Kamis, 16 Februari 2012


KORUPSI   MUSUH   BERSAMA
Oleh   DR.H.ZAINAL  ASIKIN, SH,SU

A.      PENGANTAR

                Pada suatu  malam saya diundang  untuk  mengikuti  dialog  tentang  pemberantasan  korupsi   di  NTB  yang dihadiri  oleh  berbagai  pihak  baik Kepolisian,  Kejaksaan,  Inspektorat ( pemda  propinsi), para  akademisi,  para   advokat, LSM  dan  pengusaha.    Dialog itu dilaksanakan  di sebuah TV Swasta dan  tentunya  sangat  dinamis karena disiarkan langsung.
                Berbagai   ragam   pandangan  yang  muncul  dalam  diskusi  tersebut,  baik  pandangan  yang  mengatakan  bahwa  korupsi  ibarat  parasit atau  benalu  yang  menjalar kesana  kemari  dan  menghisap   dan  membunuh  pohon  tempat nya  merayap,  bahkan  lambat laut  setelah  pohon terbunuh maka  benalu  itu juga akan  mati   sendiri.   Oleh sebab  itu menurut  Dr. Widodo  dari Fakultas Hukum  hati hatilah  bagaimana  semua pihak  termasuk  para  “ advokat “   akan terbunuh juga  jika  koruptor telah membunuh sendi sendi  kehidupan  bangsa  maka ia akan membunuh para  pembelanya sebelum dia   terbunuh sendiri  oleh pri lakunya.
                Utusan dari pemerintah (inspektorat) menyatakan  bahwa   korupsi sebagai  tindakan yang sistemik, maka  harus pula dilakukan upaya pemberantasan  secara  sistemik   agar  sejak awal  menuntut  kesadaran semua pihak  untuk  menjauhi  tindakan  korupsi, misalnya dia  meminta para pengusaha untuk  bersama sama  tidak  memberikan  sogok kepada  pejabat   atau PNS maka hal itu  bisa  menjadi gerakan untuk memberantas  korupsi.
                Yang  paling  mengejutkan saya  tentunya adalah  pandangan  pengusaha  yang terang  terangan  mengatakan  saya  harus  memberikan “ mobil kepada  kepala dinas “  sebagai imbalan  memperoleh  proyek.   Dan pengusaha itu mengaku salah  telah memberikan  uang itu untuk  memperoleh proyek, tapi  keuntungan   proyek itu dipakai untuk melakukan gerakan perlawanan dan pemberantasan korupsi.  Tentunya argumentasi ini sangat  lemah, bahwa  bagaimana  mungkin kita  memberantas  korupsi  dengan  ikut  melakukan  korupsi.
                Seorang  budayawan yang  hadir pada malam itu juga menyatakan keberatan jika  korupsi dikatakan  “ budaya “, sehingga  korupsi sering dikatakan sudah  berbudaya.    Mana mungkin  korupsi sebagai  sebuah  tindakan yang  biadab  disandingkan dengan  sebuah tindakan yang beradab  , oleh sebab  dari dimensi  cultural maka korupsi bukanlah tindakan  yang  beradab ( berbudaya).
B.       
 EXTRA  ORDINARY CRIME
Korupsi  sebagai sebuah  tindakan  yang    extra  ordinary crime “   tentunya  harus dilakukan pemberantasan  secara  extra  juga.   Itulah sebabnya  mengapa  Komisi Pemberatasan Korupsi diberikan  kewenangan untuk melakukan  tindakan pemberantasan korupsi   secara  luar biasa, misalnya   menyadap  percakapan,   melakukan    pengeledahan  , penahanan, penangkapan  dengan cara  cara  luar biasa.   Sebab   jika   tindakan  korupsi  dilawan secara  biasa  biasa saja maka   korupsi   itu akan semakin gawat.    Kelemahan  dari Kepolisian dan Kejaksaan dalam  menangani tindakan korupsi  adalah  masih memperguanakan “ cara  cara  biasa “  seperti  cara menangani perkara  pencurian ayam,  pencurian sandal, pencurian  buah kakao  atau cara  cara  lama  yang  sifatnya  normative ( karena  memang  terkendala oleh Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana)  yang  masih  tradisional.
Dulu  betapa   susahnya  Jaksa atau Polisi  menyidik  Gubernur, Bupati, anggota Dewan   yang melakukan  tindakan pidana, karena harus menunggu  ijin dari atasannya,  terutama  ijin dari Presiden.  Sehingga  lihatlah, betapa para  gubernur/bupati/ anggota DPRD  baru  bisa disidik dan ditangkap  setelah tidak  berkuasa.   Mengapa itu  bisa  terjadi  karena  Polisi/ Jaksa  merasa  takut  di “ pra peradilankan “  oleh para advokat  dengan dalil  melanggar KUHAP.   Dah anehnya juga para  hakim ikut ikutan  memberikan  pendapat yang sama dengan advokat  , bahwa  dengan dalih KUHAP  maka koruptor  tidak  boleh disidik sebelum ada ijin  atasan  dan  gugatan “praperadilan “ dikabulkan.   Apa  arti semua  ini ?     Bahwa  korupsi  yang dilakukan “ pejabat “   di Indonesia  sangat sulit diberantas apabila hanya mengandalkan  pendekatan normative  KUHAP.
Dari  gambaran  di  atas jelaslah bahwa  “ korupsi “ sebagai   extra ordinary  crime di Indonesia  belumlah  menjadi  musuh  bersama,  belum  menjadi  musuh dari   advokat,  belum  menjadi musuh  dari hakim (kecuali  hakim Tipikor Jakarta),  belum  menjadi musuh pemerintah.
Selama ini para pengacara  advokat  justru sangat senang jika ada  orang yang korupsi  karena paling  tidak   menjadi  klien mereka untuk menambah  pundi pundi ATM.  Bahkan yang ironis bahwa  saat ini  terdapat  trend yang menarik dikalangan  pengacara, bahwa  mereka  rela  tidak dibayar oleh koruptor  karena dengan  membela  koruptor maka mereka akan menjadi terkenal  seperti selebrity  diwawancari oleh Koran dan televisi.    Kondisi ini  menjadikan  koruptor  menjadi   mahluk yang harus dikasihi  dan  harus dijaga harkat dan martabatnya di depan hukum atas nama HAM  sehingga   harus dibela habis habisan oleh para pengacara.   Seandainya saja para advokat Indonesia dan NTB tidak ada yang mau bela koruptor  betapa  ngerinya para  calon calon koruptor ini.
Harusnya  pula  Polisi dan  Jaksa   tidak perlu takut  di peradilankan   dalam menyidik “pejabat yang korupsi “  meski ijinnya belum turun dari Presiden, bukankah dalam  Hukum Administrasi Negara  ditetapkan  jika dalam waktu 3 bulan keputusan /ijin belum keluar maka  permohonan dianggap sudah diterima (diijinkan) atau  bukan ditolak.
Para  Hakim di tingkat  local juga  memegang  andil menyuburkan praktik korupsi karena   hakim pengadilan umum  tidak segarang hakim tipikor.  Disamping  tidak memiliki sifat  yang “ garang “, tetapi  hakim  tetap  memiliki pandangan yang  positivism.   Padahal  hakim dalam pandangan mashab  realisme  hukum bahwa ia harus melihat dan menyerap perasaan hukum masyarakat sehingga  tidak  perlu harus  terpaku dengan  KUHAP.  Jika saja hakim pengadilan  umun  dan  tipikor di tingkat  local garang seperti hakim Tipikor  Jakarta,  betapa  ngerinya  koruptor.
Bayangkan seandainya  seluruh  Menteri  mengeluarkan Edaran ke jajarannya, bahwa  seluruh pakar di Indonesia dilarang  menjadi “ saksi akhli yang meringankan koruptor “, betapa sulitnya  koruptor  mencari pembelaan yang meringankan.  Tapi   sayang seribu sayang  bahwa  bebasnya  koruptor di Indonesia  terkadang  oleh kesaksian  “ saksi akhli pemerintah  yang didatangkan  oleh  advokat“.   Riskan memang, betapa  kita hanya  menganggap  korupsi sebagai  kejahatan  yang luar biasa, tetapi tidak menganggap sebagai  musuh bersama  dan menganggap kejahatan  bersama.   Bayangkan  ketika  Ariel Peterpan disidangkan  karena melanggar  delik pornografi  maka seluruh  meas media, seluruh masyarakat dan seluruh Ormas Islam  melakukan  demo besar besaran di Pengadilan.  Nah  pertanyaan  saya  pernahkan  ada demo besar  besaran ketika   seorang koruptor diadili. ?   Belum ada  khan ?   Ini  menandakan bahwa “ korupsi “ memang bukan  perbuatan  tercela yang  harus “ dicela “, atau  perbuatan  hina yang  harus  di hina .  Tapi  korupsi  adalah  perbuatan  yang baik dilakukan  secara  berjamaah sehingga  harus dilakukan secara  berjamaah !    Selamat  berjamaah ! 
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar