalaian (negligent acts) atau kegagalan melakukan
sesuatu (omissions) berdasarkan kasus Anns vs Merton (1978). Dalam kasus yang
baru-baru ini terjadi, dalam bidang hukum perjanjian, yaitu kasus Chwee Kin
Keong v Digilandmall.com Pte Ltd (2005) di Pengadilan Banding Singapura
(Singapore Court of Appeal), pengadilan tersebut telah memilih untuk tidak
mengadopsi pendapat dalam putusan Pengadilan Banding Inggris (the English Court
of Appeal) dalam kasus Great Peace Shipping Ltd v Tsavliris Salvage
(International) Ltd (2002) mengenai yurisdiksi yang adil (equity jurisdiction)
dalam hal terjadi kesalahan unilateral. Kebutuhan untuk memiliki sistem hukum
sendiri ini secara lebih jauh telah didorong oleh adanya
perkembangan-perkembangan hukum Uni Eropa dan dampaknya bagi sistem Inggris.
4. Perbandingan
Sekilas: Sistem Hukum Common Law dengan Sistem Hukum Civil Law
Sistem common law di
Singapura mengandung perbedaan yang material dengan sistem hukum di beberapa
negara Asia lainnya yang telah dipengaruhi oleh tradisi sistem civil law
(seperti RRC, Vietnam dan Thailand) atau negara-negara yang sistem hukumnya
merupakan campuran dari sistem civil law dan common law (misalnya Filipina).
Pertama-tama,
sistem civil law tidak terlalu mengandalkan diri pada putusan pengadilan yang
telah ada sebelumnya dan tidak tunduk pada doktrin stare decisis, tidak seperti
halnya sistem common law sebagaimana dijelaskan di dalam Bagian 3.2 dan 3.3 di
atas. Pengadilan-pengadilan common law seperti di Singapura pada umumnya
mengambil pendekatan yang berlawanan (adversarial approach) di dalam proses
litigasi antara para pihak yang bersengketa sedangkan hakim dari sistem civil
law bertendensi untuk mengambil peran yang lebih aktif di dalam penemuan bukti
dalam memutuskan perkara yang dihadapinya. Ketiga, di dalam sistem common law,
banyak prinsip-prinsip hukum yang telah dikembangkan oleh para hakim sedangkan
hakim dalam sistem civil law lebih mengandalkan diri pada kitab undang-undang
yang umum dan lengkap yang mengatur berbagai bidang hukum.
Akan tetapi,
perbedaan antara sistem hukum common law dan civil law sekarang menjadi lebih
tidak kentara dibandingkan dengan masa yang lampau. Yurisdiksi common law,
misalnya, telah mulai membuat peraturan-peraturan untuk mengisi kesenjangan
yang terjadi di dalam sistem common law. Dalam hal ini, Singapura baru-baru ini
telah mengundangkan berbagai undang-undang untuk mengatur berbagai bidang hukum
tertentu (misalnya Contract (Rights of Third Parties) Act 2001 (Cap 53B, 2002
Rev Ed), Competition Act 2004 (No 46 of 2004) dan Consumer Protection (Fair
Trading) Act) (Cap 52A, 2004 Rev Ed).
5. Common
Law dan Equity
Menurut sejarah, di Inggris, prinsip Equity
(atau raga dari prinsip-prinsip keadilan – fairness or justice) telah
diterapkan oleh pengadilan-pengadilan untuk memperbaiki cacat atau kelemahan
yang inheren dalam sistem common law yang kaku. Pada masa yang lalu di Inggris,
pengadilan-pengadilan Chancery [Chancery courts] menjalankan Equity secara
terpisah dari pengadilan-pengadilan common law. Namun, demarkasi sejarah
tersebut tidaklah penting bagi Singapura di masa kini.
Menurut Undang-undang Hukum Perdata Singapura
(Singapore Civil Law Act, Cap 43, 1999 Rev Ed), pengadilan-pengadilan Singapura
diberi wewenang untuk menjalankan common law dan equity secara bersamaan.
Dampak praktisnya adalah penggugat dapat mencari upaya-upaya hukum secara
common law (Ganti rugi/Damages) dan secara equity (termasuk Putusan
Sela/Injunctions dan Pelaksanaan Janji Tertentu/Specific Performance) dalam
persidangan yang sama dan di hadapan pengadilan yang sama pula. Meskipun telah
ada penghapusan pemisahan Common Law-Equity, prinsip Equity telah memegang
peran yang bersifat menentukan, dalam perkembangan doktrin-doktrin tertentu
dalam hukum perjanjian, termasuk doktrin Undue Influence dan Promissory
Estoppel.
6. Publikasi
Laporan-laporan Hukum
Tanpa adanya publikasi secara reguler tentang
preseden-preseden yudisial yang dapat diakses oleh para hakim dan penasehat
hukum, maka common law Singapura tidak akan berkembang sepesat dan seekstensif
sekarang. Laporan-laporan Hukum Singapura (Singapore Law Reports) merupakan
publikasi utama/penting bagi putusan-putusan pengadilan Singapura sejak 1992.
Sebelumnya, Malayan Law Journal merupakan sumber publikasi kasus-kasus lokal
sejak 1932. Buku-buku hukum dan artikel-artikel jurnal mengenai bidang-bidang
yang penting juga telah memberikan sumbangan bagi common law Singapura yang
sedang tumbuh.
7. Hukum
Islam (dalam Masalah Hukum Perorangan/Keluarga)
Di samping Common Law dan Equity, Pengadilan
Syariah (Syariah Court) juga telah menerapkan/menjalankan hukum Islam untuk
menangani masalah-masalah hukum tertentu mengenai perkawinan, perceraian,
pembatalan perkawinan dan perpisahan yudisial di bawah Undang-undang
Administrasi Hukum Islam (the Admintration of Muslim Law Act – AMLA, Cap 3, 1999
Rev Ed) yang berlaku untuk penduduk muslim atau para pihak yang menikah
berdasarkan hukum Islam (walaupun Pengadilan Tinggi/High Court mempunyai
yurisdiksi yang setara dengan Pengadilan Syariah/Syariah Court untuk
masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan pemeliharaan/maintenance,
pengasuhan/custody dan pemisahan harta/division of property). Untuk bidang
waris/inheritance dan suksesi/succession, AMLA secara tegas menerima teks-teks
Islami tertentu sebagai bukti dalam hukum Islam.
a. Undang-undang Tertinggi (Supreme
Law)
Konstitusi (Constitution, 1999 Rev Ed) adalah
undang-undang tertinggi di Singapura. Diamanatkan bahwa setiap peraturan
yang bertentangan dengan Konstitusi adalah batal.
Ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi hanya dapat diubah berdasarkan persetujuan
2/3 suara dari jumlah total Anggota Parlemen terpilih. Sehubungan dengan
perubahan-perubahan konstitusional tertentu untuk mengubah wewenang-wewenang
memutuskan dari Presiden Terpilih dan ketentuan-ketentuan tentang kemerdekaan
fundamental, bagaimanapun, disyaratkan juga persetujuan dari sedikitnya 2/3
dari jumlah total suara yang diambil oleh para pemilih (electorate) dalam suatu
referendum nasional.
b. Hak-hak
Fundamental
Konstitusi menetapkan
hak-hak fundamental tertentu, seperti kebebasan beragama (freedom of religion),
kebebasan berbicara (freedom of speech) dan persamaan hak (equal rights).
Hak-hak individual ini tidaklah bersifat absolut melainkan dibatasi oleh
kepentingan umum, seperti pemeliharaan ketertiban umum, moralitas dan keamanan
nasional. Di samping perlindungan umum ras dan agama golongan minoritas,
kedudukan kaum Melayu, sebagai masyarakat asli/pribumi Singapura, juga secara
konstitusional diamanatkan.
c. Wewenang
dan Fungsi Organ-organ Negara
Konstitusi
mengandung ketentuan-ketentuan yang secara tegas menentukan wewenang dan
tugas/fungsi berbagai organ negara, termasuk badan legislatif/Legislature
, badan eksekutif/Executive dan
badan yudikatif/Judiciary .
Tugas utama Parlemen Singapura adalah mengundangkan
undang-undang yang mengatur Negara.
Proses pembuatan undang-undang dimulai
dengan Rancangan Undang-Undang (“RUU”), yang biasanya disusun oleh
pejabat-pejabat hukum Pemerintah. RUU-RUU yang berjenis private members jarang
terdapat di Singapura. Selama masa diskusi dalam Parlemen mengenai suatu RUU
yang penting, kadang-kadang para Menteri melakukan pidato atau presentasi yang
mengesankan dalam upaya mereka mempertahankan RUU tersebut dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan oleh para penentangnya
(backbenchers). Para Anggota Perlemen (Members of the Parliament – MPs), dalam
beberapa hal, dapat memutuskan untuk menyerahkan RUU tersebut kepada suatu
Komite Khusus (Select Committee) agar memeriksa/membahas dengan seksama dan
melaporkan hasilnya kepada Perlemen. Jika laporan tersebut dinilai baik atau
jika usulan perubahan-perubahan atas RUU tersebut disetujui oleh Parlemen, maka
RUU tersebut diterima dan disetujui oleh Parlemen.
Dewan Kepresidenan
untuk Hak-hak Minoritas (The Presidential Council for Minority Rights -- PCMR)
yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Singapura ditugasi untuk
memeriksa/menelaah RUU-RUU dengan seksama, kecuali untuk beberapa RUU tertentu
yang dikecualikan, untuk memastikan agar RUU yang diperiksanya itu
dengan cara apapun tidak merugikan orang-orang dari golongan ras atau agama
tertentu dan secara seimbang tidak pula merugikan golongan lainnya, baik yang
secara langsung menaruh prasangka pada orang-orang dari golongan tertentu atau
yang secara tak langsung memberikan keuntungan hanya pada suatu golongan
tertentu lainnya. Jika laporan PCMR itu menunjukkan hasil yang baik atau jika
persetujuan 2/3 mayoritas di Parlemen telah diterima untuk menyampingkan
laporan PCMR yang menunjukkan hasil tidak baik, maka RUU tersebut, selanjutnya
akan diteruskan kepada Presiden untuk disetujui. Pada tahap inilah RUU tersebut
secara resmi telah diundangkan sebagai “undang-undang”.
10. Susunan
Parlemen
Dari segi susunan,
Parlemen Singapura terdiri dari para anggota yang dipilih dan para anggota yang
tidak dipilih.
Anggota Parlemen yang dipilih
berasal para calon angggota yang memenangi pemilihan umum yang diselenggarakan
setiap 4 sampai 5 tahun. Pada saat ini, Parlemen didominasi oleh partai PAP
yang sedang memimpin dan yang lain adalah sedikit perwakilan dari beberapa
partai politik oposisi. Mereka (anggota dari partai politik oposisi) berasal
dari campuran antara daerah-daerah pemilihan beranggota tunggal (single-member
constituencies) dengan Daerah Pemilihan dengan Perwakilan Kelompok (Group
Representation Constituencies - GRCs). GRC yang didirikan pada tahun 1988, saat
ini terdiri dari 4 sampai 6 anggota, yang paling sedikit satu di antaranya
harus merupakan perwakilan yang dipilih dari golongan minoritas. Tujuan utama
GRC adalah untuk menjalankan multirasialisme dalam dunia politik Singapura.
Di lain pihak, Anggota
Parlemen yang tidak dipilih tidak mempunyai hak suara dalam pengambilan
suara/voting untuk perubahan-perubahan konstitusional, RUU keuangan dan mosi
tidak percaya pada Pemerintah. Anggota Parlemen yang tidak dipilih ini terdiri
dari dua kategori yang berbeda, yaitu: Anggota Parlemen Bukan Dari Daerah Pemilihan
(Non-Constituency Members of Parliament - NCMPs) dan Anggota Parlemen Yang
Dicalonkan (Nominated Members of Parliament - NMP).
Untuk menyalurkan
suara politik yang berbeda di Parlemen, anggota NCMPs dipilih dari para calon
anggota yang telah mengumpulkan persentase suara tertinggi di antara mereka
“yang kalah” dalam pemilihan umum. Sebaliknya, anggota NMPs adalah para
tokoh masyarakat non-politikus yang dicalonkan agar memberikan variasi yang
lebih besar pada pandangan-pandangan non-partisan di Parlemen.
Pemimpin Badan
Eksekutif adalah Presiden Terpilih. Kualifikasi atau persyaratan untuk jabatan
kepresidenan sangatlah ketat. Di samping integritas, karakter baik dan
syarat-syarat lainnya, calon presiden diharuskan telah menduduki jabatan tinggi
selama tidak kurang dari 3 tahun di posisi yang ditentukan secara
konstitusional, dewan resmi negara, perusahaan besar atau jabatan setingkat
lainnya dalam organisasi atau departemen yang mempunyai ukuran besar dan
kompleksitas yang setara (baik dari sektor publik maupun swasta), yang telah
memberikan pengalaman dan kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan tanggung
jawab kepresidenan yang akan dipikulnya. Komite Pemilihan Presiden
(Presidential Elections Committee) telah dibentuk untuk memastikan agar
persyaratan-persyaratan tersebut terpenuhi.
Presiden Terpilih
mengemban tugas menjaga cadangan devisa luar negeri negara dan mempertahankan
hak veto atas pengangkatan para pegawai negeri yang memegang posisi kunci.
Jika Presiden akan melepaskan tugas-tugas konstitusional ini, maka
Presiden diharuskan berkonsultasi dengan Dewan Penasehat Presiden (Council of
Presidential Advisers), suatu badan yang dibentuk berdasarkan Konstitusi
Singapura.
12. Kabinet
Kabinet, yang berada di
bawah wewenang Perdana Menteri (Prime Minister), bertanggung jawab secara
kolektif kepada Parlemen. Perdana Menteri adalah seseorang yang dipilih oleh
Presiden Terpilih, yang atas penilaian Presiden Terpilih dianggap akan dapat
memperoleh kepercayaan dari mayoritas Anggota Parlemen.
Tidak ada pemisahan wewenang secara tegas antara Badan Eksekutif dengan Badan
Legislatif. Dari segi komposisi, para anggota Kabinet dipilih dari Anggota
Parlemen (Members of Parliament). Para Sekretaris Parlemen (Parliamentary
Secretaries) selanjutnya dipilih dari para Anggota Parlemen untuk membantu
kerja para Menteri. Selanjutnya, para Menteri dan badan-badan pemerintah yang
terkait bertanggung jawab membuat peraturan-peraturan di tingkat yang lebih
rendah sebagai pelaksanaan dari peraturan induk yang telah diundangkan oleh
Parlemen.
13. Para
Penasehat Hukum Pemerintah
Untuk segi hukum,
Pemerintah dinasehati dan diwakili oleh Jaksa Agung (Attorney General) dan
Pengacara Umum Negara (Solicitor-General) baik untuk masalah-masalah perdata
maupun pidana. Juga ada bagian-bagian khusus dalam Kejaksaan Agung (Attorney
General’s Chambers) yang menangani pembuatan rancangan/konsep peraturan,
reformasi hukum dan urusan-urusan internasional.
Tingkat efisiensi dan kekuasaan Badan Yudikatif Singapura yang sangat tinggi
telah memenangi penghargaan-penghargaan internasional dan reputasi
internasional yang kuat (lihat peringkat sistem-sistem hukum dunia yang dibuat
oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dan Institute for
Management Development (IMD)). Di bawah kepemimpinan Hakim Kepala (Chief
Justice) Yong Pung How yang saat ini menjabat, pelaksanaan secara ketat
manajemen kasus dan metode-metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (lihat
Bagian 9 di bawah ini) telah secara drastis mengurangi timbunan kasus yang
telah lama bertumpuk di Mahkamah Agung (Supreme Court) dan
Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah (Subordinate Courts) di masa yang baru
saja berlalu.
Hakim di Singapura adalah
arbiter baik dari segi hukum maupun fakta. Sistem juri/jury system telah secara
keras dibatasi di Singapura dan akhirnya dihapuskan sepenuhnya pada tahun 1970.
Wewenang yudisial diberikan kepada Mahkamah Agung/Supreme Court (yang terdiri
dari Pengadilan Banding Singapura/Singapore Court of Appeal dan Pengadilan
Tinggi/High Court) dan kepada Pengadilan-pengadilan Yang Lebih
Rendah/Subordinate Courts.
Pengadilan tertinggi
di Singapura adalah Pengadilan Banding permanen/permanent Court of Appeal, yang
menangani kasus-kasus banding baik perdata maupun pidana, yang berasal dari
Pengadilan Tinggi/High Court dan Pengadilan-pengadilan Yang Lebih
Rendah/Subordinate Courts. Sebagai
tonggak sejarah hukum yang penting di Singapura, pada tahun 1994,
pengajuan-pengajuan banding ke Privy Council di Inggris dihapuskan. Pada
tanggal 11 Juli 1994, suatu Pernyataan tentang Preseden Yudisial (Practice
Statement on Judicial Precedent) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Singapura
memberikan penjelasan bahwa Pengadilan Banding Singapura/Singapore Court of
Appeal tidak terikat pada keputusan-keputusannya sendiri maupun pada
keputusan-keputusan terdahulu Privy Council. Namun, Pengadilan Banding
Singapura/Singapore Court of Appeal akan tetap menganggap keputusan-keputusan
tersebut mengikat secara normal, meskipun pengadilan tersebut dapat menyimpang
dari preseden terdahulu jika dianggap benar untuk melakukannya.
Para Hakim Pengadilan Tinggi/High Court Judges
menikmati jaminan masa tugas untuk jangka waktu tertentu, sementara para
Komisaris Yudisial/Judicial Commissioners diangkat berdasarkan kontrak jangka
pendek. Namun demikian, keduanya mempunyai wewenang yudisial dan imunitas yang
sama. Wewenang yudisial mereka meliputi yurisdiksi tingkat awal (original)
maupun tingkat banding (appellate) baik untuk perkara perdata maupun pidana.
Pengangkatan para Hakim Pengadilan Tinggi baru-baru ini, yang khusus untuk
menangani perkara arbitrase di Pengadilan Tinggi, telah menambah 2 jenis
pengadilan khusus yang telah ada, yaitu: Pengadilan Maritim/Admiralty Court dan Pengadilan Hak Milik Intelektual/Intellectual
Property Court.
Tribunal
Konstitusional/Constitutional Tribunal khusus juga telah dibentuk yang berada
di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung/Supreme Court, untuk menangani
pertanyaan-pertanyaan yang berdampak pada ketentuan-ketentuan konstitusional
yang diserahkan oleh Presiden Terpilih.
Pengadilan-pengadilan Yang Lebih
Rendah/Subordinate Courts (yang terdiri dari Pengadilan Negeri/District Courts,
Pengadilan Magistrat/Magistrates’ Courts, Pengadilan Anak-anak/Juvenile Courts,
Coroners Courts serta Tribunal Gugatan Kecil/Small Claims Tribunals) juga telah
dibentuk dalam hirarki yudisial Singapura untuk melaksanakan keadilan dalam
masyarakat. Dengan adanya peningkatan kecanggihan dalam dunia transaksi bisnis
dan hukum, baru-baru ini telah dibentuk Pengadilan Negeri Urusan Niaga Perdata
dan Pidana/Commercial Civil and Criminal District Courts dalam Subordinate
Courts, untuk menangani kasus-kasus yang lebih kompleks.
Pengadilan
Negeri/District Courts dan Pengadilan Magistrat/Magistrates’ Courts mempunyai
wewenang yang sama dalam penanganan masalah-masalah tertentu seperti
gugatan-gugatan yang mengandung unsur kontraktual dan perbuatan melawan
hukum atas utang, tagihan atau kerugian dan tindakan-tindakan untuk
pengembalian uang. Namun, yurisdiksi mereka dibatasi oleh besarnya nilai
perkara, yaitu untuk kasus-kasus perdata senilai $ 60.000 Dolar Singapura untuk
Pengadilan Magistrat dan $ 250.000 Dolar Singapura untuk Pengadilan Negeri.
Pengadilan-pengadilan itu juga mempunyai perbedaan dari segi wewenang menghukum
secara pidana. Batasan masa kurungan yang ditetapkan Pengadilan Magistrat
adalah 2 tahun, sedangkan batasan masa kurungan yang ditetapkan Pengadilan
Negeri adalah 7 tahun.
Di lain pihak, Tribunal untuk Gugatan Kecil/Small
Claims Tribunals, dapat menangani kasus secara lebih cepat, hemat dan dengan
proses yang tidak terlalu formal untuk memutuskan kasus-kasus gugatan kecil
dengan batasan sebesar $20.000 Dolar Singapura (asalkan para pihak yang
bersengketa sama-sama menyetujui secara tertulis).
Di samping pengadilan-pengadilan yang
disebutkan di atas, Pengadilan Keluarga/Family Courts menangani masalah-masalah
perceraian, pemeliharaan, perwalian dan adopsi.
Badan Yudikatif juga
telah mengambil langkah-langkah penting dalam memanfaatkan teknologi informasi
di pengadilan, yang telah meningkatkan tingkat efisiensi, setidaknya untuk
sebagian hal. Pengadilan Berteknologi, misalnya, telah didirikan untuk
memungkinkan adanya information sharing di antara para pengacara dan hakim dan
pengajuan bukti-bukti oleh para saksi melalui konferensi video. Upaya-upaya hukum
yang melibatkan suatu perusahaan atau seseorang individu dapat dimonitor
melalui suatu fasilitas yang disebut Casewatch. Sistem Pengarsipan
Elektronik/Electronic Filing System (EFS), suatu proyek gabungan antara Badan
Yudikatif, Singapore Network Services dan Singapore Academy of Law (http://www.sal.org.sg) untuk memungkinkan
pengarsipan, ekstraksi dan penyampaian dokumen-dokumen pengadilan serta
pelacakan kasus secara elektronik, sekarang juga telah mencapai tahap penyempurnaan
kembali untuk meningkatkan pelayanan pada para pemakai jasa. Berbagai inovasi
teknologi informasi telah pula dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan
menyederhanakan berbagai proses pidana, yaitu pendaftaran dan pengelolaan
kasus-kasus pidana (SCRIMS), pemrosesan biaya-biaya lalu lintas antara Polisi
dan Pengadilan (TICKS 2000) dan pembayaran denda-denda pelanggaran lalu lintas
yang kecil (ATOMS).
15. Pendidikan dan Profesi
Hukum
Profesi hukum di Singapura bersifat “melebur” –
seorang lawyer di Singapura dapat bertindak sebagai Advokat/penasehat
hukum/Advocate sekaligus sebagai Pengacara/Solicitor. Pada garis besarnya,
seorang lawyer tetaplah seorang pejabat Mahkamah Agung. Kesempatan-kesempatan
seorang lawyer Singapura cukup beragam - ia, misalnya, dapat bekerja sebagai
pejabat hukum atau pejabat yudisial pada Singapore Legal Service, sebagai
penasehat hukum internal suatu perusahaan atau berpraktek hukum pada suatu
kantor hukum lokal maupun internasional. Jika berpraktek dalam lingkungan
kantor hukum lokal, maka ia dapat menangani litigasi, pekerjaan korporasi,
pekerjaan conveyancing dan hak milik intelektual. Seorang lawyer pada kantor
hukum internasional pada umumnya dibatasi untuk menangani urusan-urusan
korporasi, keuangan dan perbankan yang canggih. Dalam tahun-tahun terakhir ini,
seperti halnya pengadilan, profesi hukum telah mengalami pengkhususan atau
spesialisasi fungsi sebagaimana terlihat dari keterlibatan lebih banyak lawyer
dalam bidang-bidang yang sifatnya lebih esoteric seperti misalnya bioteknologi
dan sekuritisasi asset/asset securitizations.
Pendidikan hukum yang baik
adalah kunci bagi kelahiran dan pengembangan selanjutnya dari seorang lawyer
Singapura. Agar dapat diterima dalam Asosiasi Profesi Hukum Singapura
(Singapore Bar), seorang calon pendaftar harus terlebih dahulu memperoleh
status “seorang yang mempunyai kualifikasi” dengan cara memperoleh suatu gelar
hukum dari National University of Singapore
di suatu universitas luar negeri di
Inggris, Australia,
Kanada atau Selandia Baru yang diakui. Para lulusan sarjana hukum (law
graduates) dari universitas-universitas yang diakui tersebut juga diharuskan
untuk menyelesaikan Diploma of Singapore Law yang diselenggarakan oleh National
University of Singapore. Kesulitan selanjutnya adalah adanya keharusan untuk
lulus dari ujian-ujian Postgraduate Law Course yang diselenggarakan oleh Board
of Legal Education. Akhirnya, seorang lulusan sarjana hukum (law graduate) juga
diharuskan untuk menjalani suatu masa pendidikan praktek privat selama enam
bulan pada seorang Pengacara atau Advokat yang sudah berpraktek serta memenuhi
dining requirements tertentu. Jika persyaratan-persyaratan tersebut sudah
terpenuhi semua, maka seseorang dapat diterima sebagai anggota Asosiasi Profesi
Hukum Singapura (Singapore Bar).
Terdapat pula jalan lain agar seseorang dapat diterima dalam Asosiasi Profesi
Hukum Singapura (Singapore Bar), meskipun lebih terbatas, yaitu mereka yang
berstatus Penasehat Ratu (Queen’s Counsel) atau praktisi Malaysia (Malaysian
practitioners). Dengan meningkatnya internasionalisasi jasa-jasa hukum,
fakultas hukum pada National University of Singapore telah menekankan secara
lebih tegas perlunya para lulusan sarjana (undergraduates) untuk memperoleh
pengetahuan dan mengenal secara langsung sistem-sistem hukum asing dan hukum
internasional. Upaya-upaya yang baru-baru ini dilakukan oleh Law Society’s
Continuing Professional Development – CPD Committee telah mencapai suatu hasil
yang penting dalam menekankan perlunya para lawyer Singapura untuk tetap
memutakhirkan pengetahuannya mengenai perkembangan-perkembangan hukum.
Dengan meningkatnya
internasionalisasi jasa-jasa hukum, fakultas hukum pada National University of
Singapore telah menekankan secara lebih tegas perlunya para lulusan sarjana
(undergraduates) untuk memperoleh pengetahuan dan mengenal secara langsung
sistem-sistem hukum asing dan hukum internasional. Upaya-upaya yang baru-baru
ini dilakukan oleh Law Society’s Continuing Professional Development – CPD
Committee telah mencapai suatu hasil yang penting dalam menekankan perlunya
para lawyer Singapura untuk tetap memutakhirkan pengetahuannya mengenai
perkembangan-perkembangan hukum.
Bagi lawyer yang memilih untuk mendirikan atau membuka praktek sendiri, suatu
ciri yang jelas dalam dunia hukum akhir-akhir ini adalah adanya proliferasi
atau berkembang pesatnya cara-cara untuk mendirikan praktek hukum dan aliansi
kerjasama antar kantor-kantor hukum. Di samping bentuk-bentuk kepemilikan
tunggal dan kemitraan sebagaimana yang sudah biasa dipakai sebelumnya, ada juga
bentuk law corporation dengan manfaat seperti layaknya perseroan terbatas. Juga
terdapat cara untuk membentuk suatu Usaha Hukum Patungan/Joint Law Venture dan
Aliansi Hukum Formal/Formal Law Alliances antara kantor-kantor hukum lokal
dengan asing (dengan syarat harus memperoleh izin dari Jaksa Agung), dengan
manfaat yang dapat diperoleh berupa bantuan pemasaran untuk usaha patungan atau
aliansi tersebut sehingga dapat berperan sebagai suatu penyedia jasa tunggal
(single service provider) dan sistem penagihan terpusat (centralized billing)
bagi para kliennya.
Dalam tahun-tahun
belakangan ini, terdapat suatu kekuatiran bahwa sejumlah besar lawyer Singapura
telah meninggalkan praktek hukum mereka untuk berpindah menjadi penasehat hukum
internal perusahaan atau berpindah ke bidang non-hukum lainnya. Untuk menahan
gelombang pasang berpindahnya para lawyer ini, suatu rancangan untuk praktisi
hukum pengganti (locum practising lawyers’ scheme) telah ditetapkan untuk
memungkinkan para locum lawyer tersebut dapat bekerja pada kantor-kantor hukum
atau perusahaan-perusahaan untuk proyek tertentu secara temporer atau
“freelance”.
Untuk mempertahankan disiplin dalam profesi hukum, Mahkamah Agung telah
melaksanakan wewenangnya secara ekstensif baik terhadap para praktisi maupun
non-praktisi Advokat/Advocates dan Pengacara/Solicitors. Sanksi-sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan dapat berupa pencoretan lawyer yang bersangkutan
dari Daftar/Roll, pemberhentian sementara untuk suatu waktu tertentu dan
teguran/censure. Besarnya sanksi yang dikenakan tergantung dari beratnya
kesalahan-tindak (misconduct), cacat karakter (defect of character) dan
tindakan-tindakan lain serta beratnya kegagalan melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan (omissions).
Meskipun biaya jasa hukum di Singapura relatif lebih rendah jika dibandingkan
yang berlaku di Inggris dan Australia, namun tetap saja besarnya biaya tersebut
dianggap berat jika secara proporsional dibandingkan dengan tingkat penghasilan
rata-rata di Singapura. Di Singapura, pihak yang kalah pada umumnya harus
membayar ongkos-ongkos perkara (termasuk biaya lawyer) yang secara wajar telah
dikeluarkan oleh pihak yang menang. Berdasarkan Undang-undang tentang Profesi
Hukum (Legal Profession Act), para lawyer Singapura tidak diperbolehkan
membebankan biaya-biaya yang mungkin dapat timbul (contingency fees). Dalam hal
ini, Biro Bantuan Hukum Singapura/Singapore Legal Aid Bureau telah dibentuk berdasarkan Undang-undang
tentang Bantuan dan Nasehat Hukum (Legal Aid and Advice Act, Cap 160, 1996 Rev
Ed) untuk tujuan pemberian nasehat dan jasa-jasa hukum perdata kepada
mereka yang tidak mampu. Dalam hal hukum pidana, Masyarakat Hukum Singapura/Law
Society of Singapore telah menjalankan Kerangka Bantuan Hukum Pidana (Criminal
Legal Aid Scheme - CLAS) bagi para tertuduh yang tidak mampu.
Di samping fakultas
hukum, terdapat 2 badan penting lain yang melayani masyarakat hukum Singapura.
Masyarakat Hukum/Law Society pada pokoknya menjunjung
kepentingan-kepentingan para praktisi lawyer, sementara Akademi Hukum
Singapura/Singapore Academy of Law berusaha meningkatkan profesi hukum secara
keseluruhan.
Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution - ADR) sedang tumbuh
berkembang dengan pesat dari segi urgensinya di Singapura, sebagai cara
penyelesaian sengketa berbagai masalah mulai dari konflik-konflik dalam negeri
dan sosial hingga sengketa-sengketa hukum lintas batas negara berskala besar. ADR,
dengan negosiasi/negotiation, mediasi/mediation dan arbitrase/arbitration
sebagai cara-cara utama yang dipraktekkan di Singapura, telah dipromosikan
secara luas sebagai cara yang efektif, efisien dan ekonomis untuk menyelesaikan
sengketa berspektrum luas dalam berbagai jenis keadaan atau setting. ADR secara
tentatif telah dimulai pada tahun 1980-an pada saat Pemerintah telah melihat
kemungkinan Singapura menjadi pusat penyelesaian sengketa yang penting,
sehingga mengambil manfaat posisi geografisnya serta mewujudkan cita-cita
membangun Singapura menjadi pusat bisnis satu titik (one-stop business centre)
secara total. Tujuan nyata lainnya adalah untuk mencegah agar Singapura tidak
menjadi masyarakat yang terlalu cepat atau terlalu mudah menggugat ke
pengadilan. Mediasi terpilih sebagai cara yang sesuai dengan tradisi dan
budaya Asia Singapura.
Bersamaan dengan
misi Singapura untuk menjadi pusat bisnis secara total, upaya-upaya besar pun
telah dilakukan agar Singapura dapat menjadi pusat penyelesaian sengketa yang
penting (seperti halnya London, New York dan Paris). Pemerintah Singapura
merupakan promotor kuat ADR dan telah menyiapkan kerangka kerja substantif dan
infrastruktural untuk mendukung upaya-upaya tadi. Badan Yudikatif pun secara
mantap berdiri di belakang inisiatif-inisiatif ADR dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa dan Aturan-aturan Pengadilan (Rules of Court, Cap 322, Rule
5, 1999 Rev Ed) yang dikeluarkannya telah memberikan kesempatan yang cukup bagi
penerapan ADR dalam kerangka litigasi. Berbagai cara ADR dapat tetap diandalkan
meskipun proses persidangan litigasi telah dimulai. Misalnya, para penggugat
atau kuasa hukumnya dapat mengajukan perkara ke pengadilan untuk masalah yang
akan dirujuk ke mediasi atau secara langsung mengajukannya ke Pusat Mediasi
Singapura/Singapore Mediation Centre.
Pada tahun 1986, Singapura telah meratifikasi
Konvensi New York
1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing (the 1958 New
York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards).
Berdasarkan Konvensi ini, setiap Negara anggota diharuskan mengakui dan
melaksanakan keputusan-keputusan arbitrase yang dikeluarkan di Negara anggota
lainnya. Keputusan Arbitrase yang dikeluarkan di Singapura dapat diberlakukan
di 120 negara/yurisdiksi. Undang-undang tentang Arbitrase Internasional
(International Arbitration Act, Cap 143A, 2002 Rev Ed), yang memasukkan Komisi
PBB tentang Hukum Perdagangan Internasional sebagai Model Hukum tentang
Arbitrase Niaga Internasional (the United Nations Commission on International
Trade Law – UNCITRAL -- Model Law on International Commercial Arbitration),
telah memberlakukan Konvensi tersebut.
Pada tahun 1991,
didirikanlah Pusat Arbitrase Internasional Singapura (Singapore International
Arbitration Centre – SIAC) (). Diikuti kemudian dengan pembentukan Pusat
Mediasi Singapura (Singapore Mediation Centre – SMC) pada tahun 1997.
Mediasi sengketa perdata pertama kali diperkenalkan di Subordinate Courts
melalui Pusat Mediasi Pengadilan (Court Mediation Centre) pada tahun 1994.
Sejak itu, mediasi secara rutin dilaksanakan di Tribunal Gugatan Kecil (Small
Claims Triubunals)), Pengadilan Keluarga (Family Courts), Pengadilan Anak-anak
(Juvenile Courts) (), dan Kementerian Pembinaan Masyarakat, Pemuda dan Olah
Raga dari Tribunal Orangtua (Ministry of Community, Youth and Sports’
Maintenance of Parents Tribunal, Cap 167B).
Sebagai bagian dari upaya nasional untuk
membina budaya penggunaan mediasi, Undang-undang tentang Pusat Mediasi
Masyarakat (Community Mediation Centres - CMCs, Cap 49A, 1998 Rev Ed) telah
diundangkan pada tahun 1997 untuk memimpin/menjadi percontohan upaya-upaya
mediasi masyarakat, yang dipandang sebagai cara yang efektif untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa hubungan (relational disputes) di lapangan,
khususnya dalam bidang multi-rasial dan multi-agama Singapura. Sekarang
ini terdapat 4 CMCs regional dan 7
tempat mediasi satelit (satellite mediation venues). Penekanannya adalah untuk
mengembangkan suatu model mediasi Asia dengan mengindahkan peranan para
pemimpin tradisional/adat dari berbagai ras yang sangat berpengaruh dan sudah
menjadi kebiasaan, seperti penghulu (kepala kampung Melayu), panchayat (dewan
masyarakat India) dan pemimpin klan dari asosiasi klan-klan Cina, dalam
menengahi/mediasi para pihak yang bersengketa dalam komunitasnya masing-masing.
Dalam persaudaraan hukum Singapura, di bawah pimpinan Badan Yudikatif,
upaya-upaya dilaksanakan untuk mendorong penerimaan ADR di kalangan para lawyer
dan para kliennya, sebagai suatu cara penyelesaian sengketa yang lebih
memuaskan, lebih cepat dan lebih murah. Pada bulan April 2003, Hakim Judith
Prakash telah diangkat oleh Hakim Kepala/Chief Justice untuk memimpin semua masalah arbitrase yang diajukan ke
hadapan Pengadilan Tinggi (High Court). Hal ini merupakan bagian dari tujuan
Badan Yudikatif untuk memastikan bahwa Para Hakim yang memenuhi syarat keahlian
dan pengalaman akan memimpin penanganan kasus-kasus dalam bidang-bidang hukum
dan praktek perdagangan yang dikhususkan.
Dorongan untuk
menuju kemandirian hukum (legal autochthony) terus berkelanjutan dan
inovasi-inovasi hukum pun demikian, dalam upaya yang takkan pernah padam menuju
sistem hukum yang efektif dan efisien sesuai dengan keadilan yang berdasarkan
prinsip fairness, equity and impartiality. Agar sistem hukum Singapura dapat
memelihara relevansinya, maka diperlukan adanya inovasi-inovasi hukum. Inovasi
tersebut akan didasarkan atas kecocokannya dengan kebutuhan dan kondisi lokal
Singapura. Dengan perdagangan dan investasi sebagai denyut nadi utama ekonomi
Singapura, maka sistem hukum Singapura harus secara berkelanjutan memberikan perlindungan
yang memadai kepada semua pihak dan memberi inspirasi kepercayaan dalam
komunitas bisnis internasional.
Pemerintah Singapura
mengakui pentingnya hukum dalam memelihara ketertiban politik dan sosial, serta
dalam mewujudkan situasi yang kondusif untuk kegiatan-kegiatan ekonomi di
Singapura. Memang, hukum dipandang sebagai suatu nilai ekonomi fundamental,
yang harus dibina dan diikat secara hati-hati untuk meningkatkan aspirasi
Singapura sebagai pusat bisnis secara total. Meskipun terdapat kritik-kritik
yang menyatakan bahwa rezim hak-hak azasi manusia serta perlindungan hukum bagi
individu-individu tidak seiring dengan rezim hukum untuk kegiatan ekonomi,
kesuksesan Pemerintah Singapura dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi telah
melegitimasi dan menumbuhkan kepercayaan sedemikian sehingga Negara dan
masyarakatnya lebih memilih peraturan yang keras, disiplin sosial dan rendahnya
tingkat insiden korupsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari prinsip tata
kelola yang baik (good governance).
Punya kuhp singapura tidak pak?
BalasHapussingapore pake civil law system ga pke kodifikasi hukum jadinya
BalasHapusterima kasih artikel nya pak...menambah wawasan
BalasHapuspunya ulasan pembaharuan muslim marriage and divorsce di singapura pak
terima kasih