PAHLAWAN LOMBOK POS
LOMBOK POS
OLEH DR.ZAINAL ASIKIN,SH,SU
Ketika saya masuk ke Gedung Graha Pena Lombok Pos, terkadang saya selalu terharu, terharu karena
bangga karena tidak
menyangka jika Koran yang
dulu namanya “
Suara Nusa “ kini
telah menjadi korang kebanggan masyarakat NTB.
Saya terharu, juga karena mengingat pada masa masa kelahirannya
di sebuah gedung tua sebuah percetekan di Jalan Langko
Dasan Agung yang setiap
hari ketika harus
rapat harus duduk lesehan di gudang itu memakai
tiker dengan menu kacang rebus. Mungkin tidak banyak yang
tahu, bahwa disekitar tahun 1980
koran yang kini
bernama Lombok Pos ini
dilahirkan oleh putra putra
NTB yang sangat mencintai dunia jurnalistik dan seni.
Ketika itu berkumpulah nama nama
Drs. H. Lalu Puguh Wirabhakti (
alm), Chairul Makmursyah
(alm), Max Arifin (alm) dan tentu banyak lagi pegiat pegiat pers
yang menginginkan adanya
sebuah Koran local n yang bisa menjadi
bacaan ringan masyarakat NTB.
Memulai pekerjaan Koran tentunya
tidak mudah, karena
memerlukan dana yang besar
baik untuk biaya mencetak dan
membayar karyawan dan wartawan.
Tapi bersyukurlah, atas kerjasma
dan kesadaran yang tinggi
maka para pekerja pers ini bekerja
tanpa harus dibayar, kalaupun
di bayar ---itu hanya sebuah
penghargaan---- bukan gaji. Kegigihan dan ketuliusan
tokoh tokoh pers di atas yang
dekat dengan kalangan kampus
membuat beberapa mahasiswa
rela ikut sebagai
tenaga sukarelawan, peliput
atau wartawan amatir yang serabutan, para maahsiswa itu sekarang ada yang
telah menjadi Notaris ( Edy Hermasyah), Wartawan
Tempo ( Djalil Hakim), Chaerul (
sekarang di Kompas) dan lain lain. Dan Alhamdulillah “ bayi
Suara Nusa “ itu
bisa tetap terbit
sekali semiinggu, kemudian
3 kali seminggu
dan bertahap menjadi terbit
setiap hari.
Dari segi wajah dan design, tentunya jangan
membayangkan Koran Suara Nusa
tahun 1980 itu sama seperti Lombok Pos
sekarang ini. Suara Nusa
, ketika terbit berbentuk seukuran tabloid
seperti ukuran Koran Tempo, tanpa
warna, kertas yang mungkin paling murah dalam ukuran kertas karena warnanya putih kecoklat
coklatan. Tapi semangat
memiliki Koran local membuat para pengelola tetap bergairah. Dan waktu
itu saya tetap rutin diminta menulis
artikel setiap minggu yang temanya
bermacam macamlah yang penting
Koran itu harus terisi
dengan berbagai materi, soal substansi
tidaklah terlalu penting.
Mungkin itulah masa masa sulit bagi pejuang Suara Nusa ( Lombok Pos) untuk mempertahankan hidupnya.
Waktu bergulir dan berjalan,
seiring dengan semakin diminatinya dan
dicintainya Suara Nusa, maka mulailah
Suara Nusa bangkit dan berpindah ke
Mayure dan kemudian ke Selagalas. Kedua periode ini menempatkan Suara Nusa sebagai Koran yang mulai dikelola secara “ lebih professional “ dengan menejemen murni surat kabar dan tentunya sedikit demi sedikit melepaskan
ketergantungan dari Pemda. Oleh sebab
itu maka rekruitmen tenaga wartawan professional dan
karyawan full time menjadi sebuah
kebutuhan, sehingga tampilan wajah Suara Nusa bisa lebih bersaing dengan Koran
Koran luar seperti Bali Pos dan Nusa Tenggara. Darah segar Suara Nusa itu tentunya
tidak lepas dari munculnya figur “ Ismail
Husni “ yang sekarang menjadi Direktur Lombok Pos yang pulang kampong dari pengembaraannya dan ingin
membesarkan derahnya melalui mass
media, lebih lebih setelah
Suara Nusa dirubah menjadi Lombok Pos dengan
menggandeng JawaPos sebagai mitra usaha yang masing masing
saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
Perubahan Suara Nusa ke
Lombok Pos adalah sebuah momen dan lompatan penting bagi Koran daerah bahwa
ternyata membuat sebuah Koran local jika dikelola secara baik,
bertangan dingin , dan professional n jujur akan bisa berjalan dan menguntungkan. Oleh sebab
itu saya tidak henti
hentinya menyampaikan pujian kepada
“ almarhum Chairul
Makmursyah dan Max Arifin “
yang ketika berdirinya Koran ini
hamper setiap malam tidak pernah
tidur di gudang itu untuk mempertahankan
terbitnya Koran ini. Beliau selalu berbisik pada saya…..Askin , lihatlah beberapa tahun kedepan , Koran ini akan menjadi
kebanggan NTB… biar sekarang kita seperti ini,…karena para pengusaha
tidak ada yang berminat mebiayai Koran ini , para
pengusaha lebih tertarik berbisnis proyek,,,ketimbang bisnis di dunia perss…..! Ternyata
ucapan mereka terbukti, kini Suara Nusa alias Lombok
Pos telah menjadi besar besar dan besar. Dan setiap memasuki gedung Graha Pena Lombok Pos , pikiran saya selalu
melayang pada figur perintis pers local yang
sangat sederhana. Semoga jasa kedua tokoh itu selalu mendapat balasan dari Allah
Swt, dan semoga makan Max Arifin nun jauh di Jawa Timur dan makam
Chairul Makmursyah di Mataram , serta
makam Drs
H.L Puguh Wirabhakti di Puyung
akan tetap memancarkan semangat pembanguna
perss di NTB. Seandainya saja Lombo Pos memberikan penghargaan….maka figure itulah
yang paling pantas menjadi Pahlawan Lombok Pos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar