Mashab Positivisme Hukum
Bagian Dari Naskah Buku Filsafat Hukum
Dr.H.Zainal Asikin,SH,SU
A.
Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak
adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan
(seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang
dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena
pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk,
maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam
perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme
pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada
teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Auguste Comte dan tentang Logika yang
dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, Jhon
Stuwar Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam
positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan
berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal
tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal.
Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang
psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap
terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath,
Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh
pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin.
Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini
diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan
lain-lain.
B. Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme
mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang
bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang
berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran
pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat
dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara
istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti
struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan
isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi
secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang
dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali
pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu”
yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang
terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan
pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa
observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya.
Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa
observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan
dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan
itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah
korespondensi.
Auguste Comte adalah tokoh aliran
positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat
merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat
dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini
tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan
kemajuan dari revolusi Perancis.
Positivisme menurut mendasari diri pada alur pemikiran
manusia, maka menurut Auguste Comte) ada
3 tahap pemikiran manusia yaitu :
(i)
tahap
teologi yang di dalam tahap ini semua fenomena diterangkan dengan mengacu kepada
kausa yang bersifat supernatural dan intervensi dari yang ilahi;
(ii)
tahap
metafisik yang di dalam tahap ini pemikiran diarahkan kepada prinsip-prinsip
dan gagasan yang mendasar yang dipandang sebagai sesuatu yang ada di bawah
permukaan apa yang ada tersebut dan yang membangun kekuatan yang riil dalam
evolusi manusia;
(iii)
tahap positif yang di dalam tahap ini menolak
segala konstruksi yang bersifat hipotesis dalam filsafat, sejarah, dan ilmu
pengetahuan dan membatasi diri pada pengamatan empirik dan hubungan di antara
fakta berdasarkan metode yang digunakan di dalam ilmu-ilmu alamiah
Pendiri filsafat positivis yang
sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman
diskusi Auguste Comte. Menurut Simon
untuk memahami sejarah, orang harus
mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
Auguste Comte menuangkan gagasan
positivisnya dalam bukunya the
Course of Positivie Philosoph, yang
merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan
merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam
tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika
dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara
gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan
gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan
masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat
digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan
terus meneurs dari syarat-syarat hidu
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah
kecermatan.
Metode positif juga mempunyai
sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode
historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi
metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan
hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Kritik terhadap Auguste Comte adalah
Karl Popper dengan asumsi pokok
teorinya adalah satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu
pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang
beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa
generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan
logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah
menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada
Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi
tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan
ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan
pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis
adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin
menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang
bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari
premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan
atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya
agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus
dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang fakta
keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah
dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan
teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan
demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun
teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
B.
Positivisme Hukum
Aliran hukum positif berangkat dari
pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari
manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang
sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang menghendaki.
Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum
dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap
bahwa hukum identik dengan undang-undang.
Pengaruh positivis modern telah
memasuki segala sektor keilmuan. Ditandai dengan kebangkitan semangat Eropa,
melalui Renaisance, sebagai abad pencerahan yang
diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu pengetahuan pada orde
peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan hidup manusia. Besamaan dengan
ini itu teknologi (spiritualisme) menjadi semakin memudar karena
keberadaannya dianggap sudah tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup
yang nyata. Implikasi semangat positivis telah membawa pembaharuan di berbagai
bidang ilmu pengetahuan sosial, politik, ekonomi, hukum dan bidang-bidang lain.
Di bidang hukum sejak lebih kurang
200 tahun, negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern. Praktis,
hukum menghadapi pertanyaan yang spesialistik, teknologis, bukan pertanyaan
moral. Keadaan yang demikian itu sangat kuat nampak pada hukum sebagai profesi.
Kaum professional adalah orang-orang yang ahli dalam perkara
perundang-undangan, tetapi jangan ditanyakan kepada mereka tentang urusan moral
atau moralitas. Ekses hukum di Amerika yang sudah menjadi bisnis mengundang
orang untuk berkomentar bahwa sifat kesatrian, professional oblesse, menolong orang yang susah sudah
semakin luntur. Tipe bantuan hukum yang demikian itu disebut sebagai penembak
bayaran.
Sebagai reaksi dari modernisme,
muncul pemikiran yang dikenal post
positivis modern yang
kehadirannya merupakan gugatan terhadap kehidupan masyarakat barat yang
bercorak modern yang melihat realitas sebagai keutuhan yang tertata dan
bersifat rasional. Dengan ilmu pengetahuan yang objektif, kemajuan peradaban
manusia akan dicapai sesuai dengan garis linier. Pemikiran post modernisme juga mengandung kecenderungan-kecenderungan yang
ditemukan di bidang hukum, seperti upaya untuk mempertanyakan kembali tentang
konsepsi kebenaran, keadilan, demokrasi, relativisme, dan pluralisme dalam Hak
Asasi Manusia (HAM).
Hukum positif muncul bersamaan dengan
berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah
umat manusia yang semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum
positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku
dibangun di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang
didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan
dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang
didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang
didalam terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan
etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang
didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin
menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing
makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk
mengalahkannya. Oleh karena itu, hukum harus dipisahkan dari keadilan dan
sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkanpda ide-ide baik dan buruk
yang didasarkanpada ketetapan pada kekuasan yang tertinggi.
Positivisme adalah aliran yang mulai
menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Auguste Comte (1798-1857) dengan
judul Course de Philoshopie
Positive.
Positivisme hanya mengikui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa
diobservasi dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang
menentukannya, meninggalkan semua penyelidika menjadi sebab-sebab atau
asal-usul tertinggi.
Seperti diuraikan di atas bahwa Auguste
Comte membagi evolusi menjadi tiga tahap, pertama, tahap teologis dimana semua
fenomena dijelaskan dengan menunjukkan kepada sebab-sebab supernatural dan
intervensi yang bersifat ilahi; kedua
tahap metafisika.
Pada tahap ini, pemikiran diarahkan menuju prinsi-prinsip dan ide-ide tertinggi
yang dipahami sebagai ada di bawah permukaan sesuati, dan ketiga, tahap positif yang menolak semua konstruksi hipotesis
dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empirik dan hubungan
fakta-fakta di bawah bimbingan metode-metode yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu
alam.
Positivisme oleh Hart diartikan
sebagai berikut: pertama, hukum adalah perintah, kedua, analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah suatu
yang berharga untuk dilakukan; ketiga, keputusan-keputusan dapat
didedukasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih
dahulu tanpa menunjukkan kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta
moralitas; keempat, penghukuman secar moral tidak dapat
ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau
pengujian, dan kelima, hukum sebagaimana diundangkan,
ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya
diciptakanyang diinginkan. Inilah yang sekarang sering diterima sebagai
pemberian arti terhadap positivisme.
Positivisme merupakan suatu paham
yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran
hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang
harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi metafisis yang subjektif
sifatnya. Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran hukum, positivisme
menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut
olehpara eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu, setiap norma hukum
haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang
positif ditegaskan sebagi wujud kesepakatan kontraktual yang kongkrit antara
warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral
metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah
menjalani positivisasi sebagai legee atau lex guna menjamin kepastian mengenai
apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan
terbilang hukum.
Dalam negara modern, hukum positif
dibuat oleh penguasa yang berdaulat. Penguasa digambarkan sebagai manusia
superior yang bersifat menentukan. Penguasa ini mungkin seorang individu,
sebuah lembaga, atau sekelompok individu. Menurut John Austin,
karakteristik hukum positif terletak pada karakteristik imperatifnya. Artinya,
hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Pemikiran semacam itu
kemudian dikembangkan Rudolf van Hearinga dan George Jellinek yang menekankan
pandangan pada orientasi untuk mengubah teori-teori negara berdaulat sebagai
gudang dan sumber kekuasaan hukum.
Paham positivisme mempengaruhi
kehidupan bernegara untuk mengupapayakan positivisasi norma-norma keadilan agar
segera menjadi norma perundang-undangan untuk mempercepat terwujudnya negara
bangsa yang diidealkan. Paham ini mempunyai struktur yang terintegrasi kukuh
secara sentral dan berotoritas sentral yang tidak bisa dijabarkan, positivisasi
hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di
negara-negara yang tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau menyatukan.
Tidak Cuma yang menuju ke nation state, melainkan juga yang dulu menuju ke
colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berhakikat sebagai
proses nasionalisasi dan etaisasi hukum menuju kemampuan negara dan pemerintah
untuk monopoli kontrol sosial yang formal lewat pendayagunaan hukum positif.
Hukum adalah perintah penguasaan
negara. Hakikat hukum menurut John Austin terletak pada unsur perintah. Hukum
dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Karena itu,
pihak penguasalah yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan. Kekuasaan dari penguasa dapat memberlakukan hukum dengan cara
menakuti dn mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkan.
John Austin, pada mulanya, membedakan
hukum dalam dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang
dibuat oleh manusia dapat dibedakan dengan hukum yang sebenarnya dan hukum yang
tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai hukum
positif yang meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun
oleh manusia secara individual untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh
penguasa sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang
sebenarnya memiliki empat unsur yaitu perintah (Command), sangsi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (soveignty).
Sementara menurut Hans Kelsen, hukum
harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti unsur sosiologis,
politis, historis, bahkan nilai-nilai etis. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan teori hukum murni (reine
rechlehre). Jadi hukum
adalah suatu kategori keharusan (sollens
kategorie) bukan
kategori factual (sains
kategorie). Hukum
baginya merupakan suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai
makhluk rasional.
Teori hukum murni boleh dilihat bagai
suatu pembangunan yang amat seksama dari aliran positivisme. Ia menolak ajaran
yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu
dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Teori hukum ini adalah teori tentang
hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan apakah
hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang seharusnya. Karena itu, menurut Kelson
keadilan sebagaimana lazimnya dipertanyakan hendaknya dikeluarkan dari ilmu
hukum. Ia adalah suatu konsep. Ideologis, suatu ideal yang irasional. Pendapat
yang mengemukakan bahwa keadilan itu ada, ternyata tidak dapat memberikan
batasan yang jelas sehingga menimbulkan keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun
keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan tindakan manusia. Ia
tidak bisa menjadi subjek ilmu pengetahuan. Apabila dipandang dari sudut
pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu,
hanya ada konflik kepentingan-kepentingan. (Uraian tentang Teori Hukum Murni
akan dibahas tersendiri di sub bab tersendiri).
Hans Kelsen juga dikenal sebagai
pencetus teori berjenjang, (stuffen
theory) teori ini
melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk
piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang
lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan
sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling
tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar (grund norm). teori berjenjang pembahasan norma
hukum saja. Sebagai penganut dari aliran positif, hukum dipahami identik dengan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa.
Lahirnya positivisme hukum merupakan
pengaruh dari filsafat positivisme pada abad XIX. Filsafat ini berpangkal dari
apa yang diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan
diluar apa yang ada sebagai fakta dan kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu
metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang
nampak, segala gejala. Berangkat dari akar inilah positivisme hukum ada. Dengan
dalih menggunakan logika dan metode ilmu pasti ke dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu
sosial (termasuk hukum di dalamnya) dalam perkembanganya kemudian melahirkan
karakteristik yang empiris, kaku, tertulis, dan metodologis.
Hukum selalu merupakan hukum positif
dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan
oleh tindakan manusia terlepas dari moralitas dan sistem norma itu sendiri.
Karena seperti diungkapkan Hans Kelsen bahwa “Hukum harus dibersihkan dari
anasir-anasir yang non yuridis, seperti unsur sosiologi, historis dan etis“. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan teori hukum murni (Reine
Rechtlehre) dari
Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenkategore (kategori keharusan/ideal), bukan Seinkategorie (kategori faktual) .
Baginya hukum adalah suatu keharusan
yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang
dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya”, tetapi “apa
hukumnya”. Dengan demikian walaupun hukum itu Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum) bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Pemikiran Hans Kelsen tentang hukum
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant. Dia bahkan kemudian dimasukkan
sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan
antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen hukum berurusan dengan bentuk (forma) bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai isi hukum
berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tapi
ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa Jadi, hukum dalam kacamata positivisme memang
tidak harus adil.( Uraian Teori Positivisme Hans Kelsen akan diuraikan dalamsub
bab tersendiri).
Gagasan positivisme yang hendak mensaintifikasikan
ilmu sosial sebagaimana ilmu alam yang kaku, empiris namun nirkontekstual
inilah yang diterapkan di Indonesia. Tumbuh dalam ‘gerbong besar’ bernama
sistem hukum kontinental warisan pemerintah kolonial Belanda, sebagai
masyarakat yang sadar seharusnya kecaman berlebihan tidak sepatutnya keluar.
Karena memang karakterstik postivistik (berikut dengan efek sampingnya) inilah
yang secara masif terus dilanjutkan dan ditegakkan hingga sekarang.
Dengan berbagai pengalaman kasus
selama beberapa tahun terakhir yang terus menunjukkan fakta bahwa hukum selalu
tajam ke bawah namun tumpul ke atas, masihkah kita terus melanjutkan paradigma
hukum yang semacam ini?
Dulu pada akhir dekade 1990-an hingga
2000-an almarhum Satjipto Rahardjo kencang menyampaikan satu alternatif obat
kebobrokan hukum nasional dengan gagasan Hukum Progresif. Paradigma hukum yang
lebih kontekstual, mempertimbangkan aspek sosiologis, ekonomis, kultural
masyarakat namun tetap tegas dan tidak pandang bulu terhadap segala pelanggaran
dan kejahatan hukum. Namun beliau telah terlebih dahulu dipanggil yang maha
kuasa sebelum gagasan hukum progresif belum bernar-benar terimplementasikan.
Akhienya dalam kerangka teoritis,
sikap legilstik dan formalisme hukum merupakan tradisi dalam filsafat positivisme
atau yang lebih khusus dalam tradisi positivisme hukum. Kepastian hukum
merupakan keniscayaan bagi kaum legal-formalistik. Bahwa yang namanya hukum
harus tertulis dan (tanpa pandang bulu) ditegakkan sesuai aturan yang berlaku.
Namun, setelah aturan hukum tertulis tersebut diterapkan kepada setiap tindakan
manusia apakah keadilan yang akan tercipta?
C. Positivisme
( Hukum ) Imanuel Kant
Apakah Pencerahan itu?.
Pertanyaan itu dijadikan judul esai Immanuel Kant “Was ist Aufklärung?”
yang dimuat pada Jurnal Berlinische
Monastschrift pada
bulan September 1784. Menurut Kant:
“Pencerahan
adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah
ketidakmampuan untuk mempergunakan pengertiannya sendiri tanpa bimbingan
orang lain. Ketidakdewasaan ini dibuatnya sendiri bila penyebabnya
bukannya pada kurangnya pikiran melainkan kurangnya ketegasan dan keberanian
untuk mempergunakan pikiran itu tanpa bimbingan orang lain. Sapere Aude! Beranilah mempergunakan pikiranmu
sendiri! Itulah semboyan pencerahan”.
Kant
menegaskan, Pencerahan adalah “jalan keluar” yang membebaskan manusia dari
situasi ketidakdewasaan, yakni, situasi manusia yang masih menggantungkan
dirinya pada otoritas di luar dirinya, yang dengannya ia sendiri merasa
bersalah, entah otoritas itu atas nama tradisi, dogma agama, atau pun negara.
Pencerahan dapat dikatakan pula sebagai proses penyempurnaan secara kumulatif
kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam
mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan “kemajuan”.
Pencerahan, dengan demikian, harus
dipahami sebagai sebuah proses, sekaligus tugas untuk mencapai Mundigkeit, kedewasaan, dengan berani
menggunakan rasio sendiri. Sapere
Aude (Beranilah
berpikir sendiri!) menjadi semboyan kuatnya.
Keterputusan dari nilai-nilai mitos,
spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk “mengukir
sejarahnya sendiri” di dunia – suatu proses self determination,
di mana manusia menciptakan kriteria-kriteria dan nilai-nilai perkembangan diri
mereka sendiri sebagai subjek yang merdeka. Keterputusan dari nilai-nilai dan
spirit yang lama, telah memungkinkan manusia modern untuk hidup di dunia
baru, dunia modern, dunia yang diandaikan tercipta seperti pada “Hari Kejadian”.
Hegel menyebut dunia baru ini sebagai “zaman baru” (new age), dengan roh baru. Seperti yang
dikemukakannya dalam Phenomenology
of Spirit:
“Zaman kita adalah sebuah zaman
kelahiran dan periode peralihan menuju satu era baru. Roh telah terputus
dari dunia yang sebelumnya dihuni dan diimajinasikannya, dari pikiran yang
telah menenggelamkannya di masa lalu, dan ia dalam proses transformasi. Roh
tidak pernah diam di tempat, akan tetapi selalu dalam proses bergerak ke
depan … ketidakstabilan dan kebosanan yang mengguncang orde yang mapan, ramalan
samar-samar tentang sesuatu yang belum diketahui di depan , semuanya ini adalah
pertanda dari perubahan yang tengah menghadang.
Hegel dalam hal ini, melihat periode
modern sebagai satu periode, di mana manusia sebagai subjek, menentukan sendiri
landasan nilai dan kriteria dalam kehidupannya di dunia. Manusia modern tidak
memerlukan landasan nilai, kebenaran, atau legitimasi selain dari dalam dan
untuk dirinya sendiri, manusia modern bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri. Bagi Hegel, tidak ada landasan lain yang dapat menopang subjek yang
merdeka selain dari “akal budi” sang subjek itu sendiri, akal budi yang mencari
kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Baginya ilmu pengetahuan yang menjadi
mahkota dari apa yang disebutnya “Kebenaran Ideal”, menggantikan mitos, legenda
atau wahyu.
Bagi filsuf kelahiran 1770 di
Stuttgart Jerman ini, rasio merupakan dasar substansial bagi kesadaran.
Titik tolak filsafat Hegel adalah keyakinan bahwa “ide yang dimengerti”
dan “kenyataan” itu sama saja. Maka tidak ada perbedaan antara bidang
“rasio” dan bidang “realitas”. Rasionalitas dan realitas itu sama menurut
Hegel. Kata Hegel, yang dimengerti itu real, dan yang real itu dimengerti.
“Berpikir” dan “ada” itu sama. Seluruh kenyataan itu satu proses dialektis.
Dalam proses ini semua pertentangan dari pikiran dan kenyataan diatasi
dan diangkat, atau didamaikan dalam sintesa-sintesa yang merupakan
titik-titik pangkal baru untuk mencapai sintesa-sintesa dari tingkat yang lebih
tinggi .
Modernitas bagi Hegel adalah
Zeitgeist, atau
“semangat zaman” . Zeitgeist adalah istilah yang digunakan Hegel
untuk menjelaskan pengalaman, yaitu semangat “menjadi” di dalam ruang dan waktu
– pengalaman yang karakteristik modernitas. Jürgen Habermas, di dalam bukunya
The Philosophical
Discourse of Modernity,
menjelaskan konsep Zeitgeist
Hegel ini
mencirikan masa kini sebagai suatu peralihan ke masa depan yang diharapkan
berbeda.
Pada perkembangan selanjutnya
semangat Pencerahan yang dikumandangkan oleh Kant tetap mendapatkan tempat dan
menjadi sumber inspirasi para filsuf Abad XX. Termasuk didalamnya
tokoh-tokoh yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt. Istilah Mazhab Frankfurt
dipakai untuk menunjukkan sekelompok cendekiawan yang tergabung dalam Institut für Sozialforschung, yang didirikan di Frankfurt pada
tahun 1923. Anggota Mazhab Frankfurt antara lain Max Horkheimer, Theodor W.
Ardorno, Herbert Marcuse.
Memasuki abad 18 dikenallah apa yang
disebut dengan “zaman Pencerahan” (bhs. Jerman Aufklärung; bhs. Inggris: Enlightenment). Nama ini diberikan karena manusia
mulai mencari cahaya baru di dalam rasionya sendiri. Dan filsuf terbesar pada
era Pencerahan, siapa lagi kalau bukan Immanuel Kant (1724-1804). Tentang
Pencerahan itu sendiri seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Kant
mengatakan bahwa orang keluar dari keadaan tidak akil-balig (Unmündigkeit), yang dengannya ia sendiri
bersalah. Kesalahan itu terletak dalam keengganan atau ketidakmauan
manusia untuk memanfaatkan rasionya: orang lebih suka berpaut pada otoritas di
luar dirinya (wahyu ilahi, nasihat orang terkenal, ajaran gereja atau negara).
Berhadapan dengan sikap ini, Pencerahan bersemboyan: Sapere Aude!, yang berarti: Beranilah berpikir
sendiri!. Dengan demikian, Pencerahan merupakan tahap baru dalam proses
emansipasi Barat yang telah dimulainya sejak Renaissance.
Salah satu kebesaran Kant terletak
ketika ia memberi tempat sentral pada manusia sebagai subjek yang berpikir.
Kalau sebelum Kant kebenaran lebih dimengerti sebagai “pencocokan intelek terhadap
realitas” (adaequatio
intellectus ad rem),
sejak Kant kebenaran itu lebih merupakan “pencocokan realitas terhadap
intelek” (adaequatio rei ad
intellectum).
Sebelum Kant, filsafat lebih dipandang sebagai suatu proses berpikir di mana
subjek (manusia, “aku”) mengarahkan diri pada objek (benda “dunia”). Akan
tetapi sejak Kant arah itu diubah: objeklah yang kini mengarahkan diri kepada
subjek untuk diproses menjadi pengetahuan. Perubahan arah ini dinamakannya
“pemutarbalikan Copernican” (Kopernikanische
Wende).
Pemikiran Kant tentang teori
pengetahuan tidak terlepas pada suasana intelektual filosofis di zaman
Kant. Karya intelektual yang dihasilkan Kant tidak terlepas dari adanya
ketegangan antara pendekatan kontinental, yang menekankan pemikiran rasional,
dan aliran Inggris, yang menekankan pengalaman inderawi sebagai dasar
pengetahuan. Kant menentang kedua posisi ekstrem bahwa semua pengetahuan muncul
dari pengalaman, dan bahwa ada pengetahuan yang terlepas sama sekali dari
pengalaman. Sebaliknya, dia yakin bahwa semua pengetahuan berhubungan dengan
pengalaman, tetapi tidak dapat direduksikan kepada apa yang kita alami.
Pemikiran Kant sangat dipengaruhi
oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dan Sir David Hume (1711-1776).
Keduanya merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda
Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai tokoh penting dari aliran
rasionalisme, sedangkan Hume muncul sebagai wakil dari aliran empirisme.
Leibniz memulai filsafatnya atas
pengertian mengenai “substansi”, Leibniz mengatakan bahwa terdapat
banyak sekali substansi dan jumlahnya tidak terbatas. Kenyataan terdiri dari
monade-monade: “bagian-bagian” paling kecil, yang semua merupakan
substansi-substansi. Monade-monade tidak mempunyai ukuran; monade-monade paling
baik dianggap sebagai “titik-titik”, yang mempunyai kuantitas energi tertentu.
Monade-monade itu seperti “jiwa-jiwa”, karena semua monade mempunyai
“kesadaran”.
Selanjutnya menurut Leibniz ada tiga
macam monade. Pertama, monade yang hanya memiliki gagasan yang tidak sadar dan
gelap, yakni monade-monade yang menyusun benda-benda anorganik. Kedua, monade
yang telah memiliki gagasan yang telah sampai pada kesadaran yang agak jelas,
yaitu monade yang memberi pengenalan inderawi. Ketiga, monade yang memiliki
gagasan yang jelas dan disadari (apperceptio), yakni jiwa manusia yang
mengenal hakekat segala sesuatu serta mengungkapkannya dalam suatu definisi.
Ajaran Leibniz mengenai monade ini
diterapkannya juga pada ajaran mengenai proses pengetahuan manusia. Menurut
Leibniz, pengetahuan manusia mengenai alam semesta sesungguhnya telah ada
di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan. Pada mulanya pengetahuan ini berbentuk
gagasan atau ide yang belum sadar, tetapi kemudian ini dijadikan sadar oleh
karya imanen jiwa manusia yang adalah sebuah monade inti. Di dalam pengamatan,
pengetahuan masih agak kabur sebab baru menghasilkan suatu gagasan yang masih
sedikit kejelasan dan kesadarannya (monade macam kedua). Tetapi kemudian
pengetahuan di dalam pengamatan itu secara perlahan-lahan menjadi semakin
jelas, sehingga akhirnya muncul di dalam gagasan atau idea yang jelas sekali,
yakni pengetahuan dalam bentuk pengertian (monade macam ketiga).
Bagi
Leibniz, pengalaman itu sendiri bukanlah sumber pengetahuan, melainkan
tingkat perdana pengetahuan akali. Di dalam pengetahuan dalam bentuk
pengertian, rasio atau daya berpikir sendirilah yang lebih berusaha untuk
menaikkan isi pengetahuan, dari pengalaman hingga menjadi pengetahuan yang
jelas dan disadari. Sifat pengetahuan ini adalah umum dan mutlak perlu, justru
karena tidak berasal dari pengalaman seseorang. Sampai di sini, semakin kentara
bahwa Leibniz adalah penganut aliran rasionalisme yang sudah dipelopori oleh
Descartes, filsuf terkenal dari Perancis itu.
Pada masa 1755-1770 sebagai seorang
Kant muda atau dikenal dengan masa pra-kritis, sangat dipengaruhi oleh
rasionalisme ala Leibniz. Sebagai rasionalis, Kant muda pernah memiliki asumsi
yang tak kritis bahwa prinsip kausalitas, yakni bahwa setiap kejadian memiliki
penyebab, merupakan hukum alam yang niscaya. Yang melekat pada hakikat setiap
hal, suatu kebenaran yang dapat disaksikan dengan rasio murni tanpa harus
mengacu pada pengalaman. Ia pun pernah menyepakati begitu saja bahwa terdapat
hubungan-hubungan yang bersifat niscaya dalam alam, yang melekat secara inheren
dalam tatanan objektif realitas. Dari sudut pandang seperti itu, kemampuan
rasio tak lain adalah kemampuan untuk mengintuisikan “hubungan-hubungan nyata”
seperti itu dan dengan demikian lantas menyediakan semacam peta atau foto sinar
X tentang struktur inheren dari ada itu sendiri. Pikiran manusia berpikir
“secara sebab akibat” karena pikiran itu sendiri sebenarnya adalah cermin yang
memantulkan tanpa distorsi struktur terpendam dunia luar. Rasio mengetahui
bahwa prinsip-prinsip itu memang “sudah jelas dengan sendirinya” adalah benar
karena ia “menyaksikan”, melalui tindakan intuisi intelek, sehingga memang
benar bahwa prinsip-prinsip itu adalah hakikat segala hal. Berdasarkan
pandangan demikian itu, rasio bukanlah semata-mata merupakan kemampuan
mengabstraksikan dan menyimpulkan melainkan juga kemampuan menemukan yang
memungkinkan kita menyaksikan ciri-ciri paling umum dari segala hal sebagai ada
dalam dirinya sendiri.
Seiring berjalannya waktu Kant
kemudian mengagumi pemikiran seorang filsuf Skotlandia David Hume, dan Kant
mengaku berkat Hume lah ia bangun dari “tidur dogmatik”-nya. Hume adalah
seorang yang menolak pandangan bahwa manusia mempunyai pengetahuan bawaan,
dengannya ia lantas mengenal alam semesta. Sumber pengetahuan itu, kata Hume,
adalah pengalaman.
Tanggapan Hume terhadap pandangan
kaum rasionalis sangat sederhana. Ia bertanya, bagaimana kita bisa
mengetahui bahwa setiap kejadian memiliki dan pasti memiliki penyebab yang
terlepas dari pengalaman? Hume bersedia mengaku bahwa beberapa proposisi memang
bisa dibenarkan. Di antaranya ia menyebut kebenaran matematika dan logika,
serta proposisi-proposisi verbal seperti “Setiap anjing adalah anjing” dan
“Setiap benda yang berwarna lebih panjang dari benda aslinya”. Namun,
kebenaran-kebenaran seperti itu merupakan “relasi ide-ide”; kebenaran-kebenaran
itu tak mengemukakan apa-apa tentang persoalan fakta atau eksistensi. Menurut
Hume, satu-satunya kriteria kebenaran mutlak adalah hukum nonkontradiksi.
Jika suatu proposisi tak benar disangkal tanpa kontradiksi, ia pasti
benar. Namun dengan logika yang sama, pendapat itu tak mengemukakan apa-apa di
luar yang diandaikan oleh konsep-konsep yang dikandungnya. Proposisi mana pun
yang bisa disangkal tanpa kontradiksi tidak niscaya benar. Dalam hal itu,
sekiranya itu ada artinya, bukti untuk itu hanya bisa diperoleh lewat
pengalaman.
Lantas
bagaimana dengan hukum kausalitas? Adakah kontradiksi jika menyangkal bahwa
sesuatu bisa eksis tanpa penyebab? Menurut Hume, jawabannya pasti “Tidak”.
Hukum sebab akibat adalah universal, sejauh ia adalah hukum alam, tak bisa
diketahui secara apriori sebagai benar sebelum adanya pengalaman.
Persoalan
yang muncul ini sangat fundamental. Sebab jika prinsip kausalitas itu tidak
pasti, maka akan tampak bahwa seluruh upaya ilmu pun tak memiliki landasan yang
lebih kuat dibandingkan agama wahyu. Maka, tak adakah pembenaran bagi keyakinan
para ilmuwan atas keseragaman alam? Apakah ia hanya sekedar tindakan keyakinan
lainnya yang tak memiliki landasan yang lebih rasional dibandingkan komitmen
para pendeta, nabi, atau dukun .
Terhadap persoalan-persoalan serius
itulah Kant mencurahkan pemikirannya dalam Critique of Pure Reason. Jawaban-jawaban atas persoalan itulah yang menyusun
sebagian besar dari Revolusi Copernican dalam filsafat. Kant mencoba
mempersatukan rasionalisme dan empirisme. Ia memperlihatkan bahwa pengetahuan
merupakan hasil “kerjasama” dua unsur: pengalaman inderawi dan keaktifan
akal budi. Pengalaman inderawi merupakan unsur “a posteriori” (“yang datang kemudian”),
akal budi merupakan unsur “a
priori” (“yang
datang lebih dulu”). Empirisme dan rasionalisme hanya mementingkan satu dari
dua unsur ini, sehingga hasilnya setiap kali berat sebelah. Kant memperlihatkan
bahwa pengetahuan selalu sebagai sintetis.
Kant membedakan tiga macam putusan.
Pertama, putusan analitis: di sini predikat tidak menambah sesuatu yang
baru pada subjek. Karena sudah termuat di dalamnya (misalnya: lingkaran adalah
bulat). Kedua, putusan sintetis a
posteriori: di sini
predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman inderawi. Pernyataan
“meja itu bagus”, misalnya, adalah putusan sintetis a posteriori. Pernyataan ini merupakan hasil
suatu pengamatan inderawi setelah (post, bhs Latin) saya mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah saya ketahui. Ketiga,
putusan sintetis
a priori: di sini
dipakai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun
toh bersifat a
priori juga. Begitu
misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan
ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori),
namun putusan ini juga bersifat sintetis dan a posteriori.
Sebab di dalam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya
tersirat pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman inderawi
dibutuhkan serentak. .
Penjelasan
lebih lanjut tentang tiga macam putusan ini secara garis besar dapat
dikemukakan sebagai berikut: Kant sepakat bahwa kaum rasionalis telah bersikap
tidak kritis dalam anggapannya bahwa hukum kausalitas universal adalah
kebenaran yang bersifat niscaya, yang diintuisikan oleh rasio sebagai
kebenaran dari segala hal sebagai ada dalam dirinya sendiri. Sebagaimana
diungkapkan Kant, hukum itu tidak “analitis”. Hume sepenuhnya benar ketika
menyangkal bahwa hukum itu disimpulkan dari makna sejati “sesuatu”, yakni bahwa
sesuatu itu pasti memiliki penyebab. Dengan demikian, prinsipnya harus
bersifat “sintetis”. Namun, Kant menolak untuk menganggapnya hanya
sebagai pernyataan serba-mungkin atas fakta.
Penolakan Kant ini berupaya untuk
mempertahankan konsep kausalitas yang diserang Hume. Kant mencoba
memperlihatkan bahwa konsep sebab harus bisa diterapkan kepada kenyataan
objektif, sebab hanya berkat kemampuan konsep-konsep seperti “sebab” itu
untuk diterapkanlah bahwa kita dapat membedakan antara kenyataan objektif dan
subjektif.
Kant berpendapat bahwa pengalaman
muncul dengan bahan mentah dari sensasi. Tetapi indera sendiri tidak memberikan
kita “objek”. Untuk itu, bahan mentah dari sensasi harus dibentuk
oleh kategori-kategori formal akal, yang menurut Kant ada duabelas. Di antara
kategori-kategori formal ini, “sebab” sangatlah penting. Semua sensasi tersebut
disajikan di dalam urutan waktu. Semua sensasi kita mengalir.
Tetapi apa yang kita saksikan adalah bahwa urut-urutan di mana kita
mengalaminya tidak dapat diatur secara sembarangan. Misalnya tahap-tahap yang
kita saksikan di dalam melihat lajunya sebuah mobil. Hanya berdasar pada
perbedaan antara yang bersifat mengikuti hukum dan yang bersifat sembarangan
atau tanpa aturanlah kita membedakan antara yang objektif dan yang subjektif.
Wahana yang objektif adalah wahana dari fenomen yang teratur.
Dapat dikatakan bahwa hukum
kausalitas menurut Kant, bukanlah pernyataan faktual yang hanya benar secara a posteriori, bukan pula penjelasan “analitis”
atas makna-makna yang telah terkandung dalam konsep. Ia lebih merupakan suatu
prinsip regulatif yang merupakan peraturan universal bagi seluruh
penyelidikan rasional. Semua prinsip jenis ini adalah a priori, sekaligus juga
sintetis. Dengan demikian, prinsip-prinsip itu jelas universal dan niscaya. Dan
karena itu validitasnya tidak tergantung pada konfirmasi pengalaman.
Sebaliknya, validitasnya sudah diandaikan oleh semua keputusan yang hendak
memberi kita pengalaman tantangan fenomena. Akan tetapi, prinsip-prinsip itu
berlaku bagi konsepsi kita atas segala hal yang eksis, dan bukan hanya bagi apa
yang oleh Hume disebut relasi ide-ide .
Maka, bagi Kant, persoalan
fundamental kritik rasio hanyalah, “Bagaimana keputusan-keputusan
sintetis a priori dimungkinkan? Jawaban Kant terhadap persoalan ini dapat
dijelaskan bahwa pemahaman manusia tak dapat lagi dikonsepsikan sebagai
cermin pasif yang memantulkan secara intuitif pola-pola, atau logos,
dari segala sesuatu dalam dirinya sendiri. Apa yang disebut “pikiran” harus
dianggap sebagai pelaku aktif yang mampu merangkai bahan-bahan mentah
pengalaman inderawi menjadi suatu tatanan dunia berupa fenomena yang
terkonseptualisasikan. Bagi Kant pikiran itu sendiri bukanlah satu-satunya
realitas. Data pengalaman inderawi mau tak mau memang “sudah ada”; kita sekedar
menemukan bahwa data itu ada saat kita membuka mata dan telinga.
Dalam pemikiran tentang
pengetahuan sintetis aposteriori
itulah Kant mengusung
“revolusi Copernican” dalam filsafat. Bukan subjek yang tergantung pada objek,
tetapi sebaliknya objek tergantung pada subjek. Objek sejauh menampakkan diri
(fenomen) dan sejauh diketahui, distrukturkan oleh subjek. Objek sebagaimana
adanya atau “benda dalam dirinya sendiri” (noumenon)
dan yang melulu merupakan “bahan mentah” bagi pengetahuan tidak dapat
diketahui.
Menurut Kant, pembalikan baru dari
peran dominan dalam kegiatan mengetahui tersebut, (yakni dari peran dominan
objek dalam menentukan pikiran ke peran dominan subjek dalam menentukan objek
sebagaimana diketahui) merupakan jalan satu-satunya untuk menjamin
kebenaran. Kebenaran baginya adalah kesesuaian antara objek dengan
pikiran. Karena dalam pandangannya, pikiran atau subjek mengkonsumsikan
objek sebagaimana diketahui, maka tentu saja objek dan subjek jelas sesuai satu
sama lain. Ia menyebut posisi epistemologisnya sebagai bentuk “realisme
empiris” (bagi kita benda-benda adalah sebagaimana mereka menampakan diri
kepada kita) dan sekaligus “idealisme transendental” (benda-benda sebagaimana
diketahui, bagi kita, dikonstitusikan oleh pikiran kita). Dengan kata lain,
pikiran kita sebagai subjek memang tidak menciptakan objek pada dirinya sendiri
tetapi objek sebagaimana kita ketahui, distrukturkan secara apriori oleh
pikiran kita. Bagi Kant, semua unsur formal atau struktural dalam objek yang
kita ketahui, datang dari struktur pikiran. Sedangkan semua unsur
material merupakan sesuatu yang pada dirinya tak dapat diketahui. Unsur-unsur
formal yang secara apriori berasal struktur-struktur pikiran, bagi Kant
merupakan suatu syarat yang bersifat niscaya bagi dimungkinkannya pengalaman
kognitif, dengan demikian struktur apriori itu sendiri tidak pernah dialami
pada dirinya dan juga tidak berasal dari pengalaman. Dalam rumusan Kant, setiap
unsur kegiatan manusia mengetahui muncul bersama pengalaman, tapi tidak setiap
unsur di dalamnya berasal dari pengalaman. Unsur-unsur formal muncul bersama
pengalaman akan objek, unsur-unsur formal tersebut tidak dapat berasal dari
pengalaman, karena persis merupakan syarat-syarat bagi dimungkinkannya
pengalaman. Oleh karenanya. Semua unsur formal atau struktural kegiatan manusia
mengetahui itu bersifat apriori.
Pada akhirnya garis besar dalam
sejarah filsafat zaman modern, rasionalisme dan empirisme, saling bertemu dalam
filsafat Kant. Pikiran Kant merupakan suatu sintesis yang sekaligus berarti
titik akhir rasionalisme dan empirisme.
Disamping itu bahwa Imanuel Kant dengan
mengikuti alur berfikir Hugo De Groot ( pendasar
hukum alam yang rasional) ia menekankan adanya peranan rasio manusia
dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh
karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.
Filsafat dari Kant
dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant
dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait
dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik
der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya
Adirasa (kritik der Urteilskraft yang
terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya
dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling)
Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo noumenon) tidak terletak pada
akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),
tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan
hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang
penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia
ideala berkepribadian humanistis.
Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der Rechtslehre
(Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian dari karyanya yang
berjudul Metaphysik der Sitten) pokok
pikirannya ialah bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk
berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan
kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna
mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu
merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang
dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum yang
meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua
anggota masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum
terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong
melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari
Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant
ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari
rasio manusia.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya
ialah Hegel dari Jerman. Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata
menurut nalar adalah nyata, dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist,
das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is
reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau
realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan
proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang
senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup seluruh
tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan kelahiran
segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa,
san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat
hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh
hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan
hukum.
Dari uraian panjang lebar diatas
jelaslah bahwa Imanuel Kant telah menunjukkan pandangannya yang keluar
dari berfikir irrasional dan menganggap hukum suatu produk akal (rasio) manusia
, penguasa, Negara. Sehingga setiap
orang harus taat pada perintah hukum Negara dan penguasa. Inilah cikal bakal
dari berfikir positif dan mashab positif.
D. Positivisme Hans Kelsen- Neo Kantian
Sebelum aliran
hukum positif lahir telah berkembang
suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, dalam
hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Pandangan hukum yang mulai berkembang dan
memerlukan analisa yang obyektif itulah kemudian melahirkan suatu faham : analitycal jurisprudence yang dibangun oleh John Austin.
Pemikiran analitycal jurisprudence
berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat asal kelahiran
Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal
dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yang membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
a)
Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk
manusia.
b)
Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia,
yang terdiri dari:
- hukum
dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang
terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang, peraturan
pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun rakyat secara
individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali
terhadap perwaliannya.
- Hukum
dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau
perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point
pertama, di dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.
Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai hukum.
Pergulatan positivism “ legisme ( Jerman), dan Analitical Jurisprudence ( Inggris) semakin
diperkaya dengan munculnya “ teori murni “
tentang hukum dari Hans Kelsen.
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam
aliran positivisme, karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan
ajaran Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit
berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada
penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu
hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang
Hans Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam,
walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin
dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan
mewakili aliran positivisme kritis (aliran
Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau
ajaran hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau
tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya.
Ilmu (hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme
hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak
ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:
a) Tujuan
teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah meringkas dan
merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu
yang serasi.
b) Teori
filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah cipta,
bukan karsa dan rasa.
c) Hukum
adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap)
yang dikuasai oleh hukum kausalitas.
d) Teori/filsafat
hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas
norma-norma hukum.
e) Teori
hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur
perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
f) Hubungan
kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah
hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum yang senyatanya.
KELSEN mengemukakan “Pure Theory of Law” yang terjemahannya teori murni tentang hukum (yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain.
Murni
di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu – ilmu lain,
unsur/ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah, sosiologi,
antropologi, ekonomi dan sebagainya. Untuk mendukung teori murni
tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai
keberlakuan kaidah hukum.
Stufenbau teori
maksudnya keberadaan kaidah
yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian kaidah
konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku
berdasarkan kaidah dasar atau grund norm.
E. Beberapa
Jenis Kaidah Dalam Positivisme Hukum
1. Kaidah Konkrit (Individual Norm)
Adalah suatu kaidah yang berlaku/mengatur bagi subyek
hukum yang ditentukan dengan konkrit. Contohnya Surat
keputusan pengangkatan/pemberhentian pejabat, Surat putusan pengadilan, Surat
penetapan/fatwa waris, surat ijin usaha.
Ketiga macam surat tersebut di dalamnya ditentukan dengan
konkrit siapa nama subyek hukum (subyek – subyek hukum), berapa umurnya/kapan
berdirinya, apa pangkat golongannya, apa pekerjaannya, dimana alamat tempat
tinggalnya (semuanya itu merupakan identitas subyek hukum tersebut) dan apa
yang harus dilakukannya, apa hukumnya/berapa lama hukumannya.
2.
Kaidah
Abstrak (General Norm)
Adalah suatu kaidah yang berlaku/mengatur bagi subyek
hukum yang ditentukan secara umum. (baik berlakubagi suatu masyarakat atau
hanya golongan tertentu). Contohnya Undang–undang perkawinan; dimana setiap WNI
maupun WNA (Perkawinan Campuran) yang menikah di Indonesia berlaku Undang–undang
tersebut.
Contohnya PP No.10 tahun 1983 (hanya berlaku bagi
golongan Pegawai Negeri Sipil), Peraturan Daerah mengenai pemilikan KTP berlaku
hanya untuk warga disuatu tempat biasanya propinsi/kabupaten atau kotamadya.
3.
Kaidah
Dasar (Grund Norm)
Adalah suatu kaidah yang sangat abstrak dan terdiri hanya
satu kaidah saja yang berlaku serta
mengatur kaidah-kaidah di bawahnya, kaidah dasar di Indonesia bukanlah
Pancasila atau UUD 1945 karena Pancasila merupakan asas, dan UUD 1945 tidak
terdiri dari satu kaidah saja.
4.
Kesalahan/tidak
konsisten teori murni Kelsen terletak pada kaidah dasarnya yang
diterangkan oleh Kelsen, yaitu tidak ada norma dasar/kaidah dasar dapat diakui
tanpa keefektifan yang minimal yang menjurus pada pentaatan/kepatuhan hingga
taraf tertentu.
Untuk mengetahui dan mengukur kepatuhan/pentaatan dari
warga masyarakat tersebut hanya dapat dilakukan dengan (ilmu) sosiologi.
Jadi kesalahan/tidak konsisten teori murni Kelsen
terletak pada kaidah dasar/norma dasar yang tidak murni lagi karena dipengaruhi
oleh sosiologi.
Menurut
Kelsen, Pemilihan mengenai norma dasar tidak bersifat sewenang – wenang
sebaliknya pilihan tersebut harus dilakukan oleh ahli ilmu hukum pada
prinsip–prinsip keberlakuan, yaitu bahwa tertib hukum secara keseluruhan harus
bersandar pada asumsi yaitu keberlakuan secara luas, dalam arti bahwa secara
umum warga berprilaku sesuai dengan asumsi itu.
Norma
dasar bukanlah hukum positif dan maka tidak berkaitan dengan ilmu hukum, tetapi
sepenuhnya formal dalam memberikan kesatuan terhadap system hukum dan membuat
batas–batas akan norma – norma itu yang dipelajari ilmu hukum.
F. NEO POSITIVISME
David Hume,
menolak semua pengetahuan yang bukan empiris, pengetahuan semacam itu
dianggapnya sebagai khayalan, jadi tidak mungkin ide-ide metafisika sebagai
pembawa kebenaran.
Positivisme
mengunggulkan pengetahuan ilmiah yang berpangkal pada empirisme.
Filsuf-filsuf
utilitarisme mengutamakan prinsip kegunaan dalam hidup sosial manusia; apa yang
ternyata berguna bagi perkembangan manusia dianggap baik dan benar (abad XX).
Mereka berusaha menghindari semua “ucapan” yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu mereka mengambil alih metode empiris
dan analisis sebagai satu-satunya metode yang sah.
Dalam abad XX
muncullah kritik terhadap ilmu pengetahuan, yang meragukan tentang kebenaran
ucapan ilmiah. Dalam situasi dilema ini aliran-aliran filsafat baru muncul,
filsuf-filsuf aliran ini menyelidiki isi pengertian dan bahasa secara mendalam,
inilah yang disebut aliran “Neo positivisme”.
Jadi
Neopositivisme memberi perhatian lebih besar kepada logika dan kepada hubungan
yang erat antara logika dan bahasa.
Dalam
kerangka teoritis, sikap legilstik dan formalisme hukum merupakan tradisi dalam
filsafat positivisme atau yang lebih khusus dalam tradisi positivisme hukum.
Kepastian hukum merupakan keniscayaan bagi kaum legal-formalistik. Bahwa yang
namanya hukum harus tertulis dan (tanpa pandang bulu) ditegakkan sesuai aturan
yang berlaku. Namun, setelah aturan hukum tertulis tersebut diterapkan kepada
setiap tindakan manusia apakah keadilan yang akan tercipta?
G. Hukum Tidak Harus Adil ?
Lahirnya positivisme hukum merupakan
pengaruh dari filsafat positivisme pada abad XIX. Filsafat ini berpangkal dari
apa yang diketahui, yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan
diluar apa yang ada sebagai fakta dan kenyataan dikesampingkan. Oleh karena itu
metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala yang
nampak, segala gejala. Berangkat dari akar inilah positivisme hukum ada. Dengan
dalih menggunakan logika dan metode ilmu pasti ke dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu
sosial (termasuk hukum di dalamnya) dalam perkembanganya kemudian melahirkan
karakteristik yang empiris, kaku, tertulis, dan metodologis.
Hukum selalu merupakan hukum positif
dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan
oleh tindakan manusia terlepas dari moralitas dan sistem norma itu sendiri.
Karena seperti diungkapkan Hans Kelsen bahwa “Hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir
yang non yuridis, seperti unsur sosiologi, historis dan etis“. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan teori hukum murni (Reine
Rechtlehre) dari
Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenkategore (kategori keharusan/ideal), bukan Seinkategorie (kategori faktual)
Baginya hukum adalah suatu keharusan
yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang
dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya”, tetapi “apa
hukumnya”. Dengan demikian walaupun hukum itu Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum) bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Pemikiran Hans Kelsen tentang hukum
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant. Dia bahkan kemudian dimasukkan
sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan
antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen hukum berurusan dengan bentuk (forma) bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai isi hukum
berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tapi
ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Jadi, hukum dalam kacamata positivisme memang
tidak harus adil.
F. TEORI
HUKUM MURNI
Teori
hukum murni adalah teori positif. Ia merupakan teori tentang hukum positif
umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan teori hukum umum, bukan
penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu; namun
menyajikan teori penafsiran.
Sebagai
suatu teori, ia terutama dimaksud untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya.
Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana
semestinya dia ada. Ia merupakan ilmu hukum (yurisprudence) dan
bukan politik hukum.
Ia
disebut teori hukum murni lantaran hanya menjelaskan hukum dan berupaya
membersihkan objek penjelasannya dari hal yang tidak bersangkut-paut dengan
hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur
asing. Inilah landasan metodologis dari teori itu.
Pendekatan
semacam itu nampaknya merupakan hal yang sudah selayaknya. Namun,, dari
tinjauan sekilas terhadap ilmu hukum tradisional yang berkembang di abad ke -19
dan -20 dapat diketahui dengan jelas betapa ia sudah begitu jauh dari
kemurnian, secara tidak kritis ilmu hukum telah dicampur adukkan dengan
unsur-unsur psikologi, sosiologi, etika, dan teori politik. Pencampuradukan ini
bisa dimengerti karena bidang terakhir itu membahas pokok persolan yang
berkaitan dengan hukum. Teori hukum murni berupaya mengatasi pengertian hukum
pada bidang-bidang tersebut, bukan lantaran ia mengabaikan atau memungkiri
kaitannya, melainkan karena ia menghindari pencampuradukan berbagai disiplin
ilmu yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi
ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok
bahasannya.
Pada
tahun 1934, teoritikus hukum Amerika Roscoe Pound menulis bahwa Hans Kelsen
adalah ahli hukum terkenal yang tidak diragukan lagi pada waktu itu. Seperempat
abad kemudian, ahli filsafat hukum Inggris H.L.A Hart menggambarkan Kelsen sebagai
penulis Yurisprudensi analitis paling menggugah di jaman itu. Dan seperempat
abad berikutnya, ahli filsafat dan logika Finlandia Georg Henrik Von Wright
membandingkan Kelsen dengan Max Weber, ia menulis, dua pemikir inilah yang
paling mempengaruhi ilmu sosial di abad itu. Para penulis lainnya menilai
Kelsen dengan istilah-istilah pedas. Banyak penulis di Amerika dan Inggris yang
menolak karya “Pure Theory
of Law” karena sangat steril dan tandus, yang hanya bisa digunakan
dalam logika dan bukan dalam kehidupan. Selama periode Weimar di Jerman, bagian
terbaik peran Kelsen sendiri dalam perdebatan politik dan hukum dinegara-negara
yang menggunakan bahasa Jerman, para penulis di seluruh spektrum politik
tersebut berpendapat bahwa Pure theory gagal.
Kelsen
memahami Pure Theory of law
–nya sebagai teori kognisi hukum, teori pengetahuan hukum. Ia berulang kali
menulis bahwa satu-satunya tujuan pure
theory adalah kognisi atau pengetahuan objeknya, tepatnya
ditetapkan sebgai hukum itu sendiri. Dalam merumuskan teori kognisi hukum
khususnya, tugas khusus Kelsen adalah mencegah “elemen-elemen asing” yang
acapkali menyesatkan teori hukum di masa lalu.
Mengapa
Kelsen menolak hal ini, atas nama teori hukum tersebut kelsen menolak
kecenderungan untuk meminta bantuan etika, psikologi dan lain-lain guna
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Dan sindiriannya pada apa yang
dinamakan bidang-bidang asing. Disiplin ilmu itu dikenal sebgai ilmu hukum
khusus yang harus dibedakan dari filsafat keadilan disatu pihak dari sosiologi,
atau kognisi relaitas sosial, di lain pihak.
Teori
hukum murni adalah teori hukum positif tetapi bukan hukum positif suatu sistem
hukum tertentu melainkan suatu teori hukum umum (general legal theory). Sebagai suatu teori
tujuan utamanya adalah pengetahuan terhadap subjeknya untuk menjawab apakah
hukum yang seharusnya (what the law ought to be) atau bagaimana seharusnya
dibuat (ought to be made).
Teori hukum murni adalah ilmu hukum (legal
science), bukan kebijakan hukum (legal
policy).
Konsep
Kelsen dalam bukunya :” Introduction
to the Problems of Legal Theory”
menyatakan :
Kemurnian
teori tersebut dilindungi dari dua arah. Kemurnian tersebut dilindungi dari
pernyataam-pernyataan dari sudut pandang sosiologis yang menekankan metode ilmu
kausal untuk mengasumsikan hukum tersebut bagian dari bagian alam. Dan
kemurnian teori tersebut dilindungi dari pernyataan-pernyataan hukum alam, yang
menghilangkan teori hukum bidang norma hukum positif da memasukkannya dalam
bidang postulat etika-politik.
Fokus
utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide
transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak
berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang
tua yang suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas
antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan keadilan
transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi
dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial
spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori hukum murni menolak
untuk dijadikan ilmu metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan
esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak
perbedaannya, kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk
melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan
Austin dan para pengikutnya.
Usaha yang konsisten
ini terutama menyangkut konsep-konsep fundamental, seperti konsep norma hukum
di satu pihak dan konsep-konsep hak dan kewajiban hukum di lain pihak. Di
Perancis dan Jerman, ilmu hukum disajikan secara berbeda antara hukum dalam
pengertian obyektif dan hukum dalam pengertian subyektif, dan terakhir
menyangkut hubungan antara hukum dan negara. Teori hukum murni merupakan suatu
pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang
hanya mengembangkan hukum itui sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara
totaliter. Teori ini lazim dikaitkan pada mazhab Wina yang tokohnya adalah Hans
Kelsen.
Pada dasarnya,
pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika
mulai mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak
mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari
Utilitarianisme Austin. Dasar
falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan Kelsen
dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi
simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil aliran
Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua ahli hukum
ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang
berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat berubah, tetapi
masih mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum
yang mencari keadilan.
Madzhab
Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan
yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yakni pengetahuan
yang bebas dari naluri, kekerasan dan keinginan. Baik Stamler maupun Del Vecchio
mengkombinasikan perbedaan bentuk dan materi dari Kant dengan ideologi hukum; Stamler dengan cita
hukum yang semu formal yang ditarik dari etika Kant, Del Vecchio dengan
instuisi cita keadilannya yang didasarkan atas kesadaran manusia. Kelsen dan
para pengikutnya menolak tiap idealisme hukum seperti itu dan menganggapnya
tidak ilmiah. Teori hukum harus murni formal dan di pihak lain hukum pada
hakekatnya berbeda dengan alam.
Ilmu
hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu
semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis,
lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia.
Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar.
Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu
analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu
analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”.
Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan hukum murni,
menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan
jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum
analis denga tegas.
Kelsen
juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh
karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan
subyektif dan politis, sedangkan
yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif.
Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang
terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan
tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh
dilihat sebagai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme
yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang
bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam
bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah
teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab
pertanyaan; “Apakah
hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh
karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan
sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia
adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer,
1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa
keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasan yang jelas
sehingga menimbulkan suatu keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu
tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition)
dan tindakan manusia, tetapi ia tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang
dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”.
Hans Kelsen mengemukakan “Pure Theory of Law” yang terjemahannya teori murni tentang hukum (yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain.
Murni
di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu – ilmu lain,
unsur/ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah, sosiologi,
antropologi, ekonomi dan sebagainya. Untuk mendukung teori murni
tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai
keberlakuan kaidah hukum.
Stufenbau teori maksudnya :Keberadaan
kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian
kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak
berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grund norm.
Menurut
Kelsen bahwa untuk mengetahui dan
mengukur kepatuhan/pentaatan dari warga masyarakat tersebut hanya dapat
dilakukan dengan (ilmu) sosiologi.
Jadi kesalahan/tidak konsisten teori murni Kelsen
terletak pada kaidah dasar/norma dasar yang tidak murni lagi karena dipengaruhi
oleh sosiologi.
Menurut
Kelsen, Pemilihan mengenai norma dasar tidak bersifat sewenang – wenang
sebaliknya pilihan tersebut harus dilakukan oleh ahli ilmu hukum pada prinsip–prinsip
keberlakuan, yaitu bahwa tertib hukum secara keseluruhan harus bersandar pada
asumsi yaitu keberlakuan secara luas, dalam arti bahwa secara umum warga
berprilaku sesuai dengan asumsi itu.
Norma
dasar bukanlah hukum positif dan maka tidak berkaitan dengan ilmu hukum, tetapi
sepenuhnya formal dalam memberikan kesatuan terhadap system hukum dan membuat
batas–batas akan norma – norma itu yang dipelajari ilmu hukum.
Dari uraian di atas
dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih
dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia
menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya
irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik,
sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
Ilmu
hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh
Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen.
Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena
proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini
menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan.
Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan
sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang
demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena
itu salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah: paksanaan. Setiap
hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa ini
Pemikiran Kelsen kebanyakan dipengaruhi
oleh filosof Jerman, Immanuel Kant. Ia hampir mengutip teori pengetahuan
Kantian yang berhubungan dengan teori hukumnya.Kant percaya bahwa hal yang
objektif berubah yang disebabkan oleh golongan-golonganresmi tertentu (hal-hal
tertentu) yang pakai dalam pemikiran. Bila seseorang bisa belajar Teori Kelsen secara linguistic (bahasa). Seperti methodology, normarivity, causality,dst.
1.
Methodologi
Teori hukum adalah sebuah pengetahuan. Metodenya itu harus murni/bersih.Harus adanya kesatuan hukum.
2.
Kausalitas (Hubungan Sebab Akibat)
Ilmu-ilmua
fisika mengadopsi kausalitas sebagai suatu hal yang utama/penting.Hal-hal umum yang sering terjadi. Seperti, ketika
oksigen dan hydrogen dicampur,maka air akan terbentuk.
3.
Normativitas
Dalam ilmu
hukum, hukum didasarkan pada kemauan, bukan pada sebab-akibat,Jadi hukum
didasarkan pada normativity (norma).
4.
Piuritas (kemurnian/kebersiah)
Kelsen
mengatakan sebuah teori hukum harus bebas/terlepas dari politik, sejarah,etnik,
moralitas, ekonomi, eustetis atau ilmu social lainnya. Fungsi sebuah teori
hukumialah untuk mengubungkannya kedalam sebuah pola yang masuk akal (logic)
Kelsen
mengatakan bahwa ketika sebuah hukum yang sudah ditentang oleh beberapa anggota, hal
itu tidak
membawa kehendak
minoritas
(kelompok kecil). Bahkanmayoritas mungkin
tidak menyadari akan isi dan, oleh karena itu, tidak dapat dikatakan telah
menghendakinya. Ilmu hukum adalah pengetahuan tentang norma-norma. Sebuah norma berasal
dari individu harus berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak menyatakan
bahwa perilaku seperti itu adalah kehendak sebenarnya siapa pun.
Hukum menurut Hans Kelsen
merupakan satu kesatuan norma yang tersusun secara sistematis , berjenjang dan
harmoni.
Norma
hukum yang tertinggi adalah Grundnorm
atau norma dasar. Karena tidak bertumpu pada norma lain, adalah ekstra-legal.
Hirarki norma-norma digambarkan sebagai berikut.
a. Norma dasar
Hal ini merupakan sebuah
fiksi dibandingkan sebuah hipotesis. Kelsen mengatakan bahwa norma dasar tidak
diciptakan dalam bentuk prosedur yang sah oleh badan pembuat
undang-undang/hukum yang sah. Agar semua norma dianggap sah (valid), maka harus
memenuhi syarat 1. Sebuah norma harus menjadi bagian dari sebuah sistem
norma-norma, 2. Sistem tersebut harus betul-betul bermanfaat/efektif.
b. Penggunaan
Kekerasan/Paksaan
Kekesaran/paksaan adalah
karakteristi hukum yang sangat pokok. Moral ataupunkeagamaan
adalah penting sekali,
walaupu juga efektif dengan adanya penerapansanksi. Menurut Kelsen, tidak ada prilaku yang bisa
dikurangi selain adanya sanksi. Menurutnya juga, hukum/undan-undang dan sanksi
tidak bisa dicampur karena sanksi disediakan
oleh hukum yang biasanya disebut sebagai sebuah “norma
sanksi”.
c. Fungsi Hakim/Pengadilan
Menurut Kelsen, fungsi
hakim adalah untuk menterjemahkan penerapan hukum dan norma-norma tetapi ia
sendiri tidak menciptakan norma.
d. Kewajiban Hukum
Kelsen beranggapan bahwa
kewajiban/tugas merupakan hak-hak dasar.
e. Hak-hak Legal
Setiap hak-hak yang benar
tidak hanya sebagai kebebasan belaka (contoh, saya punya hak untuk berpikir,
artinya saya punya kebebasan berpikir atau tidak berpikir), berisi kewajiban
seseorang terhadap yang lainnya. Dalam hal ini , hak dimaksudkan sebagai
kewajiban yang relatif.
f. Keseluruhan dari Teori
Legal
Kelsen mengatakan bahwa
teorinya adalah dari aplikasi yang umum. Teori ini diterapkan dalam sebuah
Negara Kapitalis sosialis atau bukan komunis dan itu digunakan pada
Negara-negara yang berbeda tingkat perkembangannya.
g. Hukum Internasional
Pandangan Kelsen tentang
hukum internasional adalah hukum yang mengandung semua elemen esensial dari
sebuah perintah sah. Ini bermaksud sebuah perintah yang tegas dan mempunyai
sanksi. Hukum internsional adalah hukum sesungguhnya namun juga berupa hukum
primitive karena sanksi itu sendiri ditinggalkan oleh negara dan banyak
dilanggar dan malah digantikan dengan didelegasikan ke pusat dengan perintah
nasional. Perintah internasional yang sah sama sekali didesentralisasikan.
Sebuah pangkat dalam sentralisasi sangat diperlukan dalam satu negara. Ketika
ditanyai tentang norma dasar hukum internsional. Kelsen menjawab bahwa Pacta
Sunt Servada (Perjanjian
Harus Dihormati), ini menjadi Grundnorm
dari hukum Internasional.
Teori hukum menyatakan tentang
ketidakmampuannya untuk menjawab apakah sebuah hukum berupa keadilan. Kelsen
menyatakan dalam bukunya, keadilan adalah sebuah ide irasional. Keadilan adalah
kualitas yang menghubungkan dalam aplikasinya. Keadilan ada di bawah hukum.
Ada hal-hal yang tidak boleh diabaikan dari Grundnorm
(norma dasar), tetapi tidak
perlu diperhatikan secara
keseluruhan. Ketika Grundnorm berhenti untuk memperoleh
dukungan minimal, ia tidak lagi menjadi dasar dari tatanan hukum dan
proposisi lainnya yang tidak memperoleh dukungan akan menggantikannya
Bagian lain dari
teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, suatu dalil
akbar dan tidak dapat ditiadakan, yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum,
bagaimana berputar-putarnya pun jalan itu . Dengan demikian, maka dalil akbar
yang disebut sebagai Grundnorm
itu kecuali berfungsi sebagai dasar, juga sebagai tujuan yang harus
diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada
dalam kawasan rejim Grundnorm
tersebut harus bisa mengait padanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat
sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan
sistem tertentu. Grundnorm
ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum; tetapi ia selalu akan ada di
situ, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak
tertulis.
Grundnorm
ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah
yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipetuhi dan dia pula yang
memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh
karena itu ia lebih merupakan suatu dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu
akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui
dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari
dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.
Inilah yang disebut revolusi.
Dalam teori Kelsen,
sejak mulai dari kelahiran “hipotesis perdana” (initial hypothesis) yang disebut Grundnorm tersebut, maka
proses selanjutnya pun berputarlah sudah. Yang disebut sebagai proses di sini
adalah proses konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari norma dasar itu dan
penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufentheorie, yaitu
yang melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma,
dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkrit, sampai
kepada yang paling konkrit. Pada ujung terakhir proses ini, sanksi hukum lalu
berupa izin yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau
memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang
“seharusnya”, kini telah menjadi sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan.
Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai
“suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin,
suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai
nilai” Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis, realistis
dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa teori yang demikian
itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan
studi terhadap hukum sebagai suatu Deutungsschema
yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya .
Pengikut-pengikut Kelsen tertentu menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh
menjadi Begriffsjurisprudenz
yang kering. Yang disebut terakhir ini mengembangkan ilmu hukum dari
konsep-konsep yang ada melalui suatu penalaran logis semata, sehingga
menimbulkan kesan tentang adanya suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan
suatu ekspansi logis.. Ekspansi ini semata-mata didasarkan pada penalaran logis
dan tidak memperhatikan segi manusiawi dari konstruksinya, sehingga diperoleh
hasil yang secara logis benar, tetapi secara menusiawi mungkin merupakan
keanehan.
Tugas teori hukum adalah untuk
menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan antara norma dasar dan semua norm adi
bawahnya, tetapi tidak mengatakan apakah norma dasar sendiri baik atau buruk.
Hal tersebut meruakan tugas ilmu politik, atau etika, atau agama.
Positivisme secara
tepat-konteks dipahami dalam suatu masa kesejarahan tertentu yaitu masa
kemunduran Filsafat Hukum. Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran Hukum Murni
(Reine Rechtslehre)
dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum Murni sebagai Teori Hukum
Positif yang objeknya adalah hukum positif.
Berbagai
istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti
Ilmu Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya.
Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian “hukum” dari
kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan
seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum
positif.
Segi
tersembunyi (tacit
knowledge) Ajaran
Hukum Murni yang implisit adalah ketidakpercayaan terhadap positivisme, hukum
alam, dan segala sesuatu yang menghubungkan norma dengan kenyataan sosial,
sembari menciptakan “Ajaran” yang didefinisikannya sebagai “Teori”. Ajaran
Hukum Murni mengkritik positivisme dan hukum alam, khususnya dalam ulasan
epistemologis dan politis terhadap Idealisme Kritis dan Positivisme Hukum Kant.
Permainan bahasa dari Kelsen ini harus dicermati benar-benar bagaimana ia tidak
menggunakan Filsafat Ilmu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan Idealisme
Kritis dan Positivisme.
Kedua istilah ini
merupakan aliran baru pasca Kant yaitu Idealisme (Fichte, Schelling, Hegel)
yang melanjutkan pikiran Kant: Subjek memberi struktur pada realitas, seluruh
realitas terletak dalam kesadaran (Idea)
Subjek, bukan pada realitas itu sendiri; dan Positivisme (Comte dan JS Mill)
yang melanjutkan pikiran Kant pula: apa yang bisa diketahui hanyalah
fenomen-fenomen saja sebagai data-data dari pengalaman empiris, di luar
fakta-fakta positif itu tidak bisa dihasilkan pengetahuan.
Ajaran
Hukum Murni tidak memiliki kaitan apa-apa dengan Idealisme Kritis dan
Positivisme ini. Ajaran Hukum Murni memisahkan diri dari Filsafat dan Sosiologi
yang dikategorikannya positivistik. Ajaran Hukum Murni dinyatakan Kelsen
sebagai pelanjut Austin (Utilitarian; Ilmu Hukum Analitik) dengan menyingkirkan
aspek di luar hukum yaitu fakta psikologis atas aturan. Ruang pengembangan Ilmu
Hukum Normatif tereduksi pada sistematisasi-logis atau skillful yang bertumpu pada
logika atas hukum positif.
Ajaran
Hukum Murni menolak metafisika atas hukum positif. Doktrin hukum alam pada saat
tertentu bersifat konservatif, bisa reformatif atau revolusioner. Doktrin hukum
alam suatu saat membenarkan hukum positif karena sesuai dengan tata ketuhanan
yang belum tentu dapat terbuktikan. Di saat lain, doktrin hukum alam
mempertanyakan validitas hukum positif dan menyatakan hukum positif ini
bertentangan dengan nilai-nilai dalam doktrin hukum alam yang absolut.
5.
KRITIK DAN PENGEMBANGAN TERHADAP TEORI HANS KELSEN
Seperti halnya teori
pada umumnya, teori hukum Hans Kelsen juga tidak terlepas dari berbagai
keberatan maupun kritik yang berasal dari aliran hukum sebelumhya (kusususnya
hukum Alam dan positivisme empiris), maupun dari aliran hukum yang berkembang
belakangan. Kritik terhadap teori hukum Kelsen pada umumnya terkair dengan
metode formal yang digunakan dalam Pure
Theory of Law, konsep hukun sebagai perintah yang memaksa namun
tidak secara psikologis, postulasi validitas norma dasar, hubungan hukum dan
negara, dan masalah konsep hukum internasional sebagai suatu sistem.
Kritik-kritik
dikemukakan oleh banyak ahli hukum sesuai dengan pokok masalah yang menjadi
pusat perhatian, dan masing-masing menggambarkan perspektif tertentu yang berbeda-beda.
a.
Kritik Joseph Raz
Dalam bukunya
the concept of legal system : An
Itroduction to The Theory of Legal System membahas tentang konsep hukum dan sistem hukum
berdasarkan dua kriteria yaitu kriteria eksistensi dan kriteria identitas.
Kririk terhadap teori hukum Kelsen dilakukan dari berbagai aspek, mulai dari
bahasa pernyataan normatif, struktur norma, eksistensi norma, masalah
individuasi, sampai pada massalah sistem hukum Kelsen terkait dengan prinsip
individuasi dan identitas sebagai pemikiran Raz.
b.
Kritik Hari Chand
Hari Chand
membahas secara khusus Pure
Theory of Law dalam
bab kelima buku “Modern
Jurispudence”.
Setelah menguraikan pokok-pokok pikirannya, kemudian chand mmeberikan kritik
tentang teori Kelsen tersebut, yaitu
1.
Tentang norma dasar
Menurut
Chand, konsep norma dasar yang dikemukan Kelsen tidak jelas. Yang disebut norma
dasar tersebut merupakan hukum positidf tetapi suatu pesu-posisi penegtahuan
yuridis, atau sesuatu meta-legal tetapi memiliki suatu fungsi hukum. Sulit
untuk melihat kontribusi Pure
Theory of Law
terhadap sistem dengan mengasumsikan hukum berasal dari norma dasar yang tidak
dapat ditemukan.
2.
Metodologi
Suatu sistem
hukum bukan merupakan koleksi abstrak dari kategori yang mati, tetapi suatu
susunan hidup yang bergerak secara konstan dan terdapat bahaya apabila melihat
potongan-potongan danmenganalisa masing-masing bagian. Pendekatan Kelsen hanya
pada satu sisi ketertarikan, yaitu pada bentuk hukum senbari meletakkan isinya
sebagai hal yang sekunder.
3.
Kemurnian
Kelsen sangat
menekankan pada analaisis kemurnian sehingga pendekatan lain terhadap
penyelidikan yuridis diabaikan. Metodenya menjadi tidak murni sepanjang
menegenai norma dasar karena dia gagal menjelaskan bagaimana norma tersebut
eksis.
4.
Hirarki Norma
Terdapat
sumber hukum seperti kebiasaan, undang-undang, dan preseden, yang salah satunya
tidak dapat dikatkanlebih tinggi dari yang lain. Disamping norma, dalam sistem
hukum juga terdapat standar, prinsip-prinsip, kebijakan, asas (maxim), yang sama pentingnya dengan norma, namun tidak
diperhatikan oleh Kelsen.
c.
Kritik J.W. Harris
Pandangan utana
Kelsen adalah bahwa ilmu hukum harus terbebas dari hal-hal yang tidak dapat
dianalisis secara obyektif menurut hukum dan hal-hal yang merupakan hukum.
Harris menyatakan bahwa Kelsen telah gagal menjelaskan bahwa hukum adalah
praktek dari ilmuwan hukum. Dengan kata lain teori norma murni tentang hukum
adalah bukan tentang hukum, tetapi tentang disiplin institusional dari ilmu
hukum. Kelsen lebih memilih norma daripada aturan dengan dua alasan. Pertama, dia khawatir
penggunaan aturan dapat berujung pada kebingungan dari ilmu alam, padahal dalam
bahassa Inggris istilah law
ambigu dan norm
juga memiliki ambiquitas khusus karena digunakan juga dalam mendeskripsikan rule situations. Kedua, Kelsen
mendefinisikan suatu norma sebagai “ekspresi dari ide…bahwa seorang individu
harus (ought) untuk berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Kelsen secara terus
menerus menambahkan untuk mengaitkan dengan pandangannya bahwa aturan hukum adalah
entitas abstrak yang berbeda dengan legislasi masa lalu atau pelaksanaanya di
masa depan, dengan membentuk piramida hukum (stufentheorie)
yang dikembangkan murid Hans Kelsen Hans Nawiasky dimana susunan normanya
adalah :
1.
Norma fundamental (staatsfundamental norm);
2.
Aturan dasar negara (staats
grunddgesetz);
3.
Undang-undang formal (formel
gesetz);
4.
Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome
satzung).
Menurut Hans
Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen adalah norma dasar (norm basic) dalam suatu
negara disebut sebagai norma fundamental negara. Sehingga dengan penempatan
Pancasila sebagai staatsfundamental
norm berarti menempatkannya diatas Undang-Undang Dasar. Pancasila
tidak termasuk ke dalam konstirusi, karena berada diatas konstitusi.
6.
Implementasi Teori Hukum Murni Di Indonesia
Dari kalangan penganut
sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang
dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran
positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu
diketengahkan. Pertama, ajarannya tentang hukum yang
bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl
yaitu stufenbau des recht yang
mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran
hukum murni Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari
anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan
sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya
hukum alam. Hukum
merupakan sollen yuridis
semata-mata yang terlepas dari das
sein / kenyataan
sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat
bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu
ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih
tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tanggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat
hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan
yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum
yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah
hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Dewasa ini,
teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi
kehidupan hukum di Indonesia adalah teori
hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya
konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia
bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional . Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh
aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan
tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar
undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan
hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum
mengatur masalah tersebut.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik
dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem
konstitusional berdasarkan checks
and balances,
seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika
diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan
kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing
lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara
dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar ,
tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur
berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan sistem yang demikian,
memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak
konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum
untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal
pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat
diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum
dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah
Agung.
Walaupun di luar
kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat
kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk
hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut
berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya
menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti
kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.
Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat
yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang
Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.
Ilmu hukum adalah
“ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu
semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen.
Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena
proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini
menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan.
Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan
sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang
demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena
itu salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah paksanaan. Kelsen
berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Sehingga,
norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih
tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan
sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut.
Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen
dengan nama Grundnorm
(norma dasar).
Sistem hukum Indonesia pada
dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.
Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-undangan Indonesia
sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
Menurut Bagir Manan,
hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis
yang pada saat ini yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan
ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara. Teori
Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih
diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem
kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan
masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang
menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan
undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undangundang dan
selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku peraturan
perundang-undangan tertulis. Bahkan peraturan,
perundang-undangan yang tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di
Indonesia.
Akan tetapi tidak
semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembang di
Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku.
Teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum
secara holistik, maka Satjipto Rahardjo
meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan
tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat
instruktif.
POISTIVISME YURIDIS DAN SOSIOLOGIS
Positivisme
hukum ada dua bentuk yakni positivisme yuridis dan positivisme sosiologis.
Dalam positivisme yuridis hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang
perlu diolah secara alamiah. Tujuan positivisme ini adalah pembentukan
struktur-struktur rasional sistemsistem yuridis yang berlaku. Sebab hukum
dipandang sebagai hasil pengolahan ilmiah belaka, akibatnya pembentukan hukum
menjadi makin profesional.
Hukum
modern adalah ciptaan para ahli dibidang hukum. Dalam positivisme sosiologis
hukum dipandang sebagai bagian kehidupan masyarakat. Prinsip-prinsip
positivisme hukum dapat diringkas sebagai berikut:
a. Hukum adalah sama dengan undang-undang. Dasarnya ialah bahwa hukum muncul sebagai berkaitan dengan negara; hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara.
b.Tidak terdapat suatu hubungan
mutlak antara hukum dan moral. Hukum tidak lain dari pada hasil karya para ahli
dibidang hukum.
c. Dalam positivisme yuridis ditambah
bahwa hukum adalah suatu “closed logical system”. Peraturan-peraturan dapat
diduksikan (disimpulkan secara logis) dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu
meminta bimbingan dari norma-norma sosial, politik dan moral. Tokoh-tokohnya
adalah R. Von Jhering dan J.Austin (analitical jurisprudence).
David
Dyzenhaus menyebutkan dalam positivisme tidak ada hubungan antara hukum dan
moral sebagaimana yang ia sampaikan bahwa:
“Legal positivism is best understood as a
political tradition which rejects the separation thesis-the thesis that there
is no necessary connection between law and morality. That tradition was
committed for some time to eliminating
the conceptual space in which the common law tradition and its style of
reasoning operate.”
“Positivisme
legal dipahami sebagai sebuah tradisi politik yang menolak pembagian tesis,
yakni tesis mengenai tidak dibutuhkannya hubungan antara hukum dan moralitas. Tradisi
ini dipegang teguh selama jangka waktu tertentu untuk menghilangkan ruang
berpikir konseptual dimana tradisi dari hukum adat dan gayanya sangatlah beralasan
untuk digunakan”.
Permasalahan
tersebut juga sebagaimana yang disampaikan oleh David
A.J. Richards bahwa:
A.J. Richards bahwa:
“Natural law theorists and legal positivists have long
debated the separability of law and morals: whereas legal positivists maintain
that law is separable from morals, natural law theorists claim that any such
distinction is untenable. In contemporary jurisprudence, the leading expositor of positivism is Joseph
Raz, who follows H.L.A. Hart in arguing that laws are to be understood as norms
that can be distinguished from substantive ethical concepts. The opposite view,
reflected in Ronald Dworkin's interpretive theory of law as a coherent system
of principles, assumes that the construction of such a system
cannot be undertaken in isolation from the elaboration and analysis of substantive ethical concepts.
cannot be undertaken in isolation from the elaboration and analysis of substantive ethical concepts.
”Para
penganut hukum alam dan positivisme legal telah lama berdiskusi mengenai
pemisahan hukum dan moral, dimana para penganut positivisme legal bersikukuh
bahwa hukum harusnya terpisah dengan moral, sementara para penganut teori hukum
alam mengungkapkan bahwa pemisahan seperti itu tidak memiliki
kemanfaatan. Dalam yurisprudensi terkini, penganut positivisme yang sangat terkemuka adalah Joseph Raz yang mengikuti pemikiran H.L.A Hart yang berpendapat bahwa hukum terlalu dipahami sebagai sebuah norma yang dapat dipisahkan dari konsep etika asalnya. Pandangan yang berbeda, yang disampaikan oleh Roland Dworkin dengan pendangannya mengenai teori interpretasi hukum yang mengungkapkan bahwa sistem yang sejalan dengan berbagai prinsip, iamengasumsikan bahwa struktur dari sebuah sistem tidak dapat dijalankan dengan isolasi dari pemaparan dan analisa dari konsep etika asalnya “.
kemanfaatan. Dalam yurisprudensi terkini, penganut positivisme yang sangat terkemuka adalah Joseph Raz yang mengikuti pemikiran H.L.A Hart yang berpendapat bahwa hukum terlalu dipahami sebagai sebuah norma yang dapat dipisahkan dari konsep etika asalnya. Pandangan yang berbeda, yang disampaikan oleh Roland Dworkin dengan pendangannya mengenai teori interpretasi hukum yang mengungkapkan bahwa sistem yang sejalan dengan berbagai prinsip, iamengasumsikan bahwa struktur dari sebuah sistem tidak dapat dijalankan dengan isolasi dari pemaparan dan analisa dari konsep etika asalnya “.
Positivisme sosiologis dipelopori oleh Auguste Comte (1798 – 1857) dan H.Spencer
(1820–1903). Ia berusaha mencari pengertian kehidupan manusia
dan hidup bersama manusia dengan menggunakan metode ilmiah (sosiologi).
Auguste Comte Menyelidiki masyarakat Liberal (di
Perancis) untuk mencari pengertian tentang masyarakat dengan menemukan Hukum –
hukum yang menguasai kehidupan sosial dan yang bersifat menentukan bagi
hubungan – hubungan antara orang dalam negara.
Dalam
pandangan Positivis Yuridis, hukum hanya berlaku oleh karena mendapat bentuk
positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Hukum hanya ada hubungan dengan
bentuk formalnya dengan ini bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaedah–kaedah
hukum material.
Kaedah–kaedah
hukum material atau disebut juga isi hukum tergantung dari situasi etis dan
politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam suatu ilmu pengetahuan/
ajaran lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum.
Hukum positif dianggap tetap berlaku walaupun
bertentangan dengan hukum kodrat asal saja berguna demi kepentingan negara.
Positivis Yuridis ide–idenya tentang kedaulatan rakyat
yang satu–satunya sumber hukum adalah pembentukannya oleh negara.
.
H.
Esensi
positivisme hukum menurut H.L.A. Hart
a. Hukum adalah perintah.
b.
Tidak ada keutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral,hukum sebagaimana
diundangkan, ditetapkan, positif, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang
seharusnya diciptakan, yang diinginkan.
c.
Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu studi yang
penting, analisis atau studi itu harus dibedakan daristudi sejarah, studi
sosiologis dan penilaian kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial dan
fungsi-fungsi sosial.
d.
Sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan
yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah
ada sebelumnya.
e.
Penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakkan, melainkan harus dengan
jalan argumen yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti.
Daftar Pustaka
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954
Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989
Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper Torchbooks, USA, 1967
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996
Hans Kelsen , Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, 2010
Hans Kelsen ,Teori Hukum Murni, dasar-Dasar Hukum Murni, Penerbit Nusa Mendia,
2011
Hikmawanto Juwana, Teori Hukum, Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Prof. Jimly Asshiddiqie, SH, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit Sekjen
& Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006
W. Fredman, Teori & Filsafat Hukum, Rajawali Press-Jakarta, 1990
http://abdulganilatar.blogspot.com/2011/06/teori-hukum.html
http://www.scribd.com/doc/44211833/Teori-Hukum-Murni-Tugas-Teori-Hukum#download
Artikel bagus; ringkasan dari teori dan pemikir2 positivisme hukum yg lengkap.
BalasHapus