MASHAB UTILITY
Naskah Buku Filsafat Hukum
Dr H Zainal Asikin,SH,SU
Utilitarianisme secara etimologi
berasal dari bahasa Latin dari kata Utilitas, yang berarti useful, berguna,
berfaedah dan menguntungkan. Jadi paham ini menilai baik atau tidaknya, susila
atau tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang
didatangkannya (Salam, 1997: 76). Sedangkan secara terminology utilitarianisme
merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang
berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah
yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan. Karena itu, baik buruknya
perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan
menguntungkan atau tidak (Mangunhardjo, 2000: 228).
Menurut Jhon Stuart Mill sebagaimana
dikutip Jalaluddin Rakhmat Utilitarianisme adalah aliran yang menerima kegunaan
atau prinsip kebahagiaan terbesar sebagai landasan moral, berpendapat bahwa
tindakan benar sebanding dengan apakah tindakan itu meningkatkan kebahagiaan,
dan salah selama tindakan itu menghasilkan lawan kebahagiaan. Sedangkan
kebahagiaan adalah kesenangan dan hilangnya derita; yang dimaksud dengan
ketakbahagiaan adalah derita dan hilangnya kesenangan (Rakhmat, 2004: 54).
Utilitarianisme merupakan pandangan hidup bukan teori tentang wacana moral.
Moralitas dengan demikian adalah seni bagi kebahagiaan individu dan sosial. Dan
kebahagiaan atau kesejahteraan pemuasan secara harmonis atas hasrat-hasrat
individu (Aiken, 2002: 177-178).
1. Utilitarianisme adalah sebuah teori
yang diusulkan oleh David Hume untuk menjawab moralitas yang saat itu mulai
diterpa badai keraguan yang besar, tetapi pada saat yang sama masih tetap
sangat terpaku pada aturan2 ketat moralitas yang tidak mencerminkan perubahan2
radikal di zamannya.
2. Utilitarianisme secara utuh
dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James
Mill dan John Stuart Mill. Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori
Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan
(kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah
satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan
intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau
masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya
untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu,
Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas
Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility).
3. Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan,
kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang
menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua
orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh
karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga
merupakan ukuran moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan
cara’.
4. Bentham memperkenalkan metode untuk
memilih tindakan yang disebut dengan utility calculus, hedonistic
calculus, atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus
dijatuhkan pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan
kenikmatan daripada penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah
kenikmatan ditentukan oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang,
produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak diikuti oleh
perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).
5. Para utilitarian menyusun argumennya
dalam tiga langkah berikut berkaitan dengan pembenaran euthanasia (mercy
killing):
(1). Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling
banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
(2). Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang
paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa
dicapai melalui euthanasia.
(3). Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan,
euthanasia dapat dibenarkan secara moral.
Sekalipun mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan
agama, Bentham mengesankan bahwa agama akan mendukung, bukan menolak,
sudut-pandang utilitarian bilamana para pemeluknya benar-benar memegang
pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.
Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen2
saintifik tertentu yang melibatkan binatang, lantaran kebahagiaan atau
kenikmatan harus dipelihara terkait dengan semua makhluk yang bisa
merasakannya—terlepas apakah ia mukhluk berakal atau tidak. Lagi2, buat mereka,
melakukan hal yang menambah penderitaan adalah tindakan imoral.
- Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi berikut: Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar/baik atau salah/jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi2 atau akibat2nya. Kedua, dalam menilai konsekuensi2 atau akibat2 itu, satu-satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan2 yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang penderitaan. Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam penilaian dan kalkulasi untuk memilih tindakan.
- Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan itu adalah hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan Hedonisme. Dan Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik bahwa kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam kehidupan. Istilah Hedonisme sendiri beasal dari kata Yunani yang bermakna kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme percaya bahwa manusia seharusnya mencari berbagai kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang bijak harus menghindari kesenangan2 yang akhirnya akan berujung pada penderitaan.
- Para penggugat Utilitarianisme mengajukan sejumlah keberatan. Antara lain, Asas Kegunaan itu sering bertentangan dengan aturan2 moral yang sudah mapan, seperti Jangan Berbohong, Jangan Mencuri, Jangan Membunuh.
- Kedua, Utilitarianisme cenderung mengunggulkan Asas Kegunaan (the Principle of Utility) atas Asas Keadilan atau Hak-hak seseorang. Misalnya, bila ada dua pihak yag bertikai di depan hukum. Salah satunya lebih kuat dan berkuasa daripada yang lain, sehingga kekalahan pihak yang lebih berkuasa akan mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan yang lebih besar pada pihak lawan dan orang2 di sekitarnya; kaum Utilitarian akan memenangkan pihak yang lebih kuat demi mencapai sesedikit mungkin penderitaan, sekalipun untuk itu asas keadilan atau hak seseorang harus dikorbankan.
- Gugatan lain: karena Utilitarianisme secara eksklusif mengambil pertimbangan tentang konsekuensi yang akan terjadi, maka pandangannya selalu melupkan masa lalu. Misalnya, bila seseorang berjanji kepada adiknya untuk melakukan sesuatu, lalu mendadak dia harus mengerjakan sesuatu lain yang juga sama2 penting dengan janji tersebut, tetapi pekerjaan itu lebih menyenangkan baginya, maka kaum utilitarian akan memilih untuk melanggar janji itu. Dengan demikian, kaum utilitarian mengabaikan apa yang disebut dengan kawajiban2 moral.
- Untuk menjawab gugatan2 itu, kaum Utilitarian membedakan Utilitarianisme-Tindakan (Act-Utilitarianism) dengan Utilitarianisme-Kaidah (Rule-Utilitarianism). Utilitarianisme-Kaidah berpijak pada pandangan bahwa ‘Semua aturan perilaku umum yang cenderung memajukan kebahagiaan terbesar bagi orang terbanyak’ harus dikukuhkan. Jadi, dalam kasus aturan Jangan Berbohong, Utilitarianisme-Kaidah menyatakan bahwa tindakan yang berdasarkan aturan moral ini lebih sering menghasilkan konsekuensi kebahagiaan ketimbang Berbohonglah. Dengan demikian, aturan Jangan Berbohong sesuai dengan Utilitarianisme-Kaidah.
- Namun, para penggugat kembali menyatakan bahwa gagasan Utilitarianisme-Kaidah terbalik dalam menilai banyak hal. Misalnya, persahabatan adalah sesuatu yang baik dan benar, sekalipun seringkali ia tidak menyenangkan atau membuat kita menderita. Kita memiliki sahabat dan menghargai persahabatan karena memang itulah tindakan yang baik dan benar, sekalipun kita tidak tahu konsekuensi atau akibat dari persahabatan kita. Jadi, terbalik dengan gagasan Utilitarianisme yang mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan, dalam situasi ini kita pertama-tama melihat bahwa persahabatan itu baik dan kita bahagia karena mengerjakan hal yang baik, dan bukan kita mencari sahabat karena dengan persahabatan itu kita dapat mencapai kebahagiaan.
- Selain itu, pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh kaum Utilitarian adalah: Apakah hakikat kebahagiaan? Apakah kebahagiaan itu hasil dari suatu tindakan, atau dirasakan saat tindakan berlangsung? Apakah kebahagiaan yang dituju di sini bersifat permanen ataukah sementara, seringkali kebahagiaan yang bersifat sementara berlawanan dengan kebahagiaan yang bersifat permanen? Bukankah moralitas Utilitarian itu berpijak pada sesuatu yang akan terjadi atau sesuatu yang belum tentu terjadi untuk memutuskan tindakan yang seharusnya segera terjadi?
- Gugatan lain yang ditujukan atas Utilitarianisme: bukankah utility itu merupakan sesuatu yang relatif? Dan bila relatif, dan memang demikian adanya, mungkinkah hal yang relatif menjadi ukuran baik-buruk moral bagi suatu tindakan?
2. Perkembangan
Utilitarianisme
Will Kymlicka membagi utilitarianisme
dalam empat varian sesuai dengan sejarah perkembangannya.
Pada tahap pertama, utilitarianisme
diartikan sebagai hedonisme kesejahteraan (walfare hedonism). Ini adalah bentuk
utilitarianisme paling awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia
terletak pada terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi. Akan
tetapi, model utilitarianisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi
apa yang terasa nikmat belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul
jenis utilitarianisme kedua, utilitas bagi keadaan mental yang tidak
beriorientasi hedonis (non-hedonistic mental-state utility). Pada perkembangan
ini, aspek hedonistik dihilangkan dan diganti dengan kesenangan yang menjamin
kebahagiaan. Utilitarianisme dipahami sebagai terpenuhinya semua pengalaman
individu yang bernilai, darimana pun hal itu berasal (Kymlicka, 1990: 12-13).
Utilitarianisme model kedua juga
menyimpan persoalan, karena pengalaman yang bernilai ternyata tidak satu, dan
tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu terpenuhi dalam satu waktu.
Individu harus memilih.
Utilitarianisme model ketiga adalah
terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut
sebagai pemenuhan pilihan (preference satisfaction). Utilitarianisme tahap ini
mengandaikan adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas.
Pada tahap terakhir, utilitarianisme
diartikan sebagai terpenuhinya pilihan-pilihan rasional individu yang berdasar
kepada pengetahuan dan informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan tersebut.
Utilitarianisme ini disebut pilihan yang berbasis informasi (informed
preference) (Kymlicka, 1990: 15-16).
Rasionalitas atau informed preference
bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan terbaik bagi
pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi
totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The
greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya
bagi sebanyak mungkin orang) (Kymlicka, 1990: 12).
3. Nilai Positif Etika Utilitarianisme
· Pertama,
Rasionalitas.
· Kedua,
Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral.
· Ketiga,
Universalitas.
4. Utilitarianisme sebagai proses dan sebagai Standar
Penilaian
§ Pertama,
etika utilitarianisme digunakan sebagai proses untuk mengambil keputusan,
kebijaksanaan atau untuk bertindak.
§ Kedua,
etika utilitarianisme sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan
yang telah dilakukan.
1.7 Kelemahan Etika Utilitarianisme
Ø Pertama,
manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan
menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit
Ø Kedua,
etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada
dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan
akibatnya.
Ø Ketiga,
etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang
Ø Keempat,
variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
Ø Kelima,
seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka
akan ada kesulitan dlam menentukan proiritas di antara ketiganya
Ø Keenam, etika
utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi
kepentingan mayoritas
Dalam pembahasan etika atau filsafat moral, terdapat
beberapa aliran besar yang masing-masing memiliki perbedaan cara pandang
terhadap sesuatu yang baik, benar, indah, adil, dan bahagia. Para filsuf mulai
dari Plato hingga kini masih terus berkutat terhadap masalah apakah yang paling
baik dan benar dan hal-hal yang utama lainnya yang disukai manusia. Beberapa
aliran itu adalah hedonisme, eudomonisme, deontologi dan utilitarianisme.
Paham Hedonisme yang disebarkan oleh Epicurus (341-270 SM),
filsuf Yunani kuno. Inti dari aliran ini adalah kenikmatan, menurut kodratnya
manusia mengusahakan kenikmatan. Kenikmatan tidak selalu berbentuk atau
bersifat fisik/jasmani. Etika Hedonisme
berpandangan bahwa manusia akan menjadi bahagia kalau ia mengejar kenikmatan
dan menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.
Dalam Nichomachean Ethics Aristoteles, tujuan utama hidup
manusia adalah Eudomonia, artinya kebahagiaan. Eudomonisme adalah aliran yang menekankan suasana batiniah yang berarti”bahagia”.
Hakekatnya kodrat manusia adalah mengusahakan kebahagiaan.Tapi apabila
semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai tujuan akhir hidup manusia,
itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti
banyak hal yang berbeda-beda.
Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan.
Dalam pandangan
deontologi, perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi pada hasil suatu
perbuatan dan tidak menyoroti tujuan yang dipilih dari perbuatan itu, melainkan
dari wajib atau tidaknya perbuatan dan keputusan moral tersebut. Bagi
manusia prinsip-prinsip obyektif bukan merupakan keniscayaan sehingga manusia
dengan sendirinya selalu mau memenuhi kewajibannya melainkan perintah
(imperatif). Imperative itu oleh Kant dibedakan menjadi dua macam yaitu
imperatif hipotesis dan imperati kategoris. Imperative hipotesis adalah
perintah bersyarat. Dengan iperatif hipotesis, prinsip-prinsip obyektif
dipersyaratkan dengan tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai. Artinya
prinsip-prinsip itu akan dituruti, jika dengannya ia dapat mencapai tujuan yang
diinginkannya. Sedangkan imperative kategoris adalah perintah yang “menunjukan
sautu tindakan yang secara obyektif mutlak perlu pada dirinya sendiri terlepas
dari kaitannya dengan tujuan lebih lanjut”. Imperative kategoris berlaku mutlak
dan tanpa kecuali karena apa yang diperintahkan olehnya merupakan kewajiban
pada dirinya sendiri, tidak tergantung dari suatu tujuan sebelumnya.
Utilitarianisme, mazhab etik lainnya, punya cara untuk
menunjukkan sesuatu yang paling utama bagi manusia. Menurut teori ini, bahwa
kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat
sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk.
Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan.
Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut prinsip utilitarian Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah
orang terbesar. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena
kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda.
Dalam pandangan utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan
terbesar dari jumlah jumlah terbesar(the greatest happiness of the greatest
number). Menurut Bentham prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara
kuantitatif belaka..
Pandangan Bentham Tentang Kebahagiaan
Ada tiga karakteristik utama dari basis filsafat moral dan politik Bentham: the greatest happiness principle, universal egoism dan the artificial identification of one's interests with those of others. Semua karakteristik ini disebutkan dalam karya-karyanya. Terutama dalam Introduction to the Principles of Morals and Legislation, dimana Bentham berfokus pada pengartikulasian prinsip rasional yang akan menunjukkan sebuah basis dan petunjuk untuk reformasi hukum, sosial dan moral.
Filsafat moral Bentham merefleksikan apa yang ia sebut pada waktu berbeda sebagai "the greatest happiness principle" atau "prinsip utilitas"—sebuah istilah yang dipnjamnya dari Hume. Meskipun berhubungan dengan prinsip ini ia tidak hanya mengacu pada kegunaan benda-benda atau tindakan, tapi lebih jauh lagi pada benda atau tindakan yang membawa kebahagiaan umum. Khususnya kewajiban moral yang menghasilkan the greatest amount of happiness for the greatest number of people, kebahagiaan yang ditentukan dengan adanya kenikmatan dan hilankanya kesakitan. Selanjutnya, Bentham menulis, "By the principle of utility is meant that principle which approves or disapproves of every action whatsoever, according to the tendency which it appears to have to augment or diminish the happiness of the party whose interest is in question: or, what is the same thing in other words, to promote or to oppose that happiness." Dan Bentham menunjukkan bahwa hal ini berlaku untuk "setiap tindakan secara keseluruhan" yang tidak memaksimalkan the greatest happiness (seperti pengorbanan yang menyebabkan kesengsaraan ) secara moral adalah tindakan yang salah.(tak seperti usaha pengartikulasian pada hedonisme universal, pendekatan Benthamis lebih naturalistik.)
Filsafat moral Bentham, secaa jelas merefleksikan pandangan psikologis bahwa motivator utama dalam diri manusia adalah kenikmatan dan kesengsaraan. Bentham menerima bahwa versinya dari prinsip utilitarian adalah sesuatu yang tidak memasukkan bukti langsung, tapi dia mencatat bahwa hal tersbut bukanlah sebuah masalah sebagaimana prinsip penjelasan tak menunjukkan penjelasan apapun dan semua penjelaan harus dimulai pada suatu tempat. Tapi karena itulah tidak menjelaskan mengapa kebahagiaan lain –atau kebahagiaan umum—harus dihitung. Dan pada faktanya dia menyediakan sejumlah saran yang dapat disebut sebagai jawaban terhadap pertanyaan mengapa kita harus peduli dengan kebahagiaan orang lain.
Pertama, menurut Bentham, prinsip utilitarianisme adalah sesuatu yang individu, dalam bertindak, mengacu pada eksplisitas dan implisitas, dan ini sesuatu yang dapat ditentukan dan dikonfirmasikan dengan observasi sederhana. Tentunya, Bentham berpegangan bahwa semua sistem moralitas yang ada dapat “direduksi pada the principles of sympathy and antipathy," yang pastinya mampu mendefinisikan utilitas.
Argumen kedua Bentham adalah, jika kenikmatan adalah sesuatu yang baik, kemudian kebaikannya menggangu kesenangan orang lain. Meskipun, sebuah halangan moral untuk mengiuti atau memaksimalkan kesenangan telah mendorong secara independen dari interest tertentu dari tindakan manusia. Bentham juga menyarankan bahwa individual akan secara beralasan mencari kebahagiaan umum dengan mudah karena hasrat dari orang lain adalah dikepung oleh mereka sendiri, meskipun ia tahu bahwa hal ini adalah mudah bagi bahwa hal tersebut mudah bagi individu untuk dilupakan. Bahkan, Bentham membayangkan sebuah solusi terhadap hal ini secara baik. Secara khusus, dia mengajukan bahwa hal itu membuat identifikasi hasrat yang jelas, ketika dibutuhkan, membawa hasrat berbeda bersama yang akan menjadi tanggungjawab penegak hukum.
Akhirnya, Bentham mengatakan bahwa keuntungan bagi sebuah filsafat moral berdasarkan prinsip utilitarian. Mulai dari prinsip utilitarian adalah bersih (dibandingkan dengan prinsip-prinsip moral lainnya), memungkinkan bagi sasaran dan diskusi publik, dan memungkinkan keputusan dibuat untuk dimana terlihat konflik (prima facie) keinginan yang legitimate. Selanjutnya, dalam menghitung kenikmatan dan penderitaan terlibat dalam membawa sebuah masalah aksi (the "hedonic calculus"), ada sebuah komitmen fundamental terhadap persamaan derajat manusia. Prinsip utilitarian mengandaikan bahwa "one man is worth just the same as another man" ada garansi bahwa dalam menghitung the greatest happiness "setiap orang dihitung satu dan tak lebih dari sekali"
Terhadap mana yang baik dan mana yang buruk, serta membahagiakan dibandingkan dengan pandangan Imanuel Kant, pandangan Jeremy Bentham sangat berbeda, dan dia beragumentasi bahwa jangan terburu-buru menilai mana yang baik dan mana yang salah, karena semuanya itu harus ditetapkan dan bertujuan untuk memberikan kebaikan pada orang yang paling banyak. Dengan kata lain, Kant menempatkan benar terlebih dahulu, baru yang baik, sedangkan Bentham menempatkan baik terlebih dahulu, baru benar. Model atau mahzab yang menganut Kant disebut Kantian, sedangkan model atau mahzab yang dianut Bentham disebut Utilitarianis.
Sebagai contoh, apakah berbohong itu benar dan baik? Jawabannya sudah pasti tidak benar dan tidak baik. Bagaimana berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain ? Kant mengambil contoh cerita sebagai berikut : Dalam suatu peristiwa, seorang pemuda yang menyembunyikan rekannya dari kejaran seorang pembunuh, ditanya oleh pembunuh tersebut, apakah ia tahu dimana teman itu berada. Apa yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut ? Berbohong (dengan begitu menyelamatkan kawannya) atau mengatakan kebenaran (dengan akibat : temannya tewas). Dalam kasus ini, seorang Kantian akan memahami dan menjalankan kebenaran, yaitu tidak bohong, dan itu yang paling penting.
Bagi seorang Utilitarianis, dia akan melakukan pembohongan, dengan alasan menyelamatkan nyawa lebih penting, dan apakah berbohong itu salah, Utilitarianis akan mengatakan iya itu salah, tetapi menyelamatkan nyawa adalah hal yang baik untuk dilakukan. Dalam hal inilah, baik dan benar ternyata tidak selalu seiring dan sejalan. ( MH)
Misbahudin
Tulisan ini diselesaikan untuk mata kuliah filsafat moral barat yang diampu oleh DR. Lutfi Assyaukani
Referensi
- Bertens, K. 1994. Etika. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
- Magnis Suseno, F .2005. Pijar-pijar Filsafat. Yogyakarta. Kanisius
- http://en.wikipedia.org/wiki/Jeremy_Bentham
Dengan memperhatikan asal-usul istilah ini kita sudah bisa menduga maksudnya. “Utilitarianisme” berasal dari kata Latin, utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat tersebut harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, utilitarianisme berdasar pada hasil atau konsekuensi dari suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan (a consequently approach).
Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran
utilitarianisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu
perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan
terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling
banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.
Utilitarianisme sebagai bagian konsep dasar etika teralikasi dalam dasar –
dasar pemikiran ekonomi.
Menurut Weiss terdapat tiga konsep dasar mengenai
utilitarianisme sebagai berikut :
1. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu membuat halterbaik untuk banyak orang yang dipengaruhi oleh tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan.
1. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu membuat halterbaik untuk banyak orang yang dipengaruhi oleh tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan.
2. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika terdapat manfaat terbaik atas biaya – biaya yang dikeluarkan, dibandingkan manfaat dari semua kemungkinan yang pilihan yang dipertimbangkan.
3. Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu secara tepat mampu memberi manfaat, baik langsung ataupun tidak langsung, untuk masa depan pada setiap orang dan jika manfaat tersebut lebih besar daripada biaya dan manfaat alternatif yang ada.
Mudah dapat dipahami bahwa utulitarisme sebagai teori etika
cocok sekali dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan
cost benefit analysis yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang
dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung juga sama seperti kita menghitung
untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Dan memang pernah
ada penganut utilitarianisme yang mengusahakan perhitungan macam itu di bidang
etika.
Dapat pula dipahami bahwa utilitarianisme sangat menekankan
pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral
suatu perbuatan, baik – buruknya suatu perbuatan tergantung pada konsekuensi
atau akibat yang dihasilkan. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling
besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan
masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa
lebih banyak kerugian daripada manfaat, perbuatan itu harus dinilai buruk.
Karena di sini konsekuensi begitu dipentingkan, utilitarianisme kadang-kadang
dinamai juga ”konsekuensialisme”.
Utilitarianisme disebut pula suatu teori teleologis (dari
kata Yunani, telos = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu
perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang
bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarianisme tidak
pantas disebut baik. Menepati janji, berkata benar, atau menghormati milik
orang adalah baik karena hasil baik yang dicapai, bukan karena suatu sifat
intern dari perbuatan-perbuatan itu. Utilitarianisme dapat pula mengandung
pengertian ”kewajiban”, tetapi hanya dalam arti bahwa manusia harus
menghasilkan kebaikan dan bukan keburukan.
Kriteria utilitarianisme menurut pemahaman Pratley (1995)
adalah ”kesenangan dan kebahagiaan”. Utilitarianism hedonistik mengatakan bahwa
hasil akhir suatu tindakan atau peruatan atau pengambilan keputusan haruslah
adanya kesenangan individu atau ketiadaan rasa ”sakit”. Utilitarianism
eudaemonistik mengatakan bahwa terdapatnya keadaan sejahtera melebihi dari yang
diinginkan pada diri individu – individu atau tindakan atau perbuatan atau
pengambilan keputusan yang diambil.
Dalam perdebatan antara para etikawan, teori utilitarianisme
menemui banyak kritik. Keberatan utama yang dikemukakan adalah bahwa
utilitarianisme tidak berhasil menampung dalam teorinya dua paham etis yang
amat penting, yaitu keadilan dan hak. Jika suatu perbuatan membawa manfaat
sebesar-besarnya untuk jumlah orang terbesar, maka menurut utilitarianisme
perbuatan itu harus dianggap baik. Akan tetapi, bagaimana bila perbuatan itu
serentak juga tidak adil bagi suatu kelompok tertentu atau melanggar hak
beberapa orang atau barangkali malah hanya satu orang? Jika mereka mau
konsisten, para pendukung utilitarianisme mesti mengatakan bahwa dalam hal itu
perbuatannya harus dinilai baik. Jadi, dengan kata lain, mereka harus
mengorbankan keadilan dan hak kepada manfaat.
Namun, kesimpulan tersebut sulit diterima oleh kebanyakan
etikawan. Sebagai contoh, kewajiban untuk menepati janji. Dasarnya adalah
keadilan dan hak. Jika pemerintah Indonesia membuat perjanjian dengan suatu
perusahaan, maka tidak boleh kemudian membatalkan perjanjian itu secara
sepihak, karena merasa menyesal (misalnya, kurs dollar naik drastis). Memang
benar, pembatalan perjanjian akan membawakan manfaat paling besar bagi paling
banyak orang. Namun demikian, pihak kedua berhak bahwa kita tetap berpegang
pada perjanjian. Mereka diperlakukan dengan tidak adil, jika membatalkan
perjanjian yang terdahulu.
Dari kasus di atas, para utilitarianisme akan mengatakan
bahwa janji tidak lagi mengikat kita, apabila mengingkari janji akan membawakan
manfaat lebih besar bagi jumlah orang terbanyak. Akan tetapi, apakah dengan itu
keadilan dan hal sebagai kewajiban moral tidak dikesampingkan? Dan bagaimana
mutu teori etika yang tidak sanggup menampung paham moral yang begitu
fundamental seperti keadilan dan hak?
Dengan maksud mencari jalan keluar dari kesulitan terakhir ini, beberapa utilitarianisme telah mengusulkan untuk membedakan dua macam utilitarianisme : utilitarianisme perbuatan (act utilitarism), dan utilitarianisme aturan (rule utilitarism). Yang dijelaskan di atas adalah utilitarianisme perbuatan di mana prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan pada perbuatan. Utilitarianisme perbuatan ini tidak luput dari kesulitan teoritis yang besar, bahkan menghancurkan. Namun demikian, masih ada kemungkinan lain, yaitu utilitarianisme aturan di mana prinsip dasar utilitarianisme tidak harus diterapkan atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, melainkan atas aturan-aturan moral yang kita terima bersama dalam masyarakat sebagai pegangan bagi perilaku kita.
Dengan maksud mencari jalan keluar dari kesulitan terakhir ini, beberapa utilitarianisme telah mengusulkan untuk membedakan dua macam utilitarianisme : utilitarianisme perbuatan (act utilitarism), dan utilitarianisme aturan (rule utilitarism). Yang dijelaskan di atas adalah utilitarianisme perbuatan di mana prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan pada perbuatan. Utilitarianisme perbuatan ini tidak luput dari kesulitan teoritis yang besar, bahkan menghancurkan. Namun demikian, masih ada kemungkinan lain, yaitu utilitarianisme aturan di mana prinsip dasar utilitarianisme tidak harus diterapkan atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, melainkan atas aturan-aturan moral yang kita terima bersama dalam masyarakat sebagai pegangan bagi perilaku kita.
Prinsip – prinsip utilitarianisme juga dapat digunakan dalam
pengambilan keputusan.sebagai analisis pemegang saham (stakeholder analysis)
dengan memperhatikan hal – hal sebagai berikut :
1. Menentukan bagaimana suatu biaya dan manfaat akan dapat diukur dalam memilih satu langkah tindakan atas tindakan yang lain.
2. Menentukan informasi apa yang dibutuhkan untuk menentukan biaya dan manfaat sebagai alat perbandingan.
3. Mengindentifikasi prosedur – prosedur dan kebijakan – kebijakan yang akan digunakan untuk menjelaskan dan membenarkan analisis atas biaya dan manfaat.
4.
Menetapkan asumsi ketika mendefinisikan dan membenarkan analisis dan kesimpulan
yang diambil.
5. Menentukan kewajiban moral terhadap tiap pemegang saham setelah biaya dan manfaat diestimasi untuk pengambilan strategi yang spesifik.
Kebahagiaan Dalam Pandangan
Utilitarianisme Jeremy Bentham
Dalam pembahasan etika atau filsafat moral, terdapat
beberapa aliran besar yang masing-masing memiliki perbedaan cara pandang
terhadap sesuatu yang baik, benar, indah, adil, dan bahagia. Para filsuf mulai
dari Plato hingga kini masih terus berkutat terhadap masalah apakah yang paling
baik dan benar dan hal-hal yang utama lainnya yang disukai manusia. Beberapa
aliran filsafat itu adalah hedonisme,
eudomonisme, deontologi dan utilitarianisme.
Paham hedonisme
disebarkan oleh Epicurus (341-270 SM), filsuf Yunani kuno. Hedonisme memahami
kenikmatan sebagai tujuan etis manusia. Menurut pemahaman aliran ini, kodratnya
manusia mengusahakan kenikmatan. Kenikmatan tidak selalu berbentuk atau
bersifat fisik/jasmani. Etika Hedonisme berpandangan bahwa manusia akan menjadi
bahagia kalau ia mengejar kenikmatan dan menghindari perasaan-perasaan yang
menyakitkan.
Dalam
Nichomachean Ethics Aristoteles, tujuan utama hidup manusia adalah Eudomonia, artinya kebahagiaan. Eudomonisme adalah aliran yang
menekankan suasana batiniah yang berarti”bahagia”. Hakekatnya kodrat manusia
adalah mengusahakan kebahagiaan.Tapi apabila semua orang mudah menyepakati
kebahagiaan sebagai tujuan akhir hidup manusia, itu belum memecahkan semua
kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang
berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan.
Dalam pandangan deontologi,
perbuatan moral semata-mata tidak didasarkan lagi pada hasil suatu perbuatan
dan tidak menyoroti tujuan yang dipilih dari perbuatan itu, melainkan dari
wajib atau tidaknya perbuatan dan keputusan moral tersebut. Bagi manusia
prinsip-prinsip obyektif bukan merupakan keniscayaan sehingga manusia dengan
sendirinya selalu mau memenuhi kewajibannya melainkan perintah (imperatif).
Imperative itu oleh Kant dibedakan menjadi dua macam yaitu imperatif hipotesis
dan imperati kategoris. Imperative hipotesis adalah perintah bersyarat. Dengan
iperatif hipotesis, prinsip-prinsip obyektif dipersyaratkan dengan
tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai. Artinya prinsip-prinsip itu akan
dituruti, jika dengannya ia dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Sedangkan
imperative kategoris adalah perintah yang “menunjukan sautu tindakan yang
secara obyektif mutlak perlu pada dirinya sendiri terlepas dari kaitannya
dengan tujuan lebih lanjut”. Imperative kategoris berlaku mutlak dan tanpa
kecuali karena apa yang diperintahkan olehnya merupakan kewajiban pada dirinya
sendiri, tidak tergantung dari suatu tujuan sebelumnya.
Utilitarianisme,
punya cara untuk menunjukkan sesuatu yang paling utama bagi manusia.
Menurut teori ini, bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga
menghasilkan akibat-akibat sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan
akibat-akibat buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas
dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik ataa buruk sejauh dapat
meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut
prinsip utilitarian Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas
kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam
pandangan utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan terbesar
dari jumlah jumlah terbesar(the greatest happiness of the greatest number).
Menurut Bentham prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara kuantitatif
belaka..
Pandangan Bentham Tentang Kebahagiaan
Ada tiga karakteristik utama dari basis filsafat moral dan
politik Bentham: the greatest happiness
principle, universal egoism dan the artificial identification of one's
interests with those of others. Semua karakteristik ini disebutkan dalam
karya-karyanya. Terutama dalam Introduction
to the Principles of Morals and Legislation, dimana Bentham berfokus pada
pengartikulasian prinsip rasional yang akan menunjukkan sebuah basis dan
petunjuk untuk reformasi hukum, sosial dan moral.
Filsafat moral Bentham merefleksikan apa yang ia sebut pada
waktu berbeda sebagai "the greatest
happiness principle" atau "prinsip utilitas"—sebuah istilah
yang dipnjamnya dari Hume. Meskipun berhubungan dengan prinsip ini ia tidak
hanya mengacu pada kegunaan benda-benda atau tindakan, tapi lebih jauh lagi
pada benda atau tindakan yang membawa kebahagiaan umum.
Khususnya
kewajiban moral yang menghasilkan the
greatest amount of happiness for the greatest number of people, kebahagiaan
yang ditentukan dengan adanya kenikmatan dan hilankanya kesakitan. Selanjutnya,
Bentham menulis, "By the principle
of utility is meant that principle which approves or disapproves of every
action whatsoever, according to the tendency which it appears to have to
augment or diminish the happiness of the party whose interest is in question:
or, what is the same thing in other words, to promote or to oppose that
happiness." Dan Bentham menunjukkan bahwa hal ini berlaku untuk
"setiap tindakan secara keseluruhan" yang tidak memaksimalkan the
greatest happiness (seperti pengorbanan yang menyebabkan kesengsaraan ) secara
moral adalah tindakan yang salah.(tak seperti usaha pengartikulasian pada
hedonisme universal, pendekatan Benthamis lebih naturalistik.)
Filsafat moral
Bentham, secaa jelas merefleksikan pandangan psikologis bahwa motivator utama
dalam diri manusia adalah kenikmatan dan kesengsaraan. Bentham menerima bahwa
versinya dari prinsip utilitarian adalah sesuatu yang tidak memasukkan bukti
langsung, tapi dia mencatat bahwa hal tersbut bukanlah sebuah masalah
sebagaimana prinsip penjelasan tak menunjukkan penjelasan apapun dan semua
penjelaan harus dimulai pada suatu tempat. Tapi karena itulah tidak menjelaskan
mengapa kebahagiaan lain –atau kebahagiaan umum—harus dihitung. Dan pada
faktanya dia menyediakan sejumlah saran yang dapat disebut sebagai jawaban
terhadap pertanyaan mengapa kita harus peduli dengan kebahagiaan orang lain. ?
Pertama, menurut Bentham, prinsip utilitarianisme adalah
sesuatu yang individu, dalam bertindak, mengacu pada eksplisitas dan implisitas,
dan ini sesuatu yang dapat ditentukan dan dikonfirmasikan dengan observasi
sederhana. Tentunya, Bentham berpegangan bahwa semua sistem moralitas yang ada
dapat “direduksi pada the principles of sympathy and antipathy," yang
pastinya mampu mendefinisikan utilitas.
Argumen kedua Bentham adalah, jika kenikmatan adalah sesuatu
yang baik, kemudian kebaikannya menggangu kesenangan orang lain. Meskipun,
sebuah halangan moral untuk mengiuti atau memaksimalkan kesenangan telah
mendorong secara independen dari interest tertentu dari tindakan manusia.
Bentham juga menyarankan bahwa individual akan secara beralasan mencari
kebahagiaan umum dengan mudah karena hasrat dari orang lain adalah dikepung
oleh mereka sendiri, meskipun ia tahu bahwa hal ini adalah mudah bagi bahwa hal
tersebut mudah bagi individu untuk dilupakan. Bahkan, Bentham membayangkan
sebuah solusi terhadap hal ini secara baik. Secara khusus, dia mengajukan bahwa
hal itu membuat identifikasi hasrat yang jelas, ketika dibutuhkan, membawa
hasrat berbeda bersama yang akan menjadi tanggungjawab penegak hukum.
Akhirnya, Bentham mengatakan bahwa keuntungan bagi sebuah filsafat moral berdasarkan prinsip utilitarian. Mulai dari prinsip utilitarian adalah bersih (dibandingkan dengan prinsip-prinsip moral lainnya), memungkinkan bagi sasaran dan diskusi publik, dan memungkinkan keputusan dibuat untuk dimana terlihat konflik (prima facie) keinginan yang legitimate. Selanjutnya, dalam menghitung kenikmatan dan penderitaan terlibat dalam membawa sebuah masalah aksi (the "hedonic calculus"), ada sebuah komitmen fundamental terhadap persamaan derajat manusia. Prinsip utilitarian mengandaikan bahwa "one man is worth just the same as another man" ada garansi bahwa dalam menghitung the greatest happiness "setiap orang dihitung satu dan tak lebih dari sekali"
Terhadap mana
yang baik dan mana yang buruk, serta membahagiakan dibandingkan dengan
pandangan Imanuel Kant, pandangan Jeremy Bentham sangat berbeda, dan dia
beragumentasi bahwa jangan terburu-buru menilai mana yang baik dan mana yang
salah, karena semuanya itu harus ditetapkan dan bertujuan untuk memberikan
kebaikan pada orang yang paling banyak. Dengan kata lain, Kant menempatkan
benar terlebih dahulu, baru yang baik, sedangkan Bentham menempatkan baik
terlebih dahulu, baru benar. Model atau mahzab yang menganut Kant disebut
Kantian, sedangkan model atau mahzab yang dianut Bentham disebut Utilitarianis.
Sebagai contoh, apakah berbohong itu benar dan baik? Jawabannya sudah pasti tidak benar dan tidak baik. Bagaimana berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain ? Kant mengambil contoh cerita sebagai berikut : Dalam suatu peristiwa, seorang pemuda yang menyembunyikan rekannya dari kejaran seorang pembunuh, ditanya oleh pembunuh tersebut, apakah ia tahu dimana teman itu berada. Apa yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut ? Berbohong (dengan begitu menyelamatkan kawannya) atau mengatakan kebenaran (dengan akibat : temannya tewas). Dalam kasus ini, seorang Kantian akan memahami dan menjalankan kebenaran, yaitu tidak bohong, dan itu yang paling penting.
Bagi seorang Utilitarianis, dia akan melakukan pembohongan, dengan alasan menyelamatkan nyawa lebih penting, dan apakah berbohong itu salah, Utilitarianis akan mengatakan iya itu salah, tetapi menyelamatkan nyawa adalah hal yang baik untuk dilakukan. Dalam hal inilah, baik dan benar ternyata tidak selalu seiring dan sejalan.
Utilitarianisme adalah sebuah teori yang diusulkan oleh David Hume untuk menjawab moralitas yang saat itu mulai diterpa badai keraguan yang besar, tetapi pada saat yang sama masih tetap sangat terpaku pada aturan2 ketat moralitas yang tidak mencerminkan perubahan2 radikal di zamannya.
Utilitarianisme secara utuh
dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James
Mill dan John Stuart Mill. Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori
Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan
(kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena, kenikmatan adalah
satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan
intrinsik. Bagi Bentham, moralitas bukanlah persoalan menyenangkan Tuhan atau
masalah kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan tidak lain adalah upaya
untuk mewujudkan sebanyak mungkin kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu,
Bentham memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas
Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility).
Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas
yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan
atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak
mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut
pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia, mestilah juga merupakan ukuran
moralitas. Dari sini, muncul ungkapan ‘tujuan menghalalkan cara’.
Bentham memperkenalkan metode untuk
memilih tindakan yang disebut dengan utility calculus, hedonistic
calculus, atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus
dijatuhkan pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan
kenikmatan daripada penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah
kenikmatan ditentukan oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang,
produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan), dan kemurnian (tidak diikuti oleh
perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan sejenisnya).
Para utilitarian menyusun argumennya
dalam tiga langkah berikut berkaitan dengan pembenaran euthanasia (mercy
killing):
(1). Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling
banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
(2). Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang
paling banyak memberikan jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa
dicapai melalui euthanasia.
(3). Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan,
euthanasia dapat dibenarkan secara moral.
Sekalipun mungkin argumen di atas tampak bertentangan dengan
agama, Bentham mengesankan bahwa agama akan mendukung, bukan menolak,
sudut-pandang utilitarian bilamana para pemeluknya benar-benar memegang
pandangan mereka tentang Tuhan yang penuh kasih sayang.
Pada sisi lain, para utilitarian menolak eksperimen2
saintifik tertentu yang melibatkan binatang, lantaran kebahagiaan atau
kenikmatan harus dipelihara terkait dengan semua makhluk yang bisa
merasakannya—terlepas apakah ia mukhluk berakal atau tidak. Lagi2, buat mereka,
melakukan hal yang menambah penderitaan adalah tindakan imoral.
Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy
Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga
proposisi berikut: Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar/baik atau
salah/jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi2 atau akibat2nya. Kedua,
dalam menilai konsekuensi2 atau akibat2 itu, satu-satunya hal yang penting
adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan2
yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang
penderitaan. Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan
yang dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting
daripada kebahagiaan orang lain. Kesejahteraan tiap orang sama penting dalam
penilaian dan kalkulasi untuk memilih tindakan.
Gagasan Utilitarianisme yang menyatakan bahwa ‘kebahagiaan
itu adalah hal yang diinginkan dan satu-satunya tujuan yang diinginkan, semua
hal lain diinginkan demi mencapai tujuan itu’ jelas mirip dengan gagasan
Hedonisme. Dan Hedonisme, seperti kita tahu, adalah keyakinan klasik bahwa
kenikmatan, kebahagiaan atau kesenangan adalah kebaikan tertinggi dalam
kehidupan. Istilah Hedonisme sendiri beasal dari kata Yunani yang
bermakna kesenangan. Hanya saja, Epicurus, tokoh utama Hedonisme percaya bahwa
manusia seharusnya mencari berbagai kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan
pikiran ketimbang tubuh. Katanya, orang bijak harus menghindari kesenangan2
yang akhirnya akan berujung pada penderitaan.
Para penggugat Utilitarianisme mengajukan sejumlah
keberatan. Antara lain, Asas Kegunaan itu sering bertentangan dengan aturan2
moral yang sudah mapan, seperti Jangan Berbohong, Jangan Mencuri,
Jangan Membunuh.
Utilitarianisme cenderung mengunggulkan Asas Kegunaan (the
Principle of Utility) atas Asas Keadilan atau Hak-hak seseorang. Misalnya,
bila ada dua pihak yag bertikai di depan hukum. Salah satunya lebih kuat dan
berkuasa daripada yang lain, sehingga kekalahan pihak yang lebih berkuasa akan
mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan yang lebih besar pada pihak lawan
dan orang2 di sekitarnya; kaum Utilitarian akan memenangkan pihak yang lebih
kuat demi mencapai sesedikit mungkin penderitaan, sekalipun untuk itu asas
keadilan atau hak seseorang harus dikorbankan.
Gugatan lain: karena Utilitarianisme secara eksklusif
mengambil pertimbangan tentang konsekuensi yang akan terjadi, maka pandangannya
selalu melupkan masa lalu. Misalnya, bila seseorang berjanji kepada adiknya
untuk melakukan sesuatu, lalu mendadak dia harus mengerjakan sesuatu lain yang
juga sama2 penting dengan janji tersebut, tetapi pekerjaan itu lebih
menyenangkan baginya, maka kaum utilitarian akan memilih untuk melanggar janji
itu. Dengan demikian, kaum utilitarian mengabaikan apa yang disebut dengan
kawajiban2 moral.
Untuk menjawab gugatan2 itu, kaum Utilitarian membedakan
Utilitarianisme-Tindakan (Act-Utilitarianism) dengan Utilitarianisme-Kaidah
(Rule-Utilitarianism). Utilitarianisme-Kaidah berpijak pada pandangan
bahwa ‘Semua aturan perilaku umum yang cenderung memajukan kebahagiaan terbesar
bagi orang terbanyak’ harus dikukuhkan. Jadi, dalam kasus aturan Jangan
Berbohong, Utilitarianisme-Kaidah menyatakan bahwa tindakan yang
berdasarkan aturan moral ini lebih sering menghasilkan konsekuensi kebahagiaan
ketimbang Berbohonglah. Dengan demikian, aturan Jangan Berbohong
sesuai dengan Utilitarianisme-Kaidah.
Namun, para penggugat kembali menyatakan bahwa gagasan
Utilitarianisme-Kaidah terbalik dalam menilai banyak hal. Misalnya,
persahabatan adalah sesuatu yang baik dan benar, sekalipun seringkali ia tidak
menyenangkan atau membuat kita menderita. Kita memiliki sahabat dan menghargai
persahabatan karena memang itulah tindakan yang baik dan benar, sekalipun kita
tidak tahu konsekuensi atau akibat dari persahabatan kita. Jadi, terbalik
dengan gagasan Utilitarianisme yang mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan,
dalam situasi ini kita pertama-tama melihat bahwa persahabatan itu baik dan
kita bahagia karena mengerjakan hal yang baik, dan bukan kita mencari sahabat
karena dengan persahabatan itu kita dapat mencapai kebahagiaan.
Selain itu, pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh kaum
Utilitarian adalah: Apakah hakikat kebahagiaan? Apakah kebahagiaan itu hasil
dari suatu tindakan, atau dirasakan saat tindakan berlangsung? Apakah
kebahagiaan yang dituju di sini bersifat permanen ataukah sementara, seringkali
kebahagiaan yang bersifat sementara berlawanan dengan kebahagiaan yang bersifat
permanen? Bukankah moralitas Utilitarian itu berpijak pada sesuatu yang akan
terjadi atau sesuatu yang belum tentu terjadi untuk memutuskan tindakan yang
seharusnya segera terjadi?
Gugatan lain yang ditujukan atas Utilitarianisme: bukankah
utility itu merupakan sesuatu yang relatif? Dan bila relatif, dan memang
demikian adanya, mungkinkah hal yang relatif menjadi ukuran baik-buruk moral
bagi suatu tindakan?
Maka harusnya memang klop hedonisme
pasti berhubungan mesra dengan ilmu ekonomi barat sebab kehadiran nya ditandai
dengan muncul nya On Liberty, magnum opus ny John Stuart Mill, menurut Mill,
protes nya yang menghendaki kebebasan individu lebih didominasi protes terhadap
moralisme koersif, seperti fanatisme, intoleransi, sikap ingin benar
sendiri, puritanisme, cara pandang John Stuart Mill seperti inilah yang
merangsek msuk dalam suasana intelektualitas barat setelah renaissance. Tidak
jauh berbeda dengan murid nya, sang guru, Jeremy Bentham mendefinisikan kepuasan
dalam berkonsumsi dlam tataran pelaku mikro hanya lah dengan kepuasan atas rasa
senang dan mengeliminsi penderitaan atas rasa sakit. Bagi Jeremy Bentham,
peperangan sebenar nya dalam hidup bukan masalah kebaikan melawan keburukan
atau antar akal dengan nafsu tetapi antara kepuasan di atas kesenangan melawan
penderitaan atas rasa sakit. Dan memang benar seperti yang di deskripsikan oleh
Mark Skousen, penulis The Making of Modern Economic, Jeremy Bentham memuja Dewa
Utilitas bukan Invisible Hand seperti Adam Smith dengan murid-muridnya.
Dari kalangan sekolah Fabian, yang diwakili oleh William Stanley Jevons melihat
teori marginal utilitas oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill dengan sudupt
pandang demand dan supply, semakin banyak quantitas yang tersedi maka konsumen
semakin bisa memenuhi kebutuhannya tetapi dengan marginal utilitas yang menurun
atau jenuh. Persis dengan hukum gossen. Setelah lari kencang, kemudian haus
membutuhkan air segelas, kemudian segelas lagi, kemudian segels lagi hingga
kembung.
Ternyata yang mendefinisikan marginal utilitas secara agak lebih rasional dari sisi akuntansi nya muncul dari kalangan mazhab Austria seperti yang diungkapkan Carl Menger dengan mazhab Austria, utilits marginal menunjukkan bahwa harga dan biaya ditentukn oleh margin atau keuntungan, sehingga analisis marginal seperti ini yang akhir nya membentuk cost of good sold dalam accounting nya dan menciptakan basis analisis tersendiri dalam mikroekonomi modern.
Ternyata yang mendefinisikan marginal utilitas secara agak lebih rasional dari sisi akuntansi nya muncul dari kalangan mazhab Austria seperti yang diungkapkan Carl Menger dengan mazhab Austria, utilits marginal menunjukkan bahwa harga dan biaya ditentukn oleh margin atau keuntungan, sehingga analisis marginal seperti ini yang akhir nya membentuk cost of good sold dalam accounting nya dan menciptakan basis analisis tersendiri dalam mikroekonomi modern.
Dari
perdebatan theory ini yang membuat hedonisme dengan istilah marginal utilits
dalam kamus mikroekonomi bukan lagi soal gaya hidup. Sebab kalau mau jujur gaya
hidup seorang individu mencerminkan ideology nya atau pandangan hidup nya. dan
bicara soal pandangan hidup menurut Ustadz Hamid Fahmy Zarkasy ibarat berlayar
di sebuah samudera tanpa tepi. dan terjadi nya clash of worldview bukan secara
fisik tetapi dalam lintasan minda, kata orang Malaysia, lalu persoalannya
mengapa hedonisme akhirnya menggumpal menjelma sebuah kepercayaan yang dianut
keabsahaannya dengan pesta clubbing sebagai ritual ibadah nya, feel dan mood
sebagai keimanannya, dan akhirnya hawa nafsu sebagai tuhan nya. ternyata
jawabannya juga belum jauh dari kerangka kerja mikroekonomi modern dengan teori
indefferensial nya yang menyatakan bahwa secara teori pelaku konsumsi
bisa jadi memperoleh tingkat utilitas atau kepuasan yang sama karena kepuasan
dari konsumsi sebenarnya sangat subjektif. Belum pernah riset empiris pengaruh
seseorang membeli gadget itu dimotivasi secara kuat oleh dorongan kebutuhan,
dorongan ekonomi atau dorongan gaya hidup atau tuntutan pekerjaan kalaupun ada
lagi-lagi belum clear karena akhirnya kepuasan ditentukan oleh “kebutuhan” per
individu yang tidak dapat diwakili oleh “kebutuhan “ lain.
Filsafat Utilitarian
Utilitarianisme
merupakan bagian dari etika filsafat mulai berkembang pada abad ke 19 sebagai
kritik atas dominasi hukum alam. Sebagai teori etis secara sistematis teori
utilitarianisme di kembangkan Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill.
Utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest
happines theory). Karena utilitiarianisme dalam konsepsi Bentham berprinsip the
greatest happiness of the greatest number. Kebahagiaan tersebut menjadi
landasan moral utama kaum utilitarianisme, tetapi kemudian konsep tersebut di
rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja, melainkan demi
kebahagiaan semua. Dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarianisme
menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme.
Sebagai
bagian dari etika, Utilitarianisme merupakan salah satu teori besar etika yang
muncul pada abad 19. Kemunculannya di latarbelakangi oleh keinginan besar untuk
melepaskan diri dari belenggu doktrin hukum alam. David Hume dan Helvetius, dan
Beccaria adalah arsitek utama doktrin Utilitarianisme tersebut. Namun, Jemery
Bethamlah (1748-1832) yang berhasil merumuskannya dalam sebuah teori formal
tentang refomasi sosial sehingga menjadi kiblat bagi kelas menengah. Sebab
konsep yang ditawarkan sangat mendukung eksistensi dan kepentingan mereka
(Schmand, 2002: 441).
Utilitarianisme
terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap
manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak.
Karena, kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan
adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Oleh karena itu, sesuatu yang paling
utama bagi manusia menurut Betham adalah bahwa kita harus bertindak sedemikian
rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan sedapat
dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk. Karena kebahagianlah yang baik dan
penderitaanlah yang buruk (Shomali, 2005: 11).
Kebahagiaan
tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan
dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi
kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara
kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek
kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme klasik, prinsip
utilitas adalah the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang). Hal ini dapat dipahami bahwa di
mana kebahagiaan disamakannya dengan kenikmatan dan dengan kebebasan perasaan
sakit. Berkat konsep fundamentalnya tersebut Jeremy Betham diakui sebagai
pemimpin kaum Radikal Filosofis yang sangat berpengaruh. Akan tetapi teori yang
di usung Betham tersebut mempunyai banyak kelemahan terutama tentang moralitas,
sehingga para pengkritik mencelanya sebagai pig philosophy; filsafat yang cocok
untuk Babi. Salah paham tersebut kemudian berusaha diluruskan kembali oleh
pengikutnya, Jhon Stuart Mill (Suseno, 1998: 173).
1.2 Definisi Istilah
Utilitarianisme
secara etimologi berasal dari bahasa Latin dari kata Utilitas, yang berarti
useful, berguna, berfaedah dan menguntungkan. Jadi paham ini menilai baik atau
tidaknya, susila atau tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau
faedah yang didatangkannya (Salam, 1997: 76). Sedangkan secara terminology
utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik
adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau
buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan. Karena itu, baik
buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan
menguntungkan atau tidak (Mangunhardjo, 2000: 228).
Menurut
Jhon Stuart Mill sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat Utilitarianisme adalah
aliran yang menerima kegunaan atau prinsip kebahagiaan terbesar sebagai landasan
moral, berpendapat bahwa tindakan benar sebanding dengan apakah tindakan itu
meningkatkan kebahagiaan, dan salah selama tindakan itu menghasilkan lawan
kebahagiaan. Sedangkan kebahagiaan adalah kesenangan dan hilangnya derita; yang
dimaksud dengan ketakbahagiaan adalah derita dan hilangnya kesenangan (Rakhmat,
2004: 54). Utilitarianisme merupakan pandangan hidup bukan teori tentang wacana
moral. Moralitas dengan demikian adalah seni bagi kebahagiaan individu dan
sosial. Dan kebahagiaan atau kesejahteraan pemuasan secara harmonis atas
hasrat-hasrat individu (Aiken, 2002: 177-178).
1.3 Perkembangan Utilitarianisme
Will
Kymlicka membagi utilitarianisme dalam empat varian sesuai dengan sejarah
perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarianisme diartikan sebagai
hedonisme kesejahteraan (walfare hedonism). Ini adalah bentuk utilitarianisme
paling awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada
terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi. Akan tetapi, model
utilitarianisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang
terasa nikmat belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul jenis
utilitarianisme kedua, utilitas bagi keadaan mental yang tidak beriorientasi
hedonis (non-hedonistic mental-state utility). Pada perkembangan ini, aspek
hedonistik dihilangkan dan diganti dengan kesenangan yang menjamin kebahagiaan.
Utilitarianisme dipahami sebagai terpenuhinya semua pengalaman individu yang
bernilai, darimana pun hal itu berasal (Kymlicka, 1990: 12-13).
Utilitarianisme
model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman yang bernilai ternyata
tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu terpenuhi dalam
satu waktu. Individu harus memilih. Utilitarianisme model ketiga adalah
terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut
sebagai pemenuhan pilihan (preference satisfaction). Utilitarianisme tahap ini
mengandaikan adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas.
Pada tahap terakhir, utilitarianisme diartikan sebagai terpenuhinya
pilihan-pilihan rasional individu yang berdasar kepada pengetahuan dan
informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan tersebut. Utilitarianisme ini
disebut pilihan yang berbasis informasi (informed preference) (Kymlicka, 1990:
15-16).
Rasionalitas atau informed preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang) (Kymlicka, 1990: 12).
1.5 Nilai Positif Etika Utilitarianisme
· Pertama,
Rasionalitas.
· Kedua,
Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral.
· Ketiga,
Universalitas.
1.6 Utilitarianisme sebagai proses dan sebagai Standar
Penilaian
§ Pertama,
etika utilitarianisme digunakan sbg proses untuk mengambil keputusan,
kebijaksanaan atau untuk bertindak.
§ Kedua,
etika utilitarianisme sebagai standar penilaian bagi tindakan atau
kebijaksanaan yang telah dilakukan.
1.7 Kelemahan Etika Utilitarianisme
Ø Pertama,
manfaat merupakan konsep yg begitu luas shg dalam kenyataan praktis akan
menimbulkan kesulitan yg tidak sedikit
Ø Kedua,
etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pd
dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan
dg akibatnya.
Ø Ketiga,
etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang
Ø Keempat,
variabel yg dinilai tidak semuanya dpt dikualifikasi.
Ø Kelima,
seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka
akan ada kesulitan dlam menentukan proiritas di antara ketiganya
Ø Keenam,
etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi
kepentingan mayoritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar