Rabu, 10 Oktober 2012

Mashab Sejarah Hukum




MASHAB  SEJARAH  HUKUM
Bagian Naskah Buku Filsafat Hukum
Dr,H.Zainal Asikin, SH, SU
A.   Pengantar

Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Lahirnya mazhab ini ditandai dengan diterbitkannya manuskrip yang ditulis oleh Friedrich Karl von Savigny yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl von Savigny dipandang sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah .
Kelahiran mazhab yang dirintis oleh Savigny ini dipengaruhi oleh buku yang berjudul “L’ esprit des Lois” (Semangat Hukum) karangan Montesquieu (1689-1755) yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut, Montesquieu mengemukakan bahwa ada relasi yang kuat antara jiwa suatu bangsa dengan hukum yang dianutnya . Hukum yang dilandasii dan dianut suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang direpresentasikan oleh nilai-nilai dan tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan social itu  bersifat dinamis, sehingga berimplikasi pada dinamisnya hukum.  Dengan kata lain  bahwa dinamisasi nilai-nilai dan tatanan sosial menyebabkan dinamisasi pada hukum yang diperpegangi masyarakat.
Ajaran Montesquieu mempunyai  beberapa titik  sentral, yaitu:

a. Mencari ke bawah kulit peraturan formal hukum untuk mendapatkan inspirasi serta hubungannya dengan bentuk pemerintahan dan dengan suatu substruktur sosial yang dinamis dari kelompok politik yang mendasarinya.

b. Penyelenggaraan hukum sebagai hal yang selalu ada secara wajar (the necessary relation deriving from the nature of things) yang akan menerangkan terjadinya berbagai jenis politik-yuridis karena sifat ketergantungannya pada fenomena-fenomena sosial lain seperti adat-istiadat, penduduk, agama, dan sebagainya.

c. Aksentuasi kajian pada persoalan bagaimana hubungan hukum dengan negara sebagai pelaksana hukum.
d. Hukum sangat bergantung pada morfologi atau bentuk fisik lingkungan masyarakat, sehingga kajiannya menggunakan metode fisika sosial.

e.  Membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecenderungan metafisika yang dogmatis dan membawanya pada telaah yang lebih dekat pada perbandingan hukum.
f. Hukum diselenggarakan oleh pembuat undang-undang dan membedakan hukum dengan adat istiadat. Menurut Montesquieu, hukum itu diselenggarakan sementara adat istiadat diilhamkan.

g.  Hukum merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat.
h. Hukum merupakan hasil dari sejumlah anasir-anasir yang inheren dalam masyarakat sehingga hukum dapat dipahami dengan menelaah locus hukum tersebut berkembang.

i.  Hukum bersifat relatif, karenanya hukum harus dipelajari dalam konteks latar belakang historis masyarakatnya.
Sebagaimana diketahui bahwa pada  awal abad ke-19, eksistensi teori hukum positif yang sarat dengan unsur positivis mendapat posisi strategis  dalam perkembangan pemikiran hukum. Pengaruhnya jadi semakin kuat ketika konsep negara modern muncul bersamaan dengan teori hukum pada saat itu. Dalam suatu negara modern, kekuasaan berada di tangan negara sebagai suatu organisasi. Model kekuasaan seperti ini lekat dengan konsep legitimasi. Bicara legitimasi berarti bicara pengakuan dan dukungan. Pengakuan dan dukungan merupakan esensi dasar dari kedaulatan suatu negara.
Kedaulatan yang dikenal dalam konsep negara modern sudah tidak lagi berpusat di tangan penguasa. Kedaulatan dengan bentuk seperti ini telah terbagi ke seluruh wilayah teritorial negara. Kedaulatan ini tidak melekat pada rakyat sebagai nationals, tapi ia melekat pada bangsa sebagai sebuah nation. Bentuk kedaulatan seperti inilah yang pada perkembangannya membutuhkan seperangkat aturan untuk mengakui dan melindungi kedaulatan suatu negara.  Pada saat ini pula betapa kehadiran hukum dianggap penting untuk meligitmasi kedaulatan Negara itu.
Di bagian yang lain, situasi politik dan kepentingan-kepentingan bercorak industrialis dan kapitalis mulai mewarnai perkembangan negara dan tata hidup masyarakat . Kondisi dan situasi itu (pada awal abad ke-19 ) melahirkan liberalisme yang menaungi kepentingan-kepentingan individu. Liberalisme adalah paham yang menekankan pada kemerdekaan individu. Oleh pihak-pihak tertentu, kepentingan-kepentingan yang dilandasi semangat paham ini kemudian mulai diberi peluang untuk dilindungi melalui sistem hukum suatu negara. Sistem hukum suatu negara yang dirancang untuk mengakomodir liberalisme akhirnya menyebabkan asas-asas, substansi, bahkan doktrin yang melandasi sistem hukum itu tidak lagi berpihak pada keadilan rakyat banyak dan nasionalisme, tetapi mulai bergeser untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu yang dekat dengan kekuasaan negara.
Upaya untuk mengharmoniksan  dua kepentingan sebagai konsekuensi dari dinamika yang terjadi di dalam konsep negara modern ini bisa ditemukan dalam teori Trias Politica Montesqueu. Lewat konsep ini, Montesqueu sebagai pemikir politik berkebangsaan Perancis memperkenalkan  suatu system dan konsep pemisahan kekuasaan dan wewenang lembaga-lembaga negara. Salah satu dari tiga lembaga negara yang wewenangnya diabstraksi Trias Politica Montesqueu adalah legislatif. Lembaga ini punya wewenang untuk membuat peraturan negara. Peraturan yang dibuat legislatif  bentuknya tertulis, dan disusun dalam suatu kitab undang-undang.
Model pembentukan peraturan seperti itu sesuai dengan dalil-dalil yang dikenal dalam teori hukum positif adalah pembentukan hukum oleh penguasa atau lembaga yang berwenang untuk itu. Keberlakuannya yang terbatas dalam lingkup teritorial suatu negara dan hanya berlaku pada saat tertentu menjadi sifat umum dari ciri-ciri hukum positif yang kita kenal sampai saat ini.
 Dalam teori hukum positif, hukum diidentikkan dengan undang-undang. Tidak ada hukum di luar undang-undang. Aktivitas menciptakan hukum seperti itu adalah praksis berada pada lembaga legislative, demikian ajaran kodifikasi. Menurut ajaran kodifikasi, hukum adalah seperangkat peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang yang tertuang dalam suatu kitab. Ajaran ini menganggap hanya hukum yang tertulis dalam suatu kitab yang bisa disahkan sebagai hukum. Di luar kitab tidak ada hukum.
          Perkembangan mashab sejarah di Jerman juga demikian dinamis.  Jerman saat itu terjebak dalam peperangan antara koalisi bersama Austria, Swedia dan Inggris melawan koloni Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte. Napoleon dan pasukannya baru saja diusir tentara Bavaria dari Jerman lewat sebuah peperangan yang terjadi di Hanau pada 1813. Kondisi negara itu kacau balau. Begitu juga kondisi hukumnya. Jerman sedang bingung untuk menentukan tata hukum yang akan diberlakukan sebagai hukum nasional.
Salah satu solusi terhadap problematika tata hukum Jerman dilontarkan oleh Anton Friedrich Justus Thibaut. Thibaut adalah ahli hukum perdata dan musisi berkebangsaan Jerman yang saat itu menjadi professor di Universitas Ruprecht Karl Heidelberg, sebuah universitas tertua di Jerman yang terletak di kota Heidelberg.
Menurut Thibaut, sebagai salah satu cara untuk mengisi kekosongan hukum di Jerman, negara itu memerlukan kodifikasi dalam bidang hukum perdata. Untuk mengkonkritkan pendapatnya itu, Thibaut kemudian mengusulkan kodifikasi hukum perdata Prancis versi kode Napoleon untuk diberlakukan sebagai sistem hukum perdata Jerman. Usulan itu dipublikasikan Thibaut dalam pamflet “Uber die Notwendendigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutschland” yang merupakan tanggapan atas kondisi hukum nasional Jerman sebagai luapan patriotik Thibaut pasca diusirnya pasukan Napoleon dari Jerman pada 1813.
Adalah Friedrich Carl von Savigny yang mengkritik usulan kodifikasi hukum perdata Prancis untuk diberlakukan di Jerman. Jika ajaran kodifikasi yang menjadi dasar usulan Thibaut menganggap hanya hukum yang tertulis dalam suatu kitab undang-undang yang diakui sebagai hukum, von Savigny menanggapi Thibaut dengan dalil pendapat yang berbeda. Menurut von Savigny, hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Bagi para sejarahwan, hukum adalah produk dari perjalanan sejarah masyarakat. Kenapa harus hukum Prancis yang diterapkan di Jerman jika rakyatnya punya landasan sejarah tata kehidupan sendiri. Alasannya sederhana, namun berbau nasionalis. Saat itu von Savigny hanya ingin memberi tempat yang terhormat bagi hukum asli rakyat Jerman di negeri sendiri. Ia ingin agar hukum asli rakyat Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman.
Peristiwa itu telah dicatat sebagai titik awal pembentukan Mazhab sejarah. Dari Jerman, von Savigny sukses meletakkan dasar bagi perkembangan dan penyebarluasan pengaruh gagasan dan pemikiran mazhab sejarah. Lewat kritik itu juga, von Savigny sukses membuat Jerman tidak punya kodifikasi hukum perdata selama hampir 100 tahun
          Jadi selain buku Montesquieu, kelahiran mazhab Sejarah juga dilatari oleh paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Semboyan “Deutsch uber alles” mengekspresikan tingginya nasionalisme masyarakat Jerman yang sekaligus menjadi antitesa dari konsep Thibaut yang menyerukan kodifikasi hukum Jerman dalam perundang-undangan dengan patron kodifikasi hukum Prancis (Code Napoleon) . Seruan Thibaut tersebut menurut Savigny sangat tidak sejalan dengan jiwa rakyat (volksgeist) Jerman karena sejatinya, jiwa rakyat Jerman sangat berbeda dengan jiwa rakyat Prancis. Inilah yang kemudian mendorong Savigny untuk mengembangkan ajarannya tentang hukum, yaitu “Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke” (hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Karena itu, menurut Savigny, masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda, sehingga hukum masing-masing bangsa juga berbeda. Implikasinya, tidak ada hukum yang berlaku secara universal dan substansi hukum sangat ditentukan oleh pergaulan hidup dan pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat .

 B. Pandangan Mazhab Sejarah tentang Hukum
Mazhab sejarah memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami dengan menelaah kerangka atau struktur kesejarahan (historisitas) dimana hukum tersebut timbul . Hukum merupakan tatanan yang lahir dari pergaulan masyarakat, di dalamnya tercakup nilai-nilai dan tatanan yang terbentuk secara alamiah dan senantiasa mengalami dinamisasi seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat tersebut.

Friedrich Karl von Savigny, sebagai perintis mazhab ini mengemukakan bahwa hukum merupakan representasi kesadaran hukum masyarakat (voklgeist) . Hukum, sejatinya berasal dari adat-istiadat, sejumlah keyakinan atau kepercayaan dan bukan berasal dari pembuat undang-undang (legislator). Pandangan Savigny ini dilatari oleh sikap kontra produktifnya terhadap kodifikasi hukum perdata Jerman yang menjadikan hukum Prancis (Code Napoleon) sebagai patron. Padahal, menurutnya, kodifikasi tersebut sangat sering bertentangan, bahkan secara diametral, dengan semangat dan jiwa (kesadaran hukum) masyarakat Jerman. Inilah yang kemudian menjadikan Savigny berpikir bahwa hukum bukan berasal dari pembuat undang-undang, melainkan berasal dari jiwa rakyat yang luhur dan dinamis .
Savigny berangkat dari satu keyakinan bahwa masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terlihat dari perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa, baik dari segi kooptasi nilai-nilai maupun perwujudannya semisal bentuk pergaulan, etika pergaulan, dan sebagainya. Ekspresi perbedaan tersebut juga tampak pada eksistensi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Masing-masing bangsa memiliki tatanan hukumnmya sendiri, dan berbeda secara substantif dengan hukum yang dimiliki bangsa lain .
Substansi ajaran mazhab Sejarah dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Hukum tidak dibuat melainkan ditemukan
Hukum sesungguhnya  bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh pembuat hukum. Hukum pada dasarnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Karenanya, hukum bersifat organis . Hukum tidak dengan sengaja disusun oleh pembentuk hukum . Hukum akan senantiasa berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial. Proses demikian merupakan proses yang alami atau tidak disadari karena menjadi bagian internal dalam lingkup pergaulan masyarakat.
Menurut von Savigny, yang disebut hukum bukan hanya hukum yang ditulis dalam kitab undang-undang. Hukum juga tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dari Jerman, pengaruh mazhab ini kemudian mulai menyebar ke belahan dunia lain. Para ahli hukum penganut mazhab sejarah di Indonesia yang menentang unifikasi hukum Indonesia oleh kaum kolonial Belanda berhasil memberi tempat bagi hukum adat yang telah lama hidup di tengah kehidupan rakyat Indonesia sebagai hukum yang berlaku bagi golongan pribumi di tanah air sendiri.
2. Undang-undang tidak berlaku secara universal
Undang-undang, sebagai dianggap representasi hukum suatu bangsa bersifat temporal dan spasial. Undang-undang hanya berlaku di suatu bangsa atau kelompok bangsa tertentu (semisal persekutuan) dan pada kurun waktu tertentu. Oleh Savigny, setiap bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi yang khas . Curzon mengemukakan:
Law is a special product of people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it dies away when a people loses its individuality...Law have no universal validity; the apply solely to the nations in which they are created”
“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat (punahnya masyarakat)...Hukum tidak berlaku secara universal; penerapannya terbatas pada bangsa dimana hukum itu dibuat”.
Dalam konteks Indonesia misalnya, undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif dengan eksekutif tidak dapat diberlakukan secara universal ke bangsa lain. Undang-undang tersebut hanya berlaku di Indonesia sendiri. Selain itu, undang-undang tersebut memiliki batas berlaku (temporal) karena substansinya tidak sesuai lagi dengan keinginan dan/atau kesadaran hukum masyarakat. Karenanya, amandemen perundang-undangan menjadi keniscayaan agar perundang-undangan tidak berseberangan dengan jiwa rakyat (volksgeist).
3. Hukum merupakan perwujudan dari jiwa rakyat atau kesadaran hukum masyarakat (volksgeist)
Savigny, mengemukakan:
“...there was an organic connection between law and people’s nature and character as developed through history. The true living law is customary law; it does not emerge from the arbitrary will od a law-giver, but from internal, silently operating forces within the community. Law is rooted in a people’s history; the roots are fed by the coneciounsness, the faith and customs of the people”.
“...terdapat hubungan yang organis (dinamis) antara hukum dengan kehidupan dan karakter masyarakat sebagai tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan masyarakat tersebut. Hukum yang hidup adalah hukum adat; hukum tersebut tidak dihasilkan oleh pembuat hukum (legislator) melainkan dari masyarakat itu sendiri, ditegakan oleh masyarakat itu pula. Hukum berakar dalam sejarah masyarakat, dibangun atas dasar kesadaran penuh, keyakinan, dan adat istiadat yang dianut masyarakat. ”
G. Puchta, salah seorang murid Savigny mengemukakan bahwa semua hukum merupakan perwujudan dari kesadaran umum masyarakat (volksgeist) . Lebih lanjut, Puchta, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo dari Dias, mengemukakan:
“Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.”
Savigny menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas, dia menolak paradigma bahwa hukum itu dibuat, dan secara diametral dia menyatakan bahwa hukum itu ditemukan di masyarakat. Hukum ada di masyarakat, dan karenanya pembuatan undang-undang tidak begitu penting. Inilah yang oleh sebagian ahli dipandang sebagai pesimisme hukum, karena menolak upaya luhur manusia untuk menciptakan hukum yang akan mengarahkan manusia ke masa depan yang lebih baik, masa depan yang berlandaskan pada keadilan .
Satjipto Rahardjo memberikan contoh yang sangat sejalan dengan konsep mazhab Sejarah ini. Beliau menuturkan:
“Pada tanggal 2 Agustus 1985, sebuah Jumbo Jet Delta Airlines jatuh di Dallas dan menewaskan 137 orang. Segera sesudah malapetaka tersebut para lawyers dari kedua pihak, yaitu dari pihak korban dan perusahaan penerbangan, terjun ke lapangan dengan begitu cepat dan agresif. Suatu peperangan sengit dengan saling menuduh secara pahit dan imoral merupakan pemandangan yang menyusul tahun-tahun berikutnya. Ilustrasi yang bagus tentang cara berhukum di Amerika Serikat...Sepuluh hari sesudah peristiwa di Dallas tersebut, sebuah Jumbo Jet milik Japan Airlines jatuh di Gunung Ogura di Kepulauan Honshu. Tidak ada lawyers yang dengan agresif turun ke tempat kejadian, bagaikan burung gagak melihat bangkai. Hari-hari yang menyusul hanya diisi dengan suasan duka yang mendalam. Perusahaan Japan Airlines, secara penuh berusaha untuk mengevakuasi dan menolong baik korban maupun keluarganya. Sesudah semua beres, Presiden Japan Airlines menghadap kepada deretan korban dan keluarganya, membungkuk dalam-dalam, meminta maaf dan akhirnya mengundurkan diri dari jabatan. Anak-anak dari korban juga mendapat beasiswa dari perusahaan penerbangan tersebut. Itulah potret cara berhukum di Jepang”.
Apa yang dikemukakan Satjipto tersebut merupakan representasi dari konsep volksgeist sebagai digagas mazhab Sejarah. Perbedaan cara berhukum antara AS dengan Jepang dilatari oleh faktor kesejarahan mereka. Perilaku agresif dan cenderung imoral yang ditunjukkan oleh lawyers AS menunjukkan bahwa jiwa rakyat mereka didasarkan pada rasionalisme; suatu konstruk berpikir yang didasarkan pada kebenaran akal, sehingga aspek nurani cenderung terabaikan. Ini ditunjukkan dengan sikap saling curiga, menuduh satu sama lain, dan keinginan untuk menjatuhkan pihak lawan. Sementara di Jepang, kejadian tersebut ditanggapi secara positif, dengan berlandaskan pada keyakinan, ketulusan dan instrospeksi diri. Masyarakat Jepang dikenal sebagai bangsa yang mendasarkan pikiran dan perilakunya pada kokoro (nurani). Karenanya, tidak mengherankan jika terjadi kasus hukum seperti tersebut di atas, maka secara sukarela, masing-masing pihak berusaha saling menolong, memaafkan, dan berupaya menempuh rekonsiliasi semaksimal mungkin, karena tujuan hukum tertinggi mereka adalah kedamaian.
Inilah yang kemudian dipahami sebagai volksgeist atau jiwa rakyat. Jiwa suatu bangsa sangat menentukan bagaimana cara berhukum mereka, bagaimana mereka melihat, menginternalisasikan, dan mengaplikasikan aturan-aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya dan karenanya, benar argumentas mazhab Sejarah, bahwa hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan dan bersumber dari jiwa rakyat.

4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah suatu bangsa
Hukum, secara a priori tidak dapat dipisahkan dari sejarah suatu bangsa. Hukum yang berlaku di suatu negara harus dilihat dalam konteks sejarahnya. Karenanya, hukum yang tidak bersumber dari sejarah atau jiwa bangsa dianggap bukan hukum karena hanya akan menciptakan ketidakpastian dan bukan tidak mungkin justru menggiring ketidakadilan dalam masyarakat. Memahami hukum sebagai suatu kajian akademik-dialektis harus berlandaskan pada kajian historis-sosiologis, karena sejatinya sejarah masyarakat merupakan akar dari hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut.
Inti mazhab sejarah von Savigny berpangkal pada pendapat yang menyatakan bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam bangsa. Tiap-tiap bangsa tersebut punya Volkgeist (jiwa rakyat) sendiri-sendiri. Jiwa rakyat ini berbeda-beda, baik menurut waktu dan menurut tempat. Jadi, tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal dan pada semua waktu, kata von Savigny. Hukum, menurut von Savigny, sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat. Isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa-ke-masa. Hukum menurut von Savigny berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang pencerminannya nampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks di mana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan ahli hukumnya.
Inti dari mazhab sejarah von Savigny diurainya dalam buku“Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschsft” (tentang tugas jaman kita bagi pembentuk undang-undang dan ilmu hukum).

5. Aturan-aturan hukum (undang-undang) yang bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat (volksgeist) harus dibatalkan karena sifat aturan hukum tidak lebih penting dari kesadaran hukum tersebu

Adalah merupakan sesuatu yang lumrah atas penolakan sekelompok masyarakat terhadap aturan perundang-undangan tertentu karena didasari oleh adanya pertentangan antara aturan-aturan hukum tersebut dengan kesadaran hukum masyarakat. Pertentangan tersebut, baik secara linier maupun diametral akan menimbulkan friksi secara tajam di masyarakat. Selain penolakan, tidak menutup kemungkinan adanya upaya untuk menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena sekali lagi, jiwa rakyat adalah supremasi tertinggi, dan karenanya aturan hukum harus tunduk dengan jiwa rakyat tersebut.
Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah atas penolakan sekelompok masyarakat terhadap aturan perundang-undangan tertentu karena didasari oleh adanya pertentangan antara aturan-aturan hukum tersebut dengan kesadaran hukum masyarakat.  Pertentangan tersebut, baik secara linier maupun diametral akan menimbulkan friksi secara tajam di masyarakat. Selain penolakan, tidak menutup kemungkinan adanya upaya untuk menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena sekali lagi, jiwa rakyat adalah supremasi tertinggi, dan karenanya aturan hukum harus tunduk dengan jiwa rakyat tersebut.
Menilik lebih jauh tentang ajaran mazhab Sejarah, volksgeist (jiwa rakyat) merupakan  pisentrum paradigma yang dibangun dalam suatu konsep abstrak. Volksgeist menjadi teramat penting, terutama karena konsep ini menurut mazhab Sejarah adalah akar dari hukum itu sendiri. Hukum yang baik tidak akan terbangun jika volksgeist tidak dijadikan sebagai patron dalam perumusan dan pelaksanaannya.
Sebagaiman pendapat Charles Stamford, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa hukum yang dipenuhi dengan ketidakpastian (ketidakteraturan) tidak akan mungkin dapat mewujudkan ketertiban yang sempurna, baik dalam hukum itu sendiri maupun di masyarakat.
Pendapat C.Sampford ini dikenal dengan “the disorder of law” atau ketidakteraturan hukum. Sampford melihat bahwa hukum tidak cukup (not suficient) untuk dianggap sebagai sebuah sistem, karena antara satu aspek dengan aspek lainnya tidak saling berpadu secara linier dan reliabel. Misalnya, koruptor yang seharusnya dihukum berat (sesuai amanat undang-undang) dalam kenyataannya ternyata banyak yang dihukum “ringan” bahkan tidak jarang divonis bebas, meskipun secara formil-materil terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Belum lagi perilaku yuris yang sangat jauh dari idealitas aturan-aturan hukum, yang tidak menjadikan kode etik profesi sebagai patronase dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya; yaitu penegakan supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima.
Perundangan-undangan sebagai the ultimate law instrument (instrumen utama hukum) banyak yang bertentangan dengan kehendak dan keinginan masyarakat (kesadaran hukum masyarakat). Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang tidak jarang menabrak aspirasi masyarakat akan sebuah tatanan yang berkeadilan.
Memang, harus diakui undang-undang sejatinya bukanlah produk hukum, melainkan produk politik, akan tetapi kenyataan tersebut tidak boleh secara a priori dijadikan sebagai justiikasi atas kondisi demikian. Sekalian aturan selaiknya mendasarkan diri pada apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga pada penerapannya tidak menemui karang keras.
Mazhab Sejarah melihat hukum sebagai entitas yang organis-dinamis. Hukum bagi mazhab ini, dipandang sebagai sesuatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat.
Hukum bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya undang-undang tidak begitu penting. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya dan karenanya, benar argumentasi mazhab Sejarah, yaitu hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan dan bersumber dari jiwa rakyat.

c.    Mazhab Sejarah dalam Pembangunan Hukum Nasional
Menilik lebih jauh tentang ajaran mazhab Sejarah, volksgeist (jiwa rakyat) merupakan episentrum paradigma yang dibangun dalam suatu konsep abstrak. Volksgeist menjadi teramat penting, terutama karena konsep ini menurut mazhab Sejarah adalah akar dari hukum itu sendiri. Hukum yang baik tidak akan terbangun jika volksgeist tidak dijadikan sebagai patron dalam perumusan dan pelaksanaannya.
Pembangunan hukum nasional sebagai salah satu sub tema dalam makalah ini coba dibahas dan dilakukan semacam dekonstruksi paradigmatik. Hukum nasional saat ini penulis anggap masih jauh dari kondisi ideal, masih belum cukup (not sufficient) untuk mewujudkan keadilan hukum tertinggi. Penulis mengacu pada beberapa argumentasi.
Pertama, mengutip pendapat Charles Stamford, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo , yang mengatakan bahwa hukum yang dipenuhi dengan ketidakpastian (ketidakteraturan) tidak akan mungkin dapat mewujudkan ketertiban yang sempurna, baik dalam hukum itu sendiri maupun di masyarakat. Pendapat Sampford ini dikenal dengan “the disorder of law” atau ketidakteraturan hukum. Sampford melihat bahwa hukum tidak cukup (not suficient) untuk dianggap sebagai sebuah sistem, karena antara satu aspek dengan aspek lainnya tidak saling berpadu secara linier dan reliabel. Misalnya, koruptor yang seharusnya dihukum berat (sesuai amanat undang-undang) dalam kenyataannya ternyata banyak yang dihukum “ringan” bahkan tidak jarang divonis bebas, meskipun secara formil-materil terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Belum lagi perilaku yuris yang sangat jauh dari idealitas aturan-aturan hukum, yang tidak menjadikan kode etik profesi sebagai patronase dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya; yaitu penegakan supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima.
Kedua, perundangan-undangan sebagai instrumen utama hukum (the ultimate law instrument) banyak yang bertentangan dengan kehendak dan keinginan masyarakat (kesadaran hukum masyarakat). Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang tidak jarang menabrak aspirasi masyarakat akan sebuah tatanan yang berkeadilan. Memang, harus diakui undang-undang sejatinya bukanlah produk hukum, melainkan produk politik, akan tetapi kenyataan tersebut tidak boleh secara a priori dijadikan sebagai justiikasi atas kondisi demikian. Sekalian aturan selaiknya mendasarkan diri pada apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga pada penerapannya tidak menemui karang keras. Ambil contoh, RUU tentang Perkawinan yang baru memuat aturan tentang pemidanaan bagi pelaku nikah siri (nikah yang tidak tercatat di KUA atau nikah di bawah tangan) dan nikah mut’ah (nikah kontrak). Pelaku kedua bentuk nikah tersebut akan dikenakan sanksi pidana di kisaran 3 – 6 bulan penjara dan/atau denda minimal Rp. 5.000.000. Belum lagi disahkan, RUU ini telah mendapat kecaman dari berbagai pihak dengan berbagai dalih. Sebut saja, perzinaan akan makin marak, melanggar hak konstitusional individu untuk menikah, bertentangan dengan ajaran Islam, dan sebagainya. Diakui atau tidak, RUU ini sebanarnya punya maksud yang baik, yaitu melindungi harkat dan martabat wanita dan anak-anak, yang sejauh ini diklaim sebagai pihak yang paling dirugikan atas kedua bentuk praktik nikah tersebut. Pun demikian, dasar argumantasi dimaksud tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat, bahkan secara diametral menentang habis-habisan draft RUU tersebut. Apa yang salah dengan RUU ini? Tampaknya, pengkajian secara massif di wilayah filosofis-sosiologis serta share informasi yang belum signifikan antara pemerintah yang menjadi akar masalahnya. Karena, sekali lagi undang-undang ini dibuat untuk mengatur kepentingan masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat selaiknya dijadikan sebagai patron.
Ketiga, penegakan hukum oleh yuris banyak menunjukkan indikasi yang “tidak humanis” alias “tidak bijaksana”. Bagaimanapun, masyarakat adalah elemen terpenting dalam penegakan hukum dan, karenanya, masyarakat harus ditempatkan pada posisi yang laik. Yuris tidak seharusnya memperlakukan masyarakat secara bias humanis, melainkan harus melihat apa keinginan mereka, harapan-harapan, dan kebangunan relasi resiprokal antara masyarakat dengan yuris. Dengan mengacu pada kondisi-kondisi demikian, jiwa rakyat (volksgeist) akan menjadi bingkai yang mengawal penegakan hukum dan mengarahkan kebangunan relasi yang sinergi antara yuris dengan masyarakat sebagai bagian penguatan hukum (empowering of law).
Ketiga argumentasi dasar tersebut yang dikemukakan penulis pada dasarnya merupakan pengejawantahan poros pemikiran mazhab sejarah, yaitu jiwa rakyat (volksgeist) yang dinamis. Jiwa rakyat, dalam konteks ini dijadikan sebagai aras misi “dekonstruksi” hukum nasional. Dekonstruksi dimaksud tidak secara frontal merombak dan meruntuhkan tatanan hukum yang telah ada, melainkan evaluasi dan perbaikan pada beberapa sisi masing-masing sub sistem hukum, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum. Upaya dekonstruksi ini lebih kepada upaya untuk memberdayakan hukum (empowerment) agar hukum benar-benar dapat menjadi panglima bagi pencapaian visi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini pulalah yang oleh Satjipto Rahardjo dibahasakan sebagai negara hukum yang membahagiakan rakyatnya, karena menjadikan rakyat sebagai subjek utama yang terhormat dalam pembangunan hukum nasional.
Dalam konteks ke Indonesiaan , hukum tidak tertulis di Indonesia sejak jaman VOC hingga pemerintahan Raffles di Hindia Belanda, kedudukan hukum adat Indonesia (Hindia Belanda) dianggap tidak sejajar dengan derajat hukum Eropa yang berlaku bagi kaum kolonial Belanda. 
Pada 1838, Belanda melakukan kodifikasi terhadap semua aturan hukum, terutama dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang. Dalam hukum dikenal asas konkordansi. Asas ini yang mendasari pemerintah kolonial Belanda untuk memberlakukan unifikasi hukum di daerah jajahannya termasuk Hindia Belanda. Ide ini ditentang Van Der Vinne dengan dalil bahwa sebagian besar penduduk Hindia Belanda beragama islam dan memegang teguh adat istiadat mereka. Bagi Van Der Vinne, adalah suatu kejanggalan jika hukum eropa versi Belanda diterapkan di Hindia Belanda.
Pada 1848, kodifikasi hukum perdata dan hukum dagang telah selesai dikerjakan. Tugas ini dikerjakan H.L Wichers, suksesor dari Paul Scholten, seorang ahli hukum Belanda yang ditunjuk untuk mengganti Hageman yang dinilai pemerintah gagal menjalankan tugas kodifikasi hukum Belanda. Pada 1904, demi kepentingan keamanan dan ekonomi di Indonesia, pemerintah Belanda mengusulkan suatu RUU untuk mengganti hukum adat di Hindia Belanda dengan hukum Eropa. Usul itu dimentalkan Van Vollenhoven. Van Vollenhoven tidak setuju dengan kodifikasi dan unifikasi hukum di Hindia Belanda. Ia berdalil, “tidak  mungkin menerapkan suatu hukum yang hanya berlaku bagi sebagian kecil penduduk dalam suatu bangsa.”
Pemerintah Belanda menyikapi dalil Van Vollenhoven itu. Pada 1927, van Vollenhoven ditugaskan Pemerintah Belanda untuk melakukan pencatatan sistematis terhadap hukum adat Hindia Belanda melalui suatu penelitian yang dikerjakannya di Leiden. Sepanjang karirnya sebagai guru besar hukum adat Hindia Belanda di Universitas Leiden, Van Vollenhoven tercatat hanya dua kali mengunjungi Hindia Belanda, yaitu pada 1907 dan 1923. Pada 1 Januari 1926, lembaga legislatif Belanda mengakui dan mempertahankan eksistensi hukum adat Hindia Belanda melalui Pasal 131 ayat 2b IS yang bunyinya: “bagi golongan Bumiputera, timur asing, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama dan kebiasaan-kebiasaan mereka.”   Berkat van Vollenhoven, hukum adat Hindia Belanda diperlakukan sebagai hukum yang berlaku bagi golongan bumiputera asli. Pengaruh Mazhab sejarah yang dianut van Vollenhoven telah berhasil menempatkan hukum kebiasaan rakyat di Indonesia sejajar dengan undang-undang yang

D. Kelemahan Mashab Sejarah
Banyak penulis menganggap pemikiran Savigny, tidak dapat dimanfaatkan dalam konteks hukum modern karena sudah demikian kompleksnya permasalahan suatu rakyat di era modern ini. Apalagi negara yang sudah mengalami gejala globalisasi.
Menurut hemat penulis, tetap bermanfaat teori Savigny dalam melihat hukum yang muncul dari tingkah laku individu dalam masyarakat. Tidakkah kita sadar bahwa tidak akan pernah terakui yang namanya “Hukum Adat” tanpa melalui riset dari beberapa pakar hukum seperti Van Volenhoven dan Ter Haar, dan hal itu melihat Hukum sebagai pencerminan dari jiwa Rakyat. Tidak jauh berbeda dengan para ahli sosiologi juga amat berutang budi dengan Savigny “karena ia membukakan mata bagi peneliti sosiologi bahwa sistem hukum sesungguhnya tidak terlepas dari sistem sosial yang lebih luas, di mana ke dua sistem itu saling mempengaruhi.”
Kelemahan dari teori Savigny, yakni tidak mengakui pentingnya kodifikasi hukum. Padahal dalam masyarakat modern, ketentuan hukum yang tertulis diperlukan demi terwujudnyaa kepastian hukum. Terutama untuk menghindari tindakan kesewenang-wenangan dari kekuasaan yang absolut.
Kelemahan lain bahwa dengan mengakui hanya hukum yang hidup di tengah masyarakat  dan mengabaikan arti pentingnya hukum kodifikasi, maka dapat menimbulkan ketidak pastian hukum.  Sebab seringkali hukum yang hidup di tengah masyarakat berbentuk hukum tidak tertulis, tersimpan dalam memorie pada pemangku hukum, dan para pemangku hukum tidak tertulis lambat laun meninggal dan dilanjutkan oleh pemangku hukum berikutnya yang memiliki perbedaan pemahaman dan tafsir atas hukum tidak tertulis itu, sehingga pada suatu saat dan suatu tempat muncul tafsir tafsir hukum adat yang tidak sama atas sebuah masalah.
Oleh karena itu menarik jika kita mengamati sumbangan dari hasil penelitian Sir Henry Maine (1822-1888) yang mengemukakan “bahwa  hubungan hukum antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam suatu bentuk yang disebut kontrak, dibuat secara sadar dan sukareka oleh pihak-pihak yang berkenaan. Di sisi lain hukum sendiri pada masyarakat berkembang melalui tiga tahapan yakni fiksi, equity dan perundangan. Artinya, Maine di sini tidak mengenyampingkan peranan perundangan dan kondifikasi pada masyarakat modern.





Bahan Bacaan
Anonim, Sejarah Hukum Adat Indonesia, http://mklhadat.blogspot.com (tanggal akses 22 Sept 2010)
“Cornelis van Vollenhoven”, Wikipedia, The Free Encyclopedia, tanggal akses 21 September 2010.
“Jurisprudence”, Wikipedia, The Free Encyclopedia, tanggal akses 22 Sept 2010.
Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, 2004.
Rusli Muhammad, Kajian Kritis Terhadap Teori Hukum Positif, Jurnal Hukum Respublica, Vol. 5, No. 2 Tahun 2006: 221-236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar