MASHAB SEJARAH HUKUM
Bagian Naskah Buku Filsafat Hukum
Dr,H.Zainal Asikin, SH, SU
A. Pengantar
Mazhab
Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Lahirnya mazhab ini
ditandai dengan diterbitkannya manuskrip yang ditulis oleh Friedrich Karl von
Savigny yang berjudul “Vom Beruf unserer
Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan
undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl von Savigny dipandang sebagai
perintis lahirnya mazhab Sejarah .
Kelahiran
mazhab yang dirintis oleh Savigny ini dipengaruhi oleh buku yang berjudul “L’ esprit des Lois” (Semangat Hukum)
karangan Montesquieu (1689-1755) yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku
tersebut, Montesquieu mengemukakan bahwa ada relasi yang kuat antara jiwa suatu
bangsa dengan hukum yang dianutnya . Hukum yang dilandasii dan dianut suatu
bangsa sangat dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang direpresentasikan oleh
nilai-nilai dan tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan social itu bersifat dinamis, sehingga berimplikasi pada
dinamisnya hukum. Dengan kata lain bahwa dinamisasi nilai-nilai dan tatanan
sosial menyebabkan dinamisasi pada hukum yang diperpegangi masyarakat.
Ajaran
Montesquieu mempunyai beberapa titik sentral, yaitu:
a. Mencari ke bawah kulit peraturan formal hukum untuk mendapatkan inspirasi serta hubungannya dengan bentuk pemerintahan dan dengan suatu substruktur sosial yang dinamis dari kelompok politik yang mendasarinya.
b. Penyelenggaraan hukum sebagai hal yang selalu ada secara wajar (the necessary relation deriving from the nature of things) yang akan menerangkan terjadinya berbagai jenis politik-yuridis karena sifat ketergantungannya pada fenomena-fenomena sosial lain seperti adat-istiadat, penduduk, agama, dan sebagainya.
c. Aksentuasi kajian pada persoalan bagaimana hubungan hukum dengan negara sebagai pelaksana hukum.
d.
Hukum sangat bergantung pada morfologi atau bentuk fisik lingkungan masyarakat,
sehingga kajiannya menggunakan metode fisika sosial.
e. Membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecenderungan metafisika yang dogmatis dan membawanya pada telaah yang lebih dekat pada perbandingan hukum.
f. Hukum
diselenggarakan oleh pembuat undang-undang dan membedakan hukum dengan adat
istiadat. Menurut Montesquieu, hukum itu diselenggarakan sementara adat
istiadat diilhamkan.
g. Hukum merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat.
h. Hukum
merupakan hasil dari sejumlah anasir-anasir yang inheren dalam masyarakat
sehingga hukum dapat dipahami dengan menelaah locus hukum tersebut berkembang.
i. Hukum bersifat relatif, karenanya hukum harus dipelajari dalam konteks latar belakang historis masyarakatnya.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awal abad ke-19, eksistensi teori hukum
positif yang sarat dengan unsur positivis mendapat posisi strategis dalam perkembangan pemikiran hukum.
Pengaruhnya jadi semakin kuat ketika konsep negara modern muncul bersamaan
dengan teori hukum pada saat itu. Dalam suatu negara modern, kekuasaan berada
di tangan negara sebagai suatu organisasi. Model kekuasaan seperti ini lekat
dengan konsep legitimasi. Bicara legitimasi berarti bicara pengakuan dan
dukungan. Pengakuan dan dukungan merupakan esensi dasar dari kedaulatan suatu
negara.
Kedaulatan yang dikenal dalam konsep
negara modern sudah tidak lagi berpusat di tangan penguasa. Kedaulatan dengan
bentuk seperti ini telah terbagi ke seluruh wilayah teritorial negara.
Kedaulatan ini tidak melekat pada rakyat sebagai nationals, tapi ia melekat
pada bangsa sebagai sebuah nation. Bentuk kedaulatan seperti inilah yang pada
perkembangannya membutuhkan seperangkat aturan untuk mengakui dan melindungi
kedaulatan suatu negara. Pada saat ini
pula betapa kehadiran hukum dianggap penting untuk meligitmasi kedaulatan Negara
itu.
Di bagian yang lain, situasi politik
dan kepentingan-kepentingan bercorak industrialis dan kapitalis mulai mewarnai
perkembangan negara dan tata hidup masyarakat . Kondisi dan situasi itu (pada
awal abad ke-19 ) melahirkan liberalisme yang menaungi kepentingan-kepentingan
individu. Liberalisme adalah paham yang menekankan pada kemerdekaan individu.
Oleh pihak-pihak tertentu, kepentingan-kepentingan yang dilandasi semangat
paham ini kemudian mulai diberi peluang untuk dilindungi melalui sistem hukum
suatu negara. Sistem hukum suatu negara yang dirancang untuk mengakomodir
liberalisme akhirnya menyebabkan asas-asas, substansi, bahkan doktrin yang
melandasi sistem hukum itu tidak lagi berpihak pada keadilan rakyat banyak dan
nasionalisme, tetapi mulai bergeser untuk melindungi kepentingan-kepentingan
individu yang dekat dengan kekuasaan negara.
Upaya untuk mengharmoniksan dua kepentingan sebagai konsekuensi dari
dinamika yang terjadi di dalam konsep negara modern ini bisa ditemukan dalam
teori Trias Politica Montesqueu. Lewat konsep ini, Montesqueu sebagai pemikir
politik berkebangsaan Perancis memperkenalkan suatu system dan konsep pemisahan kekuasaan
dan wewenang lembaga-lembaga negara. Salah satu dari tiga lembaga negara yang
wewenangnya diabstraksi Trias Politica Montesqueu adalah legislatif. Lembaga
ini punya wewenang untuk membuat peraturan negara. Peraturan yang dibuat
legislatif bentuknya tertulis, dan
disusun dalam suatu kitab undang-undang.
Model pembentukan peraturan seperti
itu sesuai dengan dalil-dalil yang dikenal dalam teori hukum positif adalah
pembentukan hukum oleh penguasa atau lembaga yang berwenang untuk itu.
Keberlakuannya yang terbatas dalam lingkup teritorial suatu negara dan hanya
berlaku pada saat tertentu menjadi sifat umum dari ciri-ciri hukum positif yang
kita kenal sampai saat ini.
Dalam teori hukum positif, hukum diidentikkan
dengan undang-undang. Tidak ada hukum di luar undang-undang. Aktivitas
menciptakan hukum seperti itu adalah praksis berada pada lembaga legislative,
demikian ajaran kodifikasi. Menurut ajaran kodifikasi, hukum adalah seperangkat
peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang yang tertuang dalam
suatu kitab. Ajaran ini menganggap hanya hukum yang tertulis dalam suatu kitab
yang bisa disahkan sebagai hukum. Di luar kitab tidak ada hukum.
Perkembangan mashab sejarah di Jerman
juga demikian dinamis. Jerman saat itu
terjebak dalam peperangan antara koalisi bersama Austria, Swedia dan Inggris
melawan koloni Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte. Napoleon dan
pasukannya baru saja diusir tentara Bavaria dari Jerman lewat sebuah peperangan
yang terjadi di Hanau pada 1813. Kondisi negara itu kacau balau. Begitu juga
kondisi hukumnya. Jerman sedang bingung untuk menentukan tata hukum yang akan
diberlakukan sebagai hukum nasional.
Salah satu solusi terhadap
problematika tata hukum Jerman dilontarkan oleh Anton Friedrich Justus Thibaut.
Thibaut adalah ahli hukum perdata dan musisi berkebangsaan Jerman yang saat itu
menjadi professor di Universitas Ruprecht Karl Heidelberg, sebuah universitas
tertua di Jerman yang terletak di kota Heidelberg.
Menurut Thibaut, sebagai salah satu
cara untuk mengisi kekosongan hukum di Jerman, negara itu memerlukan kodifikasi
dalam bidang hukum perdata. Untuk mengkonkritkan pendapatnya itu, Thibaut
kemudian mengusulkan kodifikasi hukum perdata Prancis versi kode Napoleon untuk
diberlakukan sebagai sistem hukum perdata Jerman. Usulan itu dipublikasikan
Thibaut dalam pamflet “Uber die
Notwendendigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutschland”
yang merupakan tanggapan atas kondisi hukum nasional Jerman sebagai luapan
patriotik Thibaut pasca diusirnya pasukan Napoleon dari Jerman pada 1813.
Adalah Friedrich Carl von Savigny
yang mengkritik usulan kodifikasi hukum perdata Prancis untuk diberlakukan di
Jerman. Jika ajaran kodifikasi yang menjadi dasar usulan Thibaut menganggap
hanya hukum yang tertulis dalam suatu kitab undang-undang yang diakui sebagai
hukum, von Savigny menanggapi Thibaut dengan dalil pendapat yang berbeda.
Menurut von Savigny, hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat. Bagi para sejarahwan, hukum adalah produk dari perjalanan
sejarah masyarakat. Kenapa harus hukum Prancis yang diterapkan di Jerman jika
rakyatnya punya landasan sejarah tata kehidupan sendiri. Alasannya sederhana,
namun berbau nasionalis. Saat itu von Savigny hanya ingin memberi tempat yang
terhormat bagi hukum asli rakyat Jerman di negeri sendiri. Ia ingin agar hukum
asli rakyat Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman.
Peristiwa
itu telah dicatat sebagai titik awal pembentukan Mazhab sejarah. Dari Jerman,
von Savigny sukses meletakkan dasar bagi perkembangan dan penyebarluasan
pengaruh gagasan dan pemikiran mazhab sejarah. Lewat kritik itu juga, von
Savigny sukses membuat Jerman tidak punya kodifikasi hukum perdata selama
hampir 100 tahun
Jadi selain buku Montesquieu,
kelahiran mazhab Sejarah juga dilatari oleh paham nasionalisme yang mulai
timbul pada abad ke-19. Semboyan “Deutsch
uber alles” mengekspresikan tingginya nasionalisme masyarakat Jerman yang
sekaligus menjadi antitesa dari konsep Thibaut yang menyerukan kodifikasi hukum
Jerman dalam perundang-undangan dengan patron kodifikasi hukum Prancis (Code
Napoleon) . Seruan Thibaut tersebut menurut Savigny sangat tidak sejalan dengan
jiwa rakyat (volksgeist) Jerman karena sejatinya, jiwa rakyat Jerman sangat
berbeda dengan jiwa rakyat Prancis. Inilah yang kemudian mendorong Savigny
untuk mengembangkan ajarannya tentang hukum, yaitu “Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke” (hukum
tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Karena itu,
menurut Savigny, masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda,
sehingga hukum masing-masing bangsa juga berbeda. Implikasinya, tidak ada hukum
yang berlaku secara universal dan substansi hukum sangat ditentukan oleh
pergaulan hidup dan pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat .
B. Pandangan Mazhab Sejarah tentang Hukum
Mazhab
sejarah memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami dengan menelaah kerangka
atau struktur kesejarahan (historisitas) dimana hukum tersebut timbul . Hukum
merupakan tatanan yang lahir dari pergaulan masyarakat, di dalamnya tercakup
nilai-nilai dan tatanan yang terbentuk secara alamiah dan senantiasa mengalami
dinamisasi seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat
tersebut.
Friedrich
Karl von Savigny, sebagai perintis mazhab ini mengemukakan bahwa hukum
merupakan representasi kesadaran hukum masyarakat (voklgeist) . Hukum,
sejatinya berasal dari adat-istiadat, sejumlah keyakinan atau kepercayaan dan
bukan berasal dari pembuat undang-undang (legislator). Pandangan Savigny ini
dilatari oleh sikap kontra produktifnya terhadap kodifikasi hukum perdata
Jerman yang menjadikan hukum Prancis (Code Napoleon) sebagai patron. Padahal,
menurutnya, kodifikasi tersebut sangat sering bertentangan, bahkan secara
diametral, dengan semangat dan jiwa (kesadaran hukum) masyarakat Jerman. Inilah
yang kemudian menjadikan Savigny berpikir bahwa hukum bukan berasal dari
pembuat undang-undang, melainkan berasal dari jiwa rakyat yang luhur dan
dinamis .
Savigny
berangkat dari satu keyakinan bahwa masing-masing bangsa memiliki jiwa
(volksgeist) yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terlihat dari perbedaan
kebudayaan masing-masing bangsa, baik dari segi kooptasi nilai-nilai maupun
perwujudannya semisal bentuk pergaulan, etika pergaulan, dan sebagainya.
Ekspresi perbedaan tersebut juga tampak pada eksistensi hukum suatu bangsa yang
bersifat temporal dan spasial. Masing-masing bangsa memiliki tatanan hukumnmya
sendiri, dan berbeda secara substantif dengan hukum yang dimiliki bangsa lain .
Substansi
ajaran mazhab Sejarah dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hukum tidak dibuat melainkan
ditemukan
Hukum
sesungguhnya bukan sesuatu yang dengan
sengaja dibuat oleh pembuat hukum. Hukum pada dasarnya tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat. Karenanya, hukum bersifat organis .
Hukum tidak dengan sengaja disusun oleh pembentuk hukum . Hukum akan senantiasa
berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial. Proses demikian merupakan
proses yang alami atau tidak disadari karena menjadi bagian internal dalam
lingkup pergaulan masyarakat.
Menurut von Savigny, yang disebut
hukum bukan hanya hukum yang ditulis dalam kitab undang-undang. Hukum juga
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dari Jerman, pengaruh mazhab ini
kemudian mulai menyebar ke belahan dunia lain. Para ahli hukum penganut mazhab
sejarah di Indonesia yang menentang unifikasi hukum Indonesia oleh kaum
kolonial Belanda berhasil memberi tempat bagi hukum adat yang telah lama hidup
di tengah kehidupan rakyat Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi golongan
pribumi di tanah air sendiri.
2. Undang-undang tidak
berlaku secara universal
Undang-undang,
sebagai dianggap representasi hukum suatu bangsa bersifat temporal dan spasial.
Undang-undang hanya berlaku di suatu bangsa atau kelompok bangsa tertentu
(semisal persekutuan) dan pada kurun waktu tertentu. Oleh Savigny, setiap
bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa,
adat-istiadat, dan konstitusi yang khas . Curzon mengemukakan:
“Law is a special product of people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it dies away when a people loses its individuality...Law have no universal validity; the apply solely to the nations in which they are created”
“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat (punahnya masyarakat)...Hukum tidak berlaku secara universal; penerapannya terbatas pada bangsa dimana hukum itu dibuat”.
“Law is a special product of people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it dies away when a people loses its individuality...Law have no universal validity; the apply solely to the nations in which they are created”
“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat (punahnya masyarakat)...Hukum tidak berlaku secara universal; penerapannya terbatas pada bangsa dimana hukum itu dibuat”.
Dalam
konteks Indonesia misalnya, undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif
dengan eksekutif tidak dapat diberlakukan secara universal ke bangsa lain.
Undang-undang tersebut hanya berlaku di Indonesia sendiri. Selain itu,
undang-undang tersebut memiliki batas berlaku (temporal) karena substansinya
tidak sesuai lagi dengan keinginan dan/atau kesadaran hukum masyarakat.
Karenanya, amandemen perundang-undangan menjadi keniscayaan agar
perundang-undangan tidak berseberangan dengan jiwa rakyat (volksgeist).
3. Hukum merupakan perwujudan dari jiwa
rakyat atau kesadaran hukum masyarakat (volksgeist)
Savigny,
mengemukakan:
“...there was an organic
connection between law and people’s nature and character as developed through
history. The true living law is customary law; it does not emerge from the arbitrary
will od a law-giver, but from internal, silently operating forces within the
community. Law is rooted in a people’s history; the roots are fed by the
coneciounsness, the faith and customs of the people”.
“...terdapat
hubungan yang organis (dinamis) antara hukum dengan kehidupan dan karakter
masyarakat sebagai tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan masyarakat
tersebut. Hukum yang hidup adalah hukum adat; hukum tersebut tidak dihasilkan
oleh pembuat hukum (legislator) melainkan dari masyarakat itu sendiri, ditegakan
oleh masyarakat itu pula. Hukum berakar dalam sejarah masyarakat, dibangun atas
dasar kesadaran penuh, keyakinan, dan adat istiadat yang dianut masyarakat. ”
G.
Puchta, salah seorang murid Savigny mengemukakan bahwa semua hukum merupakan perwujudan
dari kesadaran umum masyarakat (volksgeist) . Lebih lanjut, Puchta, sebagai
dikutip oleh Satjipto Rahardjo dari Dias, mengemukakan:
“Hukum
itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan
kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan
kebangsaannya.”
Savigny
menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas, dia menolak
paradigma bahwa hukum itu dibuat, dan secara diametral dia menyatakan bahwa
hukum itu ditemukan di masyarakat. Hukum ada di masyarakat, dan karenanya
pembuatan undang-undang tidak begitu penting. Inilah yang oleh sebagian ahli
dipandang sebagai pesimisme hukum, karena menolak upaya luhur manusia untuk
menciptakan hukum yang akan mengarahkan manusia ke masa depan yang lebih baik,
masa depan yang berlandaskan pada keadilan .
Satjipto
Rahardjo memberikan contoh yang sangat sejalan dengan konsep mazhab Sejarah
ini. Beliau menuturkan:
“Pada
tanggal 2 Agustus 1985, sebuah Jumbo Jet Delta Airlines jatuh di Dallas dan
menewaskan 137 orang. Segera sesudah malapetaka tersebut para lawyers dari
kedua pihak, yaitu dari pihak korban dan perusahaan penerbangan, terjun ke
lapangan dengan begitu cepat dan agresif. Suatu peperangan sengit dengan saling
menuduh secara pahit dan imoral merupakan pemandangan yang menyusul tahun-tahun
berikutnya. Ilustrasi yang bagus tentang cara berhukum di Amerika
Serikat...Sepuluh hari sesudah peristiwa di Dallas tersebut, sebuah Jumbo Jet
milik Japan Airlines jatuh di Gunung Ogura di Kepulauan Honshu. Tidak ada
lawyers yang dengan agresif turun ke tempat kejadian, bagaikan burung gagak
melihat bangkai. Hari-hari yang menyusul hanya diisi dengan suasan duka yang
mendalam. Perusahaan Japan Airlines, secara penuh berusaha untuk mengevakuasi
dan menolong baik korban maupun keluarganya. Sesudah semua beres, Presiden
Japan Airlines menghadap kepada deretan korban dan keluarganya, membungkuk
dalam-dalam, meminta maaf dan akhirnya mengundurkan diri dari jabatan.
Anak-anak dari korban juga mendapat beasiswa dari perusahaan penerbangan
tersebut. Itulah potret cara berhukum di Jepang”.
Apa
yang dikemukakan Satjipto tersebut merupakan representasi dari konsep
volksgeist sebagai digagas mazhab Sejarah. Perbedaan cara berhukum antara AS dengan
Jepang dilatari oleh faktor kesejarahan mereka. Perilaku agresif dan cenderung
imoral yang ditunjukkan oleh lawyers AS menunjukkan bahwa jiwa rakyat mereka
didasarkan pada rasionalisme; suatu konstruk berpikir yang didasarkan pada
kebenaran akal, sehingga aspek nurani cenderung terabaikan. Ini ditunjukkan
dengan sikap saling curiga, menuduh satu sama lain, dan keinginan untuk
menjatuhkan pihak lawan. Sementara di Jepang, kejadian tersebut ditanggapi
secara positif, dengan berlandaskan pada keyakinan, ketulusan dan instrospeksi
diri. Masyarakat Jepang dikenal sebagai bangsa yang mendasarkan pikiran dan
perilakunya pada kokoro (nurani). Karenanya, tidak mengherankan jika terjadi
kasus hukum seperti tersebut di atas, maka secara sukarela, masing-masing pihak
berusaha saling menolong, memaafkan, dan berupaya menempuh rekonsiliasi
semaksimal mungkin, karena tujuan hukum tertinggi mereka adalah kedamaian.
Inilah
yang kemudian dipahami sebagai volksgeist atau jiwa rakyat. Jiwa suatu bangsa
sangat menentukan bagaimana cara berhukum mereka, bagaimana mereka melihat,
menginternalisasikan, dan mengaplikasikan aturan-aturan hukum dalam kehidupan
sehari-hari. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya dan karenanya,
benar argumentas mazhab Sejarah, bahwa hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan
dan bersumber dari jiwa rakyat.
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah suatu bangsa
Hukum,
secara a priori tidak dapat dipisahkan dari sejarah suatu bangsa. Hukum yang
berlaku di suatu negara harus dilihat dalam konteks sejarahnya. Karenanya,
hukum yang tidak bersumber dari sejarah atau jiwa bangsa dianggap bukan hukum
karena hanya akan menciptakan ketidakpastian dan bukan tidak mungkin justru
menggiring ketidakadilan dalam masyarakat. Memahami hukum sebagai suatu kajian
akademik-dialektis harus berlandaskan pada kajian historis-sosiologis, karena
sejatinya sejarah masyarakat merupakan akar dari hukum yang berlaku pada
masyarakat tersebut.
Inti mazhab sejarah von Savigny
berpangkal pada pendapat yang menyatakan bahwa di dunia ini terdapat
bermacam-macam bangsa. Tiap-tiap bangsa tersebut punya Volkgeist (jiwa rakyat)
sendiri-sendiri. Jiwa rakyat ini berbeda-beda, baik menurut waktu dan menurut
tempat. Jadi, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal dan
pada semua waktu, kata von Savigny. Hukum, menurut von Savigny, sangat
bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat. Isi dari hukum itu ditentukan oleh
pergaulan hidup manusia dari masa-ke-masa. Hukum menurut von Savigny berkembang
dari suatu masyarakat sederhana yang pencerminannya nampak dalam tingkah laku
semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks di mana kesadaran
hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan ahli hukumnya.
Inti dari mazhab sejarah von Savigny
diurainya dalam buku“Von Beruf unserer
Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschsft” (tentang tugas jaman kita
bagi pembentuk undang-undang dan ilmu hukum).
5. Aturan-aturan hukum (undang-undang)
yang bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat (volksgeist) harus
dibatalkan karena sifat aturan hukum tidak lebih penting dari kesadaran hukum
tersebu
Adalah
merupakan sesuatu yang lumrah atas penolakan sekelompok masyarakat terhadap
aturan perundang-undangan tertentu karena didasari oleh adanya pertentangan
antara aturan-aturan hukum tersebut dengan kesadaran hukum masyarakat.
Pertentangan tersebut, baik secara linier maupun diametral akan menimbulkan
friksi secara tajam di masyarakat. Selain penolakan, tidak menutup kemungkinan
adanya upaya untuk menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena sekali
lagi, jiwa rakyat adalah supremasi tertinggi, dan karenanya aturan hukum harus
tunduk dengan jiwa rakyat tersebut.
Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah atas penolakan
sekelompok masyarakat terhadap aturan perundang-undangan tertentu karena
didasari oleh adanya pertentangan antara aturan-aturan hukum tersebut dengan
kesadaran hukum masyarakat. Pertentangan
tersebut, baik secara linier maupun diametral akan menimbulkan friksi secara
tajam di masyarakat. Selain penolakan, tidak menutup kemungkinan adanya upaya
untuk menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena sekali lagi, jiwa rakyat
adalah supremasi tertinggi, dan karenanya aturan hukum harus tunduk dengan jiwa
rakyat tersebut.
Menilik lebih jauh tentang ajaran mazhab Sejarah, volksgeist
(jiwa rakyat) merupakan pisentrum
paradigma yang dibangun dalam suatu konsep abstrak. Volksgeist menjadi teramat
penting, terutama karena konsep ini menurut mazhab Sejarah adalah akar dari
hukum itu sendiri. Hukum yang baik tidak akan terbangun jika volksgeist tidak
dijadikan sebagai patron dalam perumusan dan pelaksanaannya.
Sebagaiman pendapat Charles Stamford, yang dikutip oleh
Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa hukum yang dipenuhi dengan ketidakpastian
(ketidakteraturan) tidak akan mungkin dapat mewujudkan ketertiban yang
sempurna, baik dalam hukum itu sendiri maupun di masyarakat.
Pendapat C.Sampford ini dikenal dengan “the disorder of law”
atau ketidakteraturan hukum. Sampford melihat bahwa hukum tidak cukup (not
suficient) untuk dianggap sebagai sebuah sistem, karena antara satu aspek
dengan aspek lainnya tidak saling berpadu secara linier dan reliabel. Misalnya,
koruptor yang seharusnya dihukum berat (sesuai amanat undang-undang) dalam
kenyataannya ternyata banyak yang dihukum “ringan” bahkan tidak jarang divonis
bebas, meskipun secara formil-materil terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Belum lagi perilaku yuris yang sangat jauh dari idealitas
aturan-aturan hukum, yang tidak menjadikan kode etik profesi sebagai patronase
dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya; yaitu penegakan
supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima.
Perundangan-undangan sebagai the ultimate law instrument
(instrumen utama hukum) banyak yang bertentangan dengan kehendak dan keinginan
masyarakat (kesadaran hukum masyarakat). Peraturan-peraturan yang termaktub
dalam undang-undang tidak jarang menabrak aspirasi masyarakat akan sebuah
tatanan yang berkeadilan.
Memang, harus diakui undang-undang sejatinya bukanlah produk
hukum, melainkan produk politik, akan tetapi kenyataan tersebut tidak boleh
secara a priori dijadikan sebagai justiikasi atas kondisi demikian. Sekalian
aturan selaiknya mendasarkan diri pada apa yang diinginkan oleh masyarakat,
sehingga pada penerapannya tidak menemui karang keras.
Mazhab Sejarah melihat hukum sebagai entitas yang
organis-dinamis. Hukum bagi mazhab ini, dipandang sebagai sesuatu yang natural,
tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum bukanlah
sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring
dengan perubahan tata nilai di masyarakat.
Hukum bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya
undang-undang tidak begitu penting. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari
hukumnya dan karenanya, benar argumentasi mazhab Sejarah, yaitu hukum tidak
dibuat, melainkan ditemukan dan bersumber dari jiwa rakyat.
c.
Mazhab
Sejarah dalam Pembangunan Hukum Nasional
Menilik
lebih jauh tentang ajaran mazhab Sejarah, volksgeist (jiwa rakyat) merupakan
episentrum paradigma yang dibangun dalam suatu konsep abstrak. Volksgeist
menjadi teramat penting, terutama karena konsep ini menurut mazhab Sejarah
adalah akar dari hukum itu sendiri. Hukum yang baik tidak akan terbangun jika
volksgeist tidak dijadikan sebagai patron dalam perumusan dan pelaksanaannya.
Pembangunan
hukum nasional sebagai salah satu sub tema dalam makalah ini coba dibahas dan
dilakukan semacam dekonstruksi paradigmatik. Hukum nasional saat ini penulis
anggap masih jauh dari kondisi ideal, masih belum cukup (not sufficient) untuk
mewujudkan keadilan hukum tertinggi. Penulis mengacu pada beberapa argumentasi.
Pertama,
mengutip pendapat Charles Stamford, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo ,
yang mengatakan bahwa hukum yang dipenuhi dengan ketidakpastian
(ketidakteraturan) tidak akan mungkin dapat mewujudkan ketertiban yang
sempurna, baik dalam hukum itu sendiri maupun di masyarakat. Pendapat Sampford
ini dikenal dengan “the disorder of law” atau ketidakteraturan hukum. Sampford
melihat bahwa hukum tidak cukup (not suficient) untuk dianggap sebagai sebuah
sistem, karena antara satu aspek dengan aspek lainnya tidak saling berpadu
secara linier dan reliabel. Misalnya, koruptor yang seharusnya dihukum berat
(sesuai amanat undang-undang) dalam kenyataannya ternyata banyak yang dihukum
“ringan” bahkan tidak jarang divonis bebas, meskipun secara formil-materil
terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Belum lagi perilaku yuris yang sangat
jauh dari idealitas aturan-aturan hukum, yang tidak menjadikan kode etik
profesi sebagai patronase dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung
jawabnya; yaitu penegakan supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima.
Kedua,
perundangan-undangan sebagai instrumen utama hukum (the ultimate law
instrument) banyak yang bertentangan dengan kehendak dan keinginan masyarakat
(kesadaran hukum masyarakat). Peraturan-peraturan yang termaktub dalam
undang-undang tidak jarang menabrak aspirasi masyarakat akan sebuah tatanan
yang berkeadilan. Memang, harus diakui undang-undang sejatinya bukanlah produk
hukum, melainkan produk politik, akan tetapi kenyataan tersebut tidak boleh
secara a priori dijadikan sebagai justiikasi atas kondisi demikian. Sekalian
aturan selaiknya mendasarkan diri pada apa yang diinginkan oleh masyarakat,
sehingga pada penerapannya tidak menemui karang keras. Ambil contoh, RUU
tentang Perkawinan yang baru memuat aturan tentang pemidanaan bagi pelaku nikah
siri (nikah yang tidak tercatat di KUA atau nikah di bawah tangan) dan nikah
mut’ah (nikah kontrak). Pelaku kedua bentuk nikah tersebut akan dikenakan
sanksi pidana di kisaran 3 – 6 bulan penjara dan/atau denda minimal Rp.
5.000.000. Belum lagi disahkan, RUU ini telah mendapat kecaman dari berbagai
pihak dengan berbagai dalih. Sebut saja, perzinaan akan makin marak, melanggar
hak konstitusional individu untuk menikah, bertentangan dengan ajaran Islam,
dan sebagainya. Diakui atau tidak, RUU ini sebanarnya punya maksud yang baik,
yaitu melindungi harkat dan martabat wanita dan anak-anak, yang sejauh ini
diklaim sebagai pihak yang paling dirugikan atas kedua bentuk praktik nikah
tersebut. Pun demikian, dasar argumantasi dimaksud tidak sepenuhnya diterima oleh
masyarakat, bahkan secara diametral menentang habis-habisan draft RUU tersebut.
Apa yang salah dengan RUU ini? Tampaknya, pengkajian secara massif di wilayah
filosofis-sosiologis serta share informasi yang belum signifikan antara
pemerintah yang menjadi akar masalahnya. Karena, sekali lagi undang-undang ini
dibuat untuk mengatur kepentingan masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat
selaiknya dijadikan sebagai patron.
Ketiga,
penegakan hukum oleh yuris banyak menunjukkan indikasi yang “tidak humanis”
alias “tidak bijaksana”. Bagaimanapun, masyarakat adalah elemen terpenting
dalam penegakan hukum dan, karenanya, masyarakat harus ditempatkan pada posisi
yang laik. Yuris tidak seharusnya memperlakukan masyarakat secara bias humanis,
melainkan harus melihat apa keinginan mereka, harapan-harapan, dan kebangunan
relasi resiprokal antara masyarakat dengan yuris. Dengan mengacu pada
kondisi-kondisi demikian, jiwa rakyat (volksgeist) akan menjadi bingkai yang
mengawal penegakan hukum dan mengarahkan kebangunan relasi yang sinergi antara
yuris dengan masyarakat sebagai bagian penguatan hukum (empowering of law).
Ketiga
argumentasi dasar tersebut yang dikemukakan penulis pada dasarnya merupakan
pengejawantahan poros pemikiran mazhab sejarah, yaitu jiwa rakyat (volksgeist)
yang dinamis. Jiwa rakyat, dalam konteks ini dijadikan sebagai aras misi
“dekonstruksi” hukum nasional. Dekonstruksi dimaksud tidak secara frontal
merombak dan meruntuhkan tatanan hukum yang telah ada, melainkan evaluasi dan
perbaikan pada beberapa sisi masing-masing sub sistem hukum, yaitu substansi,
struktur, dan kultur hukum. Upaya dekonstruksi ini lebih kepada upaya untuk
memberdayakan hukum (empowerment) agar hukum benar-benar dapat menjadi panglima
bagi pencapaian visi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini
pulalah yang oleh Satjipto Rahardjo dibahasakan sebagai negara hukum yang
membahagiakan rakyatnya, karena menjadikan rakyat sebagai subjek utama yang
terhormat dalam pembangunan hukum nasional.
Dalam konteks ke Indonesiaan , hukum
tidak tertulis di Indonesia sejak jaman VOC hingga pemerintahan Raffles di
Hindia Belanda, kedudukan hukum adat Indonesia (Hindia Belanda) dianggap tidak
sejajar dengan derajat hukum Eropa yang berlaku bagi kaum kolonial
Belanda.
Pada 1838, Belanda melakukan
kodifikasi terhadap semua aturan hukum, terutama dalam bidang hukum perdata dan
hukum dagang. Dalam hukum dikenal asas konkordansi. Asas ini yang mendasari
pemerintah kolonial Belanda untuk memberlakukan unifikasi hukum di daerah
jajahannya termasuk Hindia Belanda. Ide ini ditentang Van Der Vinne dengan
dalil bahwa sebagian besar penduduk Hindia Belanda beragama islam dan memegang
teguh adat istiadat mereka. Bagi Van Der Vinne, adalah suatu kejanggalan jika
hukum eropa versi Belanda diterapkan di Hindia Belanda.
Pada 1848, kodifikasi hukum perdata
dan hukum dagang telah selesai dikerjakan. Tugas ini dikerjakan H.L Wichers,
suksesor dari Paul Scholten, seorang ahli hukum Belanda yang ditunjuk untuk
mengganti Hageman yang dinilai pemerintah gagal menjalankan tugas kodifikasi
hukum Belanda. Pada 1904, demi kepentingan keamanan dan ekonomi di Indonesia,
pemerintah Belanda mengusulkan suatu RUU untuk mengganti hukum adat di Hindia
Belanda dengan hukum Eropa. Usul itu dimentalkan Van Vollenhoven. Van
Vollenhoven tidak setuju dengan kodifikasi dan unifikasi hukum di Hindia
Belanda. Ia berdalil, “tidak mungkin menerapkan suatu hukum yang
hanya berlaku bagi sebagian kecil penduduk dalam suatu bangsa.”
Pemerintah Belanda menyikapi dalil
Van Vollenhoven itu. Pada 1927, van Vollenhoven ditugaskan Pemerintah Belanda
untuk melakukan pencatatan sistematis terhadap hukum adat Hindia Belanda
melalui suatu penelitian yang dikerjakannya di Leiden. Sepanjang karirnya
sebagai guru besar hukum adat Hindia Belanda di Universitas Leiden, Van
Vollenhoven tercatat hanya dua kali mengunjungi Hindia Belanda, yaitu pada 1907
dan 1923. Pada 1 Januari 1926, lembaga legislatif Belanda mengakui dan
mempertahankan eksistensi hukum adat Hindia Belanda melalui Pasal 131 ayat 2b
IS yang bunyinya: “bagi golongan Bumiputera, timur asing, berlaku peraturan
hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.” Berkat van Vollenhoven, hukum adat Hindia
Belanda diperlakukan sebagai hukum yang berlaku bagi golongan bumiputera asli.
Pengaruh Mazhab sejarah yang dianut van Vollenhoven telah berhasil menempatkan
hukum kebiasaan rakyat di Indonesia sejajar dengan undang-undang yang
D. Kelemahan Mashab Sejarah
Banyak penulis menganggap pemikiran
Savigny, tidak dapat dimanfaatkan dalam konteks hukum modern karena sudah
demikian kompleksnya permasalahan suatu rakyat di era modern ini. Apalagi
negara yang sudah mengalami gejala globalisasi.
Menurut
hemat penulis, tetap bermanfaat teori Savigny dalam melihat hukum yang muncul
dari tingkah laku individu dalam masyarakat. Tidakkah kita sadar bahwa tidak
akan pernah terakui yang namanya “Hukum Adat” tanpa melalui riset dari beberapa
pakar hukum seperti Van Volenhoven dan Ter Haar, dan hal itu melihat Hukum sebagai
pencerminan dari jiwa Rakyat.
Tidak jauh berbeda dengan para ahli sosiologi juga amat berutang budi dengan
Savigny “karena ia membukakan mata bagi peneliti sosiologi bahwa sistem hukum
sesungguhnya tidak terlepas dari sistem sosial yang lebih luas, di mana ke dua
sistem itu saling mempengaruhi.”
Kelemahan dari teori Savigny, yakni
tidak mengakui pentingnya kodifikasi hukum. Padahal dalam masyarakat modern,
ketentuan hukum yang tertulis diperlukan demi terwujudnyaa kepastian hukum.
Terutama untuk menghindari tindakan kesewenang-wenangan dari kekuasaan yang
absolut.
Kelemahan lain bahwa dengan mengakui
hanya hukum yang hidup di tengah masyarakat dan mengabaikan arti pentingnya hukum
kodifikasi, maka dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Sebab seringkali hukum yang hidup di tengah masyarakat
berbentuk hukum tidak tertulis, tersimpan dalam memorie pada pemangku hukum,
dan para pemangku hukum tidak tertulis lambat laun meninggal dan dilanjutkan
oleh pemangku hukum berikutnya yang memiliki perbedaan pemahaman dan tafsir
atas hukum tidak tertulis itu, sehingga pada suatu saat dan suatu tempat muncul
tafsir tafsir hukum adat yang tidak sama atas sebuah masalah.
Oleh
karena itu menarik jika kita mengamati sumbangan dari hasil penelitian Sir
Henry Maine (1822-1888) yang mengemukakan “bahwa hubungan hukum antara
para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang
tertuang dalam suatu bentuk yang disebut kontrak, dibuat secara sadar dan
sukareka oleh pihak-pihak yang berkenaan. Di sisi lain hukum sendiri pada
masyarakat berkembang melalui tiga tahapan yakni fiksi, equity dan perundangan. Artinya,
Maine di sini tidak mengenyampingkan peranan perundangan dan kondifikasi pada
masyarakat modern.
Anonim, Sejarah Hukum Adat Indonesia, http://mklhadat.blogspot.com (tanggal akses 22 Sept 2010)
“Cornelis van Vollenhoven”, Wikipedia, The Free Encyclopedia, tanggal akses 21 September 2010.
“Jurisprudence”, Wikipedia, The Free Encyclopedia, tanggal akses 22 Sept 2010.
Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, 2004.
Rusli Muhammad, Kajian Kritis Terhadap Teori Hukum Positif, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 5, No. 2 Tahun 2006: 221-236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar