KORUPSI MUSUH BERSAMA
Oleh
DR.H.ZAINAL ASIKIN, SH,SU
A.
PENGANTAR
Pada
suatu malam saya diundang untuk
mengikuti dialog tentang
pemberantasan korupsi di
NTB yang dihadiri oleh
berbagai pihak baik Kepolisian, Kejaksaan,
Inspektorat ( pemda propinsi),
para akademisi, para
advokat, LSM dan pengusaha.
Dialog itu dilaksanakan di sebuah
TV Swasta dan tentunya sangat
dinamis karena disiarkan langsung.
Berbagai ragam
pandangan yang muncul
dalam diskusi tersebut,
baik pandangan yang
mengatakan bahwa korupsi
ibarat parasit atau benalu
yang menjalar kesana kemari
dan menghisap dan
membunuh pohon tempat nya
merayap, bahkan lambat laut
setelah pohon terbunuh maka benalu
itu juga akan mati sendiri.
Oleh sebab itu menurut Dr. Widodo
dari Fakultas Hukum hati
hatilah bagaimana semua pihak
termasuk para “ advokat “
akan terbunuh juga jika koruptor telah membunuh sendi sendi kehidupan
bangsa maka ia akan membunuh
para pembelanya sebelum dia terbunuh sendiri oleh pri lakunya.
Utusan
dari pemerintah (inspektorat) menyatakan
bahwa korupsi sebagai tindakan yang sistemik, maka harus pula dilakukan upaya pemberantasan secara
sistemik agar sejak awal
menuntut kesadaran semua
pihak untuk menjauhi
tindakan korupsi, misalnya
dia meminta para pengusaha untuk bersama sama
tidak memberikan sogok kepada
pejabat atau PNS maka hal
itu bisa
menjadi gerakan untuk memberantas
korupsi.
Yang paling
mengejutkan saya tentunya
adalah pandangan pengusaha
yang terang terangan mengatakan
saya harus memberikan “ mobil kepada kepala dinas “ sebagai imbalan memperoleh
proyek. Dan pengusaha itu
mengaku salah telah memberikan uang itu untuk memperoleh proyek, tapi keuntungan
proyek itu dipakai untuk melakukan gerakan perlawanan dan pemberantasan
korupsi. Tentunya argumentasi ini sangat lemah, bahwa
bagaimana mungkin kita memberantas
korupsi dengan ikut
melakukan korupsi.
Seorang budayawan yang hadir pada malam itu juga menyatakan
keberatan jika korupsi dikatakan “ budaya “, sehingga korupsi sering dikatakan sudah berbudaya.
Mana mungkin korupsi sebagai sebuah
tindakan yang biadab disandingkan dengan sebuah tindakan yang beradab , oleh sebab
dari dimensi cultural maka
korupsi bukanlah tindakan yang beradab ( berbudaya).
B.
EXTRA
ORDINARY CRIME
Korupsi sebagai sebuah tindakan
yang “ extra
ordinary crime “ tentunya harus dilakukan pemberantasan secara
extra juga. Itulah sebabnya mengapa
Komisi Pemberatasan Korupsi diberikan
kewenangan untuk melakukan
tindakan pemberantasan korupsi secara luar biasa, misalnya menyadap
percakapan, melakukan pengeledahan
, penahanan, penangkapan dengan
cara cara luar biasa.
Sebab jika tindakan
korupsi dilawan secara biasa
biasa saja maka korupsi itu akan semakin gawat. Kelemahan
dari Kepolisian dan Kejaksaan dalam
menangani tindakan korupsi
adalah masih memperguanakan “
cara cara biasa “
seperti cara menangani
perkara pencurian ayam, pencurian sandal, pencurian buah kakao
atau cara cara lama
yang sifatnya normative ( karena memang
terkendala oleh Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) yang
masih tradisional.
Dulu betapa
susahnya Jaksa atau Polisi menyidik
Gubernur, Bupati, anggota Dewan
yang melakukan tindakan pidana,
karena harus menunggu ijin dari
atasannya, terutama ijin dari Presiden. Sehingga
lihatlah, betapa para
gubernur/bupati/ anggota DPRD
baru bisa disidik dan ditangkap setelah tidak
berkuasa. Mengapa itu bisa
terjadi karena Polisi/ Jaksa
merasa takut di “ pra peradilankan “ oleh para advokat dengan dalil
melanggar KUHAP. Dah anehnya
juga para hakim ikut ikutan memberikan
pendapat yang sama dengan advokat
, bahwa dengan dalih KUHAP maka koruptor
tidak boleh disidik sebelum ada
ijin atasan dan
gugatan “praperadilan “ dikabulkan.
Apa arti semua ini ?
Bahwa korupsi yang dilakukan “ pejabat “ di Indonesia
sangat sulit diberantas apabila hanya mengandalkan pendekatan normative KUHAP.
Dari gambaran
di atas jelaslah bahwa “ korupsi “ sebagai extra
ordinary crime di Indonesia belumlah
menjadi musuh bersama,
belum menjadi musuh dari
advokat, belum menjadi musuh
dari hakim (kecuali hakim Tipikor
Jakarta), belum menjadi musuh pemerintah.
Selama ini para pengacara advokat
justru sangat senang jika ada
orang yang korupsi karena paling tidak
menjadi klien mereka untuk
menambah pundi pundi ATM. Bahkan yang ironis bahwa saat ini
terdapat trend yang menarik
dikalangan pengacara, bahwa mereka
rela tidak dibayar oleh koruptor karena dengan
membela koruptor maka mereka akan
menjadi terkenal seperti selebrity diwawancari oleh Koran dan televisi. Kondisi ini
menjadikan koruptor menjadi
mahluk yang harus dikasihi dan
harus dijaga harkat dan martabatnya di depan hukum atas nama HAM sehingga
harus dibela habis habisan oleh para pengacara. Seandainya saja para advokat Indonesia dan
NTB tidak ada yang mau bela koruptor
betapa ngerinya para calon calon koruptor ini.
Harusnya pula
Polisi dan Jaksa tidak perlu takut di peradilankan dalam menyidik “pejabat yang korupsi “ meski ijinnya belum turun dari Presiden,
bukankah dalam Hukum Administrasi
Negara ditetapkan jika dalam waktu 3 bulan keputusan /ijin
belum keluar maka permohonan dianggap
sudah diterima (diijinkan) atau bukan
ditolak.
Para Hakim di tingkat local juga
memegang andil menyuburkan
praktik korupsi karena hakim pengadilan
umum tidak segarang hakim tipikor. Disamping
tidak memiliki sifat yang “
garang “, tetapi hakim tetap
memiliki pandangan yang
positivism. Padahal hakim dalam pandangan mashab realisme hukum bahwa ia harus melihat dan menyerap
perasaan hukum masyarakat sehingga
tidak perlu harus terpaku dengan KUHAP.
Jika saja hakim pengadilan
umun dan tipikor di tingkat local garang seperti hakim Tipikor Jakarta,
betapa ngerinya koruptor.
Bayangkan seandainya seluruh
Menteri mengeluarkan Edaran ke
jajarannya, bahwa seluruh pakar di
Indonesia dilarang menjadi “ saksi akhli
yang meringankan koruptor “, betapa sulitnya
koruptor mencari pembelaan yang
meringankan. Tapi sayang seribu sayang bahwa
bebasnya koruptor di
Indonesia terkadang oleh kesaksian “ saksi akhli pemerintah yang didatangkan oleh
advokat“. Riskan memang,
betapa kita hanya menganggap
korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa, tetapi tidak menganggap
sebagai musuh bersama dan menganggap kejahatan bersama. Bayangkan
ketika Ariel Peterpan
disidangkan karena melanggar delik pornografi maka seluruh
meas media, seluruh masyarakat dan seluruh Ormas Islam melakukan
demo besar besaran di Pengadilan.
Nah pertanyaan saya
pernahkan ada demo besar besaran ketika seorang koruptor diadili. ? Belum ada
khan ? Ini menandakan bahwa “ korupsi “ memang
bukan perbuatan tercela yang
harus “ dicela “, atau perbuatan hina yang
harus di hina . Tapi
korupsi adalah perbuatan
yang baik dilakukan secara berjamaah sehingga harus dilakukan secara berjamaah !
Selamat berjamaah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar