TEORI KEADILAN JOHN RAWL
OLEH : DR. H.ZAINAL ASIKIN,SH,SU
Masyarakat adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan di antara individu. Namun, yang terjadi dalam masyarakat tidak hanya bersifat cooperate melainkan juga kompetitif, bahkan tidak jarang saling menjatuhkan di antara yang lain. Kenyataan ini memberikan ruang pada konsep keadilan, bagaimana mengatur kehidupan individu-individu yang berbeda dan sama-sama mempunyai kepentingan sendiri, sehingga bisa berjalan bersama saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak lain. Tulisan ini mengungkap pemikiran John Rawls dalam bukunyaA Theori of Justice yang berusaha menjawab persoalan tersebut.
Peta Pemikiran Etika.
Sebelum berbicara tentang Rawls, perlu dipetakan dulu pemikiran etika secara keseluruhan, sehingga diketahui posisi konsep keadilan Rawls dalam kancah pemikiran etika. Harus dikatakan bahwa etika bukan disiplin ilmu tersendiri yang terpisah dari lainnya melainkan justru merambah pada seluruh sendi keilmuan, teoritis maupun praktis. Ia adalah salah satu dari sekian fondasi peradaban manusia. Di sini akan dilihat persoalan-persoalan etika dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusannya, etika dalam dataran normatif (teoritis), sosial dan hukum.
A. Pertama, dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusan moral.
Ada tiga kelompok pemikiran dalam masalah ini.
(1) Antara ekspresi dan tuntutan (assertion). Menurut kelompok ini, sebuah tindakan adalah wujud dari ekspresi langsung dari pelaku atau sikap yang tanpa harus dipikir lebih dulu. Artinya, sumber keputusan moral adalah reaksi langsung, insting dan gharizah tanpa berkaitan dengan kondisi lingkungan (lokus dan tempus). Sebaliknya, menurut yang lain, sumber tindakan moral adalah adanya tuntutan dari lingkungan, misalnya, sikap ketika menghadap raja berbeda dengan ketika menghadapi bawahan.
(2) Antara pernyataan dari rasa pelaku (personal taste) dan pilihan-pilihan yang dihadapi pelaku (personal preference). Menurut kelompok ini, sumber tindakan moral bukan gharizah atau kondisi tertentu melainkan pada perasaan yang bersangkutan. Sebaliknya, lawan kelompok ini menyatakan sebuah tindakan dilakukan setelah seseorang mempertimbangkan berbagai alternatif. Artinya, sumber keputusan moral adalah rasio setelah mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada.
(3) Antara subjektif dan objektif. Menurut kelompok ini, moralitas lebih merupakan penilaian subjektif pelaku. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk, itu adalah subjektif. Sebaliknya, menurut yang lain, moralitas adalah objektif, sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya, ketika seseorang menyatakan meja itu hijau, adalah karena kondisi riil meja adalah hijau.
B. Kedua, dataran etika normatif (teoritis). Di sini ada beberapa kelompok pemikiran.
(1) Teleologis, paham bahwa baik-buruknya tindakan etis ditentukan oleh tujuan tertentu. Karena itu, menurut kaum teleolog, etika adalah konsep yang relatif terhadap tujuan. Termasuk dalam kategori ini, antara lain; (a) etika eudamonia, bahwa baik buruknya tindakan manusia dilihat dari sejauh mana ia mampu mengantarkan si pelaku pada kebahagiaan tertinggi. Tokoh utamanya adalah Aristoteles; (b) etika egoisme, bahwa baik buruk perbuatan individu diukur dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan pribadi si pelaku.Tokohnya, antara lain, GC. Scotti dan Max Sterner; (c) etika utilitarianisme, bahwa benar salahnya perbuatan dilihat pada dampaknya dalam memberikan sebanyak mungkin kebaikan, pada diri pelaku dan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang lain.7 Tokohnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873).
(2) Deontologis, kebalikan dari teleologis, bahwa baik buruk tindakan tidak dilihat pada tujuan atau konsekuensi tindakan melainkan pada perbuatan itu sendiri, dengan merujuk pada aturan perilaku formal, di mana aturan perilaku formal ini dihasilkan dari intuisi atau a priori. Misalnya, berbohong adalah jelek, karena perbuatan bohong itu sendiri secara moral memang tidak baik, meski ia dilakukan untuk tujuan-tujuan yang baik. Tokoh pemikiran etika ini adalah Immanuel Kant (1724-1804).
(3) Relativisme, bahwa dalam putusan-putusan moral tidak ada kriteria yang absolut. Semua tergantung pada kebudayaan masing-masing individu, sehingga nilai moralitas masing-masing orang atau masyarakat akan berbeda. Pemikiran ini dianut, antara lain, oleh Protagoras, Pyrrho, Westermack, Joseph Fletcher dan kaum skeptis.
(4) Nihilisme, suatu paham yang menyangkal keabsahan alternatif positif manapun. Menurut paham ini, semua putusan nilai etis telah kehilangan kesahehannya, sehingga tidak ada satu pun yang bisa digunakan sebagai patokan etis. Paham ini, antara lain, diberikan oleh Nietzche (1844-1900), Schopenhauer dan Giorgias.(5) Universalisme, bahwa apa yang dianggap baik oleh seseorang harus juga dianggap baik atau benar oleh orang lain dalam situasi yang sama. Misalnya, jika A tidak boleh mencuri dalam situasi tertentu, maka B, C, D dan seterusnya juga tidak boleh mencuri dalam situasi yang serupa.
C. Ketiga, etika dalam kaitannya dengan persoalan masyarakat (sosial).
Ini lebih bersifat praktis dan langsung menjawab persoalan yang timbul, terbagi dalam tiga pemikiran.
(1) Dalam kaitannya dengan hukum sosial, etika membahas persoalan seperti, euthanasia, aborsi, pengawasan senjata, kebebasan berbicara, tentang hak kepemilikan dan perlindungan satwa.
(2) Dalam hubungannya dengan peran negara, etika berbicara tentang kebebasan, hak azazi manusia (HAM), demokrasi dan keadilan.
(3) Dalam kaitannya antara hak dan kewajiban, etika membahas persoalan keadilan dan hak-hak pribadi.
D. Keempat, etika dalam hubungannya dengan hukum (law).
Dalam hal ini muncul berbagai teori. Antara lain
, (1) Teori hukuman (punishment), bahwa yang berbuat salah mesti dihukum, bisa berupa pemberian ganti rugi (retribution), memberi balas jasa (restitution), atau memberi manfaat pada yang dizalimi (utilitarian).
(2) Teori tanggung jawab (responsibility), bahwa siapa yang berbuat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di sini berkaitan dengan, apakah tindakan tersebut dilakukan karena tidak-tahu, adanya paksaan atau tekanan, atau karena kesalahan semata.
(3) Teori kesengajaan berbuat (intentional acts) dan ketidaksengajaan bertindak (unintentional acts), bahwa berkaitan dengan hukum, perlu dilihat apakah tindakan tersebut disengaja (direncanakan) atau tidak direncanakan. yang samar, “tidak merugikan pihak lain”. Karena itu, di sini harus ada batasan lebih lanjut, yaitu prinsip perbedaan. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang berada dalam pososi yang menguntungkan harus ikut berperan aktif dalam memperbaiki kondisi mereka yang kurang beruntung. Perbaikan kondisi ini berupa pengadaan prospek yang sama untuk meraih kedudukan dan fungsinya di mana pembagian sarana social ekonomi tersebut dikaitkan. Artinya, kegiatan masyarakat yang diasumsikan memenuhi tuntutan kebebasan yang sama (prinsip I) dan tuntutan kesamaan kesempatan yang fair (prinsip II) hanya akandian ggap adil jika perolehan sarana social ekonomi yang diterima pihak yang menguntungkan dipergunakan untuk memperbaiki kondisi pihak-pihak yang kurang menguntungkan. Sekarang marilah kita melihat skema dari prinsip keadilan Rawls dan penjelaskan atas keempat interpretasi yang mungkin terjadi.
1. Prinsip Keadilan Efisiensi dan Kesamaan
Prinsip ini merupakan perpadan antara (a. prinsip efisiensi, dan (b.) kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat. Sistem ini mengandaikan terpenuhinya prinsip I, “kebebasan yang sama”. Diasumsikan juga oleh sistem ini bahwa keadaan ekonomi secara kasar berada pada pasar bebas. Bagi sistem KA, suatu kegiatan stuktur social-ekonomi dianggap adil jika setiap orang mempunyai kebebasan mewujudkan bakat dan kemampuannya untuk mendapatkan apa yang diinginkan sejauh tidak membawa membawa kerugian pada pihak lain.
Rawls mengkritik sistem ini karena bisa melahirkan kesewenang- wenangan. Kesewenang-wenangan ini muncul berdasarkan atas kenyataan bahwa masing-masing individu mempunyai bakat dan keberuntangan alami yang berbeda. Ada sebagian individu yang mempunyai bakat dan keberuntungan alami yang baik, sementara ada sebagian lainnya yang mempunyai bakat dan keberuntungan kurang bagus. Berdasarkan bakat dan kemampuan yang menguntungkan tersebut suatu pihak dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, sementara pihak lain hanya puas dengan apa yang mereka dapatkan. Karena itu, mereka tidak bisa diberikan fasilitas dan kebebasan yang sama. Tegasnya, interpretasi ini tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah keadilan.
(2) Kesamaan Bebas (KB).
Interpretasi ini dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pertama (KA). Koreksi dibuat dengan memperluas prinsip kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat (b.1), menjadi kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2). Hasilnya, dengan pengandaian prinsip I, system KB merupakan perpaduan antara prinsip efisiensi (a.1) dengan kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2). Dengan interpretasi seperti ini, persoalan tentang adanya bakat-bakat dan kemampuan yang berbeda dapat diatasi. Yaitu, misalnya, diberikan sarana dan latihan yang lebih pada bakat-bakat yang kurang guna mengejar dan memperoleh kedudukannya dalam sosial, sehingga bisa menghindari kesewenang-wenangan.
Namun, Rawls juga masih keberatan atas interpretasi model kedua ini. Alasannya, KB belum memberikan batasan yang jelas dan tegas tentang konsep “tidak membawa kerugian pada orang lain”. Akibatnya, KB masih tidak berbeda dengan KA dan program pemberian sarana serta pelatihan dalam rangka memberikan prospek bagi mereka yang secara alami kurang beruntung menjadi percuma. Artinya, keuntungan pihak-pihak tertentu masih banyak dipengaruhi oleh loteri alam dan keberuntungan. Karena itu, perlu interpretasi baru yang selain memberikan prospek yang sama pada pihak-pihak yang berbeda juga memperhatikan tuntutan perkembangan bagi mereka yang kurang beruntung oleh alam.
(3) Aristokrasi Alam (AA).
Interpretasi ketiga ini merupakan perpaduan antara prinsip perbedaan (a.2) dengan prinsip kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat (b.1). Secara teoritis, system AA sudah mengajukan tuntutan bagi perkembangan dari yang kurang beruntung. Namun, dalam pelaksanaannya, hal itu masih diserahkan pada kebaikan hati yang beruntung tanpa ada aturan tegas dan sangsi. System ini menerapkan prinsip “noblesse oblige” (darah kebangsawanan membawa kewajiban). Artinya, mereka yang beruntung secara nasib dibiarkan memperoleh kekayaan yang besar karena nantinya mereka berkewajiban untuk membantu dan menaikkan nasib kelompok yang secara alamiah kurang beruntung. Di tanah air, system ini agaknya pernah diterapkan pada masa orde baru. Saat itu, para konglomerat diberi modal dan kesempatan besar dengan harapan bahwa setelah berhasil mereka diharapkan akan membantu usaha kaum usaha kelas menengah dan kecil.
Rawls tidak sepakat juga dengan system ketiga ini. Menurutnya, system ini masih memberi peluang pada kesewenang-wenangan. Sebab, hanya berdasarkan kebaikan hati tanpa aturan yang tegas dan sangsi, tidak ada jaminan bahwa system ini akan berjalan seperti yang diharapkan. Selain itu, pembagian kekayaan dalam system ini masih sangat ditentukan oleh mereka yang secara alamiah beruntung. Kenyataan yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru juga menunjukkan kebenaran analisa Rawls ini.
(4) Kesamaan Demokratis (KD).
System KD ini dibangun untuk mengatasi kelemahan-kelemahan system sebelumnya sekaligus menggunakan kelebihan-kelebihannya, khususnya system KB dan AA. Dari KB diambil keunggulan “prospek yang sama” sedang dari AA diambil keunggulan “memperkembangan mereka yang secara alamiah kurang beruntung”. Artinya, system KD merupakan perpaduan antara prinsip perbedaan (a.2) dengan prinsip kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2).
Bagaimana kedua prinsip ini digabungkan? Menurut Rawls, tuntutan bahwa yang beruntung harus berperan dalam mengembangkan prospek bagi mereka yang kurang beruntung, dilakukan dengan cara menyediakan sarana dan pelatihan. Yaitu, mereka yang beruntung wajib menyediakan dana untuk penyediaan sarana dan pelatihan bagi kalangan yang kurang beruntung dalam rangka meningkatkan kemampuan dan menyamamakan prospek. Dengan ketentuan ini, kesewenang-wenangan dalam pembagian kekayaan bisa diatasi. Ini merupakan interpretasi yang terbaik dari sistem keadilan, dan Rawls berharap sistem kesamaan demokratis (KD) ini bisa menjadi pedoman untuk menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan terpenuhinya keadilan sebagaif airness.
Dalam akhir tulisan ini disampaikan beberapa tanggapan berkaitan dengan
teori keadilan sosial Rawls.
1. Berkaitan dengan peta pemikiran etika di atas, teori keadilan Rawls agaknya berada dalam persoalan tarik menarik antara keadilan & kebebasan, dan antara hak dan kewajiban, yang merupakan sub-bagian dari pembahasan soal etika sosial.
2. Dari sisi teoritis, apa yang disampaikan Rawls sebenarnya menarik. Ia membangun teorinya sebagai alternatif atas perilaku etika utilitarian yang dianggap tidak berkeadilan. Namun, teorinya agaknya hanya benar-benar sebuah teori yang tidak banyak bersinggungan dengan fakta sosial, sehingga sulit diaplikasikan meski telah diberikan interpretasi keadilan secara lebih kongkrit. Bagaimana cara membagi kesempatan secara fair, misalnya. Ini adalah sesuatu yang sulit karena menyangkut kekuatan motivasi dan rencana hidup masing-masing orang yang berbeda. Spenello menyatakan bahwa teori keadilan Rawls hanya mimpi.
3. Dari sudut teknis sebuah teori keadilan, teori Rawls juga patut dipertanyakan. Soal gagasan “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorenca), khususnya. Ini sulit diterima nalar dan bahkan sulit dibayangkan. Bagaimana mungkin masyarakat yang diasumsikan rasional, yang harus tahu benar tentang kepentingannya sendiri, kepentingan orang lain, persoalan politik dan seterusnya tetapi pada waktu yang sama dituntut juga untuk tidak tahu tentang diri sendiri dan masyarakatnya. Dituntut tidak boleh tahu tentang bakat alaminya, tentang kepentingan dan tujuan hidupnya, bahkan jenis kelaminnya. Seperti ditulis
Menurut Robert Paul Wolff, teori keadilan Rawls ini tidak dapat diterima oleh filsafat ilmu pengetahuan. Karena :
1. Berkaitan dengan makna keadilan. Keadilan –sebagaimana juga ditulis Wallance Matson44-- adalah persoalan benar dan salah, tetapi Rawls justru memberikan prinsip kebebasan. Kebebasan bukan paradigma keadilan melainkan berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut dengan kompetisi soal ekonomi dalam kehidupan sosial. Kenyatannya, Rawls justru lebih banyak berbicara tentang distribusi kekayaan. Karena itu, Rawls sesungguhnya tidak mendiskusikan tentang keadilan melainkan distribusi kekayaaan.
2 Berkaitan dengan kerangka dasar teori yang digunakan. Menurut Rawls, ia membangun teorinya berdasarkan kerangka teori Locke, Rousseau dan Kant. Khusus tentang teori Kant, ia mendasarkan ethikanya pada tiga prinsip; otonomi, imperatif kategoris dan rasionalitas. Akan tetapi, Rawls justru membuat asumsi dasar masyarakat dengan veil of ignorence dan original position. Menurut Oliver Johnson,45 ini terjadi mungkin karena Rawls salah memahami prinsip-prinsip dasar etika Kant di atas, sehingga ia bukan Kantian melainkan justri anti-Kantian.
3. Berkaitan dengan konsep Rawls tentang keluarga sebagai lembaga pendidikan keadilan, muncul persoalan, bagaimana dengan tradisi kurang terdidik dan terbelakang, dalam arti biasa hidup dalam kekerasan. Keluarga seperti ini sulit diharapkan mampu memberikan pendidikan keadilan karena terbiasa dalam kekerasan dan penindasan. Konsep Rawls ini juga akan terbentur dengan model tradisi yang berbeda, atau tradisi yang tidak menunjang kearah pembentukan masyarakat yang diangankan Rawls
Selasa, 31 Januari 2012
Minggu, 29 Januari 2012
Mataram Undercover
MATARAM UNDERCOVER
PENELITIAN TENTANG PENGARUH RUMAH KOS BAGI TINDAKAN PIDANA DI KOTA MATARAM , PENGGUNAAN NARKOBA, dan HUBUNGAN SEKS PRA NIKAH BAGI PELAJAR DI KOTA MATARAM
OLEH DR.H ZAINAL ASIKIN,SH,SU
A. PENDAHULUAN
Kota adalah pusat segala aktifitas manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, pemerintahan , pendidikan dan sebagai pusat akulturasi budaya. Karena membawa berbagai pesona dan harapan , maka acakali kota menjadi tumpuan semua pihak, sebagai tempat harapan digantungkan, sebagai asa dan kekecewaan terlantarkan.
Hiruk pikuk dan gemerlapan kota acapkali membawa “ kota “ sebagai pertemuan dua kutub yang berlawanan yaitu kutub hitam yang melambangkan kekejaman dan kemasiatan, serta berhadapan dengan dunia putih yang mencitrakan kesucian dan keuhrawian. Pilihan hitam putih terkadang sangat tipis setipis kulit ari, karena terkadang manusia yang memiliki hati putih, ketika menjalani kehidupan kota yang kejam maka “ sang putih “ tergelapar menjadi hitam kelam. Akan tetapi kadangkali seorang yang menamatkan pendidikannya pada dunia yang hitam dengan menjadi sang perampok dan pencopet, tetapi berubah menjadi sang pendakwah. Ya itulah kota yang membawa berbagai kisah misteri.
Mataram sebagai sebuah kota, tentunya tidak lepas`dari fenomena di atas, yaitu fenomena kehidupan hitam putih yang terkadang sulit untuk dimengerti. Ada memang secercah harapan dari pemerintah kota untuk menjadikan kota Mataram menjadi kota yang “ Maju “ dan “ Religius “. Sebuah cita cita yang mempesona karena ingin menciptakan kota yang menampilkan sosok yang modern tapi tidak gemerlap, maju tapi tidak seronok, canggih tapi tidak ruwet, ramai tapi tertib, kaya tapi secara halal… dan berbagai impian yang berada pada dimensi yang berlawanan. Bisakah ? itulah pertanyaan yang selalu terngiang.
Gagasan membuat Perda Anti Maksiat, Perda Miras, Perda Rumah Kos adalah contoh sebuah perjuangan untuk menciptakan sebuah kota yang bersih dari kemaksiatan, sebuah kota yang maju tanpa minuman keras, sebuah kota yang tanpa perlu tempat esek esek.
Gagasan itu tentunya tidak akan berhasil tanpa didukung partisipasi semua lapisan masyarakat. Oleh sebab itu tulisan dan hasil penelitian ini merupakan salah satu gambaran Kota Mataram yang semestinya tidak boleh terjadi untuk menjadikan kota ini menjadi kota IBADAH.
Tulisan dbawah ini merupakan hasil penelitian dengan mempergunakan metode partisipastif atau terlibat langsung untuk mengetahui kehidupan Mahasiswa dan Pelajar i Mataram dengan berbagai penomena yang ada didalamnya yang dibagi dalam 3 karegori yaitu :
a. Penomena Rumah Kos;
b. Penomena Penggunaan Narkoba
c. Penomena Sek Pra Nikah.
B. METODE PENELITIAN
B.1. Tipe penelitian : penelitian ini bersifat eksploratif untuk menggali persoalan persoalan yang terjadi berkenaan dengan tema penelitian secara mendalam, dan penggalian ini dibutuhkan waktu berbulan bulan untuk satu responden penelitian agar terungkap dan diperoleh jawaban yang dapat dipercaya ;
B.2. Metode Pengumpulan data/Informasi
a. Partisipastif ( berusaha berkenalan dengan korban dan pelaku) dan secara investigasi secara diam diam mewawancarainya ;
b. Metode observatif.( melakukan pemindaian lokasi lokasi berpura pura sebagai pengunjung)
c. Metode terlibat ( harus ikut kos untuk memantau kegiatan sasaran)
d. Snow Bolling Metode, metode berantai dari teman ke teman untuk megetahui kelompok sasaran ( melalui Internet, Face Book, HP, SMS, )
B.3.. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Mataram dengan memilih secara purposive terhadap beberapa rumah kos yang berada di Kecamatan Mataram, Cakranegara dan Ampenan. Dan dilakukan penelitian terhadap 8 hotel Melati di Kota Mataram;
B.4. Waktu Penelitian : penelitian ini dilakukan dalam tanggang waktu Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2008.
B.5. Responden
Dalam penelitian ilmu ilmu social bahwa jumlah ( kuantitas ) responden tidaklah menjadi ukuran yang utama. Tetapi yang lebih penting adalah kualitas responden. Berpijak dari pandangan di atas maka responden yang ditemukan dalam penelitian sebanyak 150 responden terdiri dari, Pemuda Putus Sekolah, Mahasiswa, Pelajar SLTA dan Pelajar SMP.
Untuk memperoleh para responden tersebut dipergunakan system snow bowling system dengan mencari hubungan satu responden dengan responden yang lain yang tergulir sehingga ditemukan beberapa responden dari satu responden ke responden yang lain.
B.6. Analisis
Berdasarkan data yang terkumpul kemudian diadakan analisi secara mendalam dengan conten analysis. Dengannalisis isi tersebut berhasil dibuat laporan yang terangkai seperti tersebut dalam laporan penelitian ini.
C. HASIL PENELITIAN
1. MISTERI RUMAH KOS KOSAN
Rumah kos kosan diberbagai daerah telah menjadi suatu masalah yang serius untuk segera diatasi, karena telah menyangkut kepentingan bangsa khusunya menyangkut pembangunan mental dan moral generasi muda.
Dalam suatu tulisan dan hasil penelitan di Purwokerto telah diungkap bahwa rumah kos telah dijadikan sarang perbuatan yang tidak bermoral antara generasi muda yang berlainan jenis.
Pada rumah kos-lah dua orang anak muda yang sedang berpacaran dapat secara bebas melakukan hubungan suami isteri tanpa ada yang mampu melarang dan memberikan sanksi. Bahkan secara gambling ditulis bahwa seks bebas sudah meng gejala di kalangan mahasiswa di Purwkerto sehingga muncul istilah pacarku adalah bojoku ( lihat tulisan Masardy dengan judul Fenomena Anak Kost, Pacarku Bojoku, Masardycom, tanggal 16 Juli 2010).
Tulisan yang sama juga dapat dibaca dari artikel saudara Arif Fajar Ardianto dengan menyatakan “ …sudah menjadi rahasia umum, di beberapa wilayah, terutama di tengah kota Surabaya, bermunculan rumah kos yang menawarkan fasilitas yang menggiurkan, yakni terjaminnya privasi, serta kebebasan penuh terhadap penyewa untuk memasukan pasangan yang bukan mukhrimnya
( Tulisan dari Arif Fajar Ardianto, tanggak 17 September 2010, ,Beritajatim.com).
Berdasarkan kenyataan di atas maka menjadi tantangan bagi kita di Mataram, bagaimanakan dampak maraknya pembangunan rumah kos dalam perspektif pembanguna moral.
Pembangunan rumah rumah kos di Kota Mataram dalam 10 tahun terakhir ini telah menjamur seiring dengan pesatnya kebutuhan masyarakat yang memamfaatkan rumah sebagai sarana mencari nafkah. Sisi lain bahwa pangsa pasar kos kosan menjadi kebutuhan yang mendesak akibat banyaknya pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan rumah kos (terutama bagi mahasiswa yang berasal dari luar daerah).
Rumah kos sebenarnya memiliki sisi positip dalam rangka membantu kebutuhan masyarakat sepanjang keberadaan rumah kos mememenuhi persaratan hukum ( pendiriannya memenuhi Ijin Lokasi maupun IMB untuk mendirikan rumah kos), maupun operasionalnya (setelah berjalan /beroperasi) mendapat pengawasan yang efektif dari pemiliknya, misalnya dengan melakukan seleksi calon penghuni), pengawasan secara rutin terhadap keberadaan dan aktifikitas penghuni.
Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan ternyata keberadaan rumah kos acapkali dipergunakan untuk kebutuhan dan kegiatan yang negative yaitu :
a. Sebagai Rumah Transaksi Narkoba
Hasil penelusuran penulis di beberapa tempat kos kosan di Kota Mataram ternyata tempat kos kosan sebahagian besar dipergunakan untuk pesta sabu sabu oleh para pemakai barang haram. Hal ini dapat terjadi karena pada rumah kos kosanlah yang dipandang sebagai tempat yang paling aman untuk melakukan trasaksi dan pemakaian obat obat terlarang. Pola penghunian rumah kos yang “ bebas “ tanpa kontrol dari pemilik rumah kos menyebabkan rumah kos bukan lagi sebagai tempat yang “ bergengsi “ sebagai tempat menitipkan anak anak yang melanjutkan studi. Tapi justru akan menjadi ancaman bagi orang tua yang menyekolahkan anak anaknya jika tidak pandai memilih rumah kos.
Sebagai sarana kumpul kebo Para Remaja dan Kaum Muda.
Rumah kos kosan di Kota Mataram yang tumbuh berkembang secara pesat pada awal tahun 80 an dan sampai sekarang menjamur di beberapa sudut kota Mataram, telah mengancam “ kehidupan moral “ anak anak muda di Kota Mataram. Betapa tidak berdasarkan hasil investigasi penulis di beberapa rumah Kos yang berlokasi di Cakranegara, Ampenan dan Mataram, terdapat rumah rumah kos dihuni oleh sepasang laki laki dan perempuan yang tidak terikat dalam ikatan suami isteri. Yang mengejutkan bahwa mereka ada yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa secara bersama sama menyewa rumah kos tersebut padahal mereka memiliki orang tua yang sekota. Artinya bahwa para remaja menyewa rumah kos adalah sebagai tempat pertemuan di siang hari sepulang sekolah sampai sore, dan mereka tidak mempergunakanya pada malam hari.
b. Rumah Kos Sebagai sarana Penyimpanan istri pejabat
Penomena lain yang ditemui penulis dalam penelitian bahwa rumah kos di Kota Mataram pada beberapa tahun terakhir ini dipergunakan sebagai tempat tinggal “isteri simpanan “ beberapa kalangan eksekutif di NTB. Kata eksekutif disini dimanakan sebagai kalangan “ pejabat baik yang berada pada posisi tertentu di dunia usaha, para legislator dan lembaga lainnya yang berasal bukan saja dari NTB tapi dari luar NTB “. Hal ini bias terjadi karena jika mereka menyewa hotel dengan tariff Rp. 300.000 sampai Rp.800.000 per malam, maka dengan uang sejumlah itu mereka bisa menyewa rumah kos untuk satu bulan. Tentunya lebih irit.
c. Rumah Kos Sebagai sarana penampungan Pekerja Seks Komersial .
Jika pada era tahun 80 han para pekerja seks komersial biasanya ditampung oleh kalangan hidung belang disebut dengan istilah “ germo “. Pola penampungan ini ternyata dirasakan oleh para germo tidak aman seiring dengan semakin seringnya razia ketampat rumah germo tersebut. Para germo di Kota Mataram yang dulu bernama D , H, dan S sehingga julukan ini diplesetkan menjadi Kompi D, Kompi S dan Kompi H.
Pola pola konvesnional tersebut kemudian oleh para germo beralih dengan menjajakan barang dagangannya alias ayamya dengan menaikkan ke dalam mobil dan diparkir di tempat tempat tertentu. Kemudian para hidung belang dapat melihat langsung ke dalam mobil yang diparkir wanita wanita yang ingin dipilih.
Seiring dengan perjalanan waktu dan semakin canggihnya alat komunikasi berupa Hand Phone dingan Face Book, maka pola konvensional maka para penjaja cinta tidak mau terikat oleh germo karena para germo seringkali memang memeras para wanita penjaja cinta dengan bagian 60 % untuk germo dan 40 % untuk anak buahnya. Oleh sebab itu memasuki era tahun 2000 maka para wanita penjaja cinta lebih senang memilih membuat jaringan pemasaran sendiri yang terikat germo dan akhirnya mereka tinggal di rumah kos. Para pekerja seksual kemudian membuat jaringan dengan mempergunakan petugas hotel sebagai “ jasa penawaran “ jika ada laki laki yang membutuhkan.
d. Rumah Kos Sebagai Tempat Penampungan Barang Hasil Kejahatan.
Modus baru pengguaan rumah kos adalah tempat bersembunyinya para aktor atau pelaku pencurian dan sekaligus ssebagai tempat penyembunyian barang barang hasil hasil kejahatan.
Digunakan rumah kos kosan sebagai tempat persembunyian karena rumah kos dirasa aman karena tidak dilakukan pengawasan oleh pemilik, para aparat pemerintahan dari tingkat RT sampai Kecamatan . Kondisi ini juga didukung oleh tidak adanya saling komunikasi masing masing penghuni ( saling tidak mengenal satu sama lain, bahkan satu sama lain saling tidak perduli), semakin memudahkan para pelaku kejahatan menyembunyikan identitas dan menyembunyikan hasil hasil kejahatan berupa sepeda motor, alat alat elektronika, hp dan sebagainya.
2. Mengapa Rumah Kos Disalah Gunakan ?
Penggunaan rumah kos sebagai tempat (lokasi) kumpul kebo pergaulan sek bebas pelajar dan mahasiswa , dan sebagai tempat pemakaian obat obat terlarang. diakibatkan oleh berepa hal :
a. Tidak adanya prosedur yang ketat dalam menyeleksi calon penghuni kos, yang menyangkut KTP dan Kartu / Surat Nikah;
b. Tidak adanya pengawasan terhadap penghuni oleh pemilik rumah kos sehingga penghuni bebas melakukann transaksi kegiatan negative.
c. Tidak adanya pengawasan maupun tindakan dari Pemerintah daerah terhadap pengelola/pemilik rumah kos yang melanggar ketentuan hukum yang menyangkut rumah kos ;
d. Lemahnya peran dan aparat penegak hukum dalam melakukan penertiban rumah kos;
3. PEREDARAN DAN PEMAKAIAN NARKOBA BAGI KALANGAN PELAJAR DAN MAHASISWA Di KOTA MATARAM
Persoalan penggunaan obat obatan ( Narkoba) telah menjadi ancaman yang serius bagi gerenasi muda , pelajar dan mahasiswa di Kota Mataram. Penelitian selama 2 tahun menunjukkan penggunaan Narkoba bagi kalangangan remaja ( pemuda, mahasiswa dan pelajar ) telah meningkat dengan tajam.
Dari 150 Responden yang diwawancari ternyata sekitar 47 % telah pernah menggunakan narkoba.
Pada awalnya peneliti menemukan beberapa generasi muda ( putus sekolah) yang menggunakan obat obatan sejenis “ pil ectasi, ganja dan sabu sabu “ di tempat hiburan malam ( bar/cafĂ©, dan tempat tempat kos kosan).
Namun pada perkembangan berikutnya, penggunaan Narkoba ternyata telah merambah ke kalangan Mahasiswa, Pelajar SMU dan Pelajar SLTP.
Penggunaan obat obatan tersebut disebabkan oleh beberapa hal :
b. Karena mencoba coba dikasi oleh teman (pola pertemanan) (17 %);
c. Karena membeli dari Bandar narkoba ;(23 %)
d. Karena di berikan oleh aparat dan bersama sama aparat memakai obat tersebut (13 %);
e. Dikasi oleh pacar dan memakai bersama sama (Pola pacaran) ( 47 %)
Transaksi obat obatan tersebut di atas menurut para responden biasanya dilakukan secara sembunyi sembunyi melalui sindikat pengedar , melalui Bandar, dari teman ke teman , dan bahkan dapat dilakukan melalui perantaraan oknum aparat kepolisian , yang harganya sekitar 200.000/ gram ( Tahun 2009) yang sebelumnya sekitar 500.000/gram tahun ( 2004-2007). Dan pada tahun terakhir ini penjualan satu paket seharga Rp. 4.000.000 pergram yang dibagi menjadi beberapa poket (lintingan kecil kecil) dengan harga Rp. 500.000,-
Transaksi jual beli narkoba yang awal mulanya melalui Bandar Bandar tertentu yang harus dicari oleh pelanggan melalui jaringan pertemanan dan bertemu di tepat tempat yang beralih alih pada setiap transaksi. Maka pada bebarapa tahun belakangan ini transaksi narkoba dilakukan melalui modus modus lain, yaitu para Bandar narkoba menitipkan barang dagangannya melalui warung warung diinggir jalan yang menjual bebarapa jenis makanan, mainan, dan kembang api. Para peminat biasanya menilpon atau menghubungi para pemilik warung dengan mengatakan bahwa nantinya ada orang yang mau membeli barang terseut dengan menyebutkan jenis kelamin orang yang mau membeli, kendaraan yang akan dipakai dengan plat nomernya, kemudian dengan menyebutkan cirri cirri pakaian yang memudahkan pemilik warung melayani. Karena tidak semua orang dapat dilayani untuk membeli barang haram tersebut.
4. FENOMENA VIRGINITAS PELAJAR DAN MAHASISWA
DI KOTA MATARAM
Kita tersentak dengan hasil survei BKKBN yang baru dilansir di beberapa media baru-baru ini. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, termasuk kota Medan. Hasilnya 51% pelajar Jakarta melakukan hubungan sek pra-nikah, bahkan di Metro TV, sebelum HASIL SURVEI ini dianalisis , memberitakan trend peningkatan pembelian kondom di kalangan pelajar.
Satu sisi merupakan indikator meningkatnya kesadaran pelajar kita terhadap bahaya penyebaran HIV/AIDS. Tetapi kecenderungan pembelian kondom oleh rata-rata remaja usia sekolah menjadi fenomena tersendiri yang harus disikapi bijak dan protektif. Tentu saja hasil survei yang menempatkan kota Medan sebagai kota yang paling banyak pelajarnya melakukan seks pra-nikah patut memprihatinkan kita, karena 52% pelajar kita sudah tidak perawan (tidak virgin)
Ada beberapa catatan penting yang dapat saya simpulkan:
pertama; globalisasi sebagai konsekuansi dari moderenisasi telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap sikap dan perilaku remaja dan pelajar ditanah air. Bahaya negatif yang lazim timbul harus disikapi dengan cermat.
Kedua; hasil survei yang ada tidak boleh dibiarkan saja hanya sebagai berita tanpa adanya action (tindakan) dari semua pemangku kepentingan. Sebab masalah moralitas remaja merupakan masalah bersama dan kita tidak boleh hanya saling menyalahkan sebab hanya memperlambat upaya penanganan.
Ketiga; betapa bobroknya moral anak-anak kita. Bayangkan di setiap malam pergantian tahun, sebagian besar remaja kita menghabiskan waktu dengan melakukan seks. Ini dibuktikan dengan kecendrungan meningkatnya pembelian kondom. Bahkan pada malam pergantian tahun 2009 di beberapa harian memberitakan banyak apotik kehabisan stok persedian kondom karena trend banyaknya permintaan yang kebanyakan oleh para remaja kita. Silakan kita perhatikan fenomena sekarang, Warnet menjadi tempat konsentrasi remaja, yang notabenenya merupakan basis pemicu pergaulan seks. Tempat-tempat hiburan malam menjadi tempat yang selalu ramai dikunjungi, silahkan kita survei sendiri siapa yang paling banyak di sana. Hotel-hotel kelas melati yang ada di Medan kebanjiran pengunjung di hari dan momen-momen tertentu.
Keempat; bagi sebagian besar remaja ditanah air, tidak terkecuali Medan. Keperawanan tidak menjadi sesuatu yang terlalu penting, boleh jadi karena memang jaman sudah “edan”, atau ada pergeseran nilai di masyarakat bahwa masalah keperawanan tidak menjadi aspek penting dalam sebuah pernikahan.
Bagi sebagian masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tentu saja fenomena seks pra-nikah tidak dapat dibenarkan, sekaligus harus mengelus dada sembari menarik napas dalam-dalam. Betapa tidak, di negara tercinta yang merupakan Muslim terbesar di dunia, dan menjadikan pancasila sebagai dasar negara--yang sejak zaman nenek moyang menganut sistim nilai kesusilaan yang kental--rasanya kita miris menyaksikan fenomena ini ( Baca “Virginitas pelajar, Tanggung Jawab siapa ?, Waspada Online, tanggal 29 Desember 2010).
Pergaulan bebas (pornografi dan pornoaksi). Seiring dengan derasnya arus globalisasi, yang menjadikan dunia ini semakin sempit, maka di waktu yang sama hal itu akan membawa sebuah konsekwensi; baik positif atapun negatif. Kita tidak akan membicarakan mengenai konsekwensi positif dari globalisasi saat ini. Karena hal itu tidak akan membahayakan rusaknya moral generasi muda. Namun yang menjadi perhatian kita adalah efek atau dampak negatif yang dibawa oleh arus globalisasi itu sendiri yang mengakibatkan merosotnya moral para remaja saat ini.
Bahkan bukan merupakan hal yang tabu lagi di era sekarang ini, hubungan antar muda-mudi yang selalu diakhiri dengan hubungan layaknya suami-isteri atas landasan cinta dan suka sama suka. Sebuah fenomena yang sangat menyedihkan tentunya ketika prilaku semacam itu juga ikut disemarakkan oleh para muda-mudi yang terdidik di sebuah istansi berbasis agama. Namun itulah fenomena sosial yang harus kita hadapi di era yang semakin bebas dan arus yang semakin global ini.
Pertumbuhan budaya seks bebas di kalangan pelajar mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Pemerintah menemukan indikator baru yakni makin sulitnya menemukan remaja putri yang masih memiliki keperawanan (virginity) di kota-kota besar seperti telah dikutip pada awal tulisan ini.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasar survei menyatakan separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi kehilangan keperawanan dan melakukan hubungan seks pranikah. Bahkan, tidak sedikit yang hamil di luar nikah. Rentang usia remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah antara 13-18 tahun.
“Berdasar data yang kami himpun dari 100 remaja, 51 diantaranya sudah tidak lagi perawan,” Ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarief ketika ditemui dalam peringatan Hari AIDS sedunia di lapangan parkir IRTI Monas, Minggu (28/11) kemarin.
Ironisnya, temuan serupa juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di Jabodetabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain. Di Surabaya misalnya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen.
Menurutnya, data ini dikumpulkan BKKBN sepanjang kurun waktu 2010 saja. “Ini ancaman yang diam-diam bisa menghancurkan masa depan bangsa, jadi harus segera ditemukan solusinya,” ujar Sugiri. Maraknya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja berimbas pada kasus infeksi penularan HIV.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi melempar wacana agar penerimaan siswa baru mulai dari tingkat SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, bagi siswa perempuan harus melalui tes keperawanan. Tes tersebut dilakukan dengan tujuan menangkal banyaknya hubungan seks bebas di kalangan pelajar.
"Wacana ini diharapkan bisa menangkal hubungan seks bebas di kalangan pelajar. Dengan adanya atuiran ini diharapkan menciptakan budaya malu bagi kalangan pelajar, sehingga takut melakukan hal perbuatan yang dilarang oleh agama tersebut," kata Bambang Susatyo, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi, kepada wartawan Rabu (22/9).
Disisi lain, perkembangan teknologi yang semakin canggih, akan semakin memudahkan para remaja untuk mengakses hal-hal yang mendukung terciptanya suasana yang serba bebas. Hal-hal yang dahulu di anggap tabu dan masih terbatas pada kalangan tertentu, kini seakan sudah menjadi konsumsi publik yang dapat diakses di mana saja. Sebagai contoh konkrit adalah merebaknya situs-situs berbau pornografi dapat dengan mudah dikonsumsi oleh para pengguna internet. Memang di satu sisi tidak bisa dinafikan, bahwa internet memberikan kontribusi besar dalam perkembangan moral dan intelektual. Akan tetapi dalam waktu yang sama, internet juga dapat menghancurkan moral, intelektual dan mental generasi sebuah negara. berdasarkan penelitian tim KPJ (Klinik Pasutri Jakarta) saja, hampir 100 persen remaja anak SMA, sudah melihat media-media porno, baik itu dari situs internet, VCD, atau buku-buku porno lainnya, (Harian Pikiran Rakyat, minggu 06 juni 2004).
Persoalannya adalah bagaimanakah fenomena virginitas terhadap para pelajar dan mahasiswa di kota Mataram ?
Dari hasil penelitian dan wawancara mendalam terhadap 150 responden maka diperoleh data sebagai berikut :
Responden Jumlah Virgin (58 %) Tidak Virgin (42 %)
SLTP 50 orang 39 11
SMU 50 orang 27 23
MAHSISWA 50 orang 21 29
Angka di atas tentunya cukup mengejutkan bagi kita dimana angka “ ketidak perawanan “ terhadap pelajar dan mahasiswa di Kota Mataram cukup banyak yaitu 22 % untuk pelajar SLTP, 46 % untuk anak SMU dan 58 % untuk mahasiswa.. Sehingga rata rata angka ketidak perawanan menjadi 42 % atau berada diatas angka rata rata Yogyakarta ( 37 %) atau berada dibawah Kota Bandung (47 %).
Adapun penyebab dari para remaja dan mahasiswa tersebut melakukan hubungan nikah disebabkan beberapa hal :
1. Karena dalam keadaan tidak sadar terpengaruh oleh pemakaian Narkoba ;
2. Karena bujuk rayu ketika pacaran
3. Karena faktor ekonomi keluarga
4. Karena stress/ frustrasi
Kemajuan tehnologi dan informasi disatu segi memberikan dampak positif bagi generas muda kita,karena dengan kemajuan iptek tersebut kita dapat dengan mudah dapat mengakses berbagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi dampak tehnologi ternyata mengancam moral generasi muda jika tidak dibentengi oleh iman dan moral yang kuat.
Dengan munculnya berbagai perangkat tehnologi seperti computer dan hand phone dengan berbagai merek dan dengan berbagai harga maka akan mempengaruhi minat dan sikap generasi muda kearah yang “ konsumtif “. Bagi generasi muda yang orang tuanya mampu maka “ memiliki perangkat lap top dan HP “ bukan persoalan yang mudah. Tetapi bagi generasi muda yang orang tuanya tidak mampu maka “ keinginan untuk memiliki HP dan Perangkat Komputer lainnya menjadi godaan tersendiri. Maka tidak heran beberapa responden yang diwanwancarai oleh penulis secara mendalam yang terdiri dari para pelajar (SLTP), para pelajar SLTA, dan Mahasiswa rela mengorbankan mahkotanya yang paling berharga hanya semata untuk memperoleh perangkat perangkat tersebut (Hp. Laptop, dll). Kemudian dengan perangkat yang mereka miliki kemudian mereka akhirnya melanjutkan kegiatannya baik yang positif maupun yang negative.
Jika pada dekade tahun 80 han penomena ketidak perawanan pelajar dan mahasiswa semata mata disebabkan oleh mulai maraknya pergaulan bebas ( berpacaran dengan cara cara yang diluar norma agama). Maka memasuki era tahun 2000 sampai sekarang maka penomena yang mengancam generasi muda adalah mengorbankan mahkotanya yang paling berharga hanya untuk memperoleh perangkat tehnologi informatika sebagai symbol kemapanan., dan penggunaan narkoba yang menyebebkan mereka tidak sadar karena sakau.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Maraknya pembangunan rumah kos di Kota Mataram yang tidak diikuti dengan pengaturan dan pengawasan yang memadai akan mengakibatkan penggunaan rumah kos kosan sebagai tempat kegiatan yang melanggar hokum ( sebagai tempat pesta narkoba, sebagai tempat hidup bersama tanpa ikatan suami isteri generasi muda, sebagai tempat penampungan isteri simpanan, sebagai lokasi tempat kediaman penjaja seks komersial yang aman).
2. Kemajuan tehnologi dan informatika yang sebenarnya memberikan dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata disisi lain dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya tindakan negative bagi generasi muda demi sebuah harga diri yang hidup konsumtif.
3. Penggunaan obat obat terlarang bagi generasi muda di Kota Mataram telah menjadi ancaman karena 47 % responden telah pernah menggunakan barang terlarang tersebut.
4. Tingginya angka ketidak perawanan (42 %) bagi pelajar dan mahasiswa merupakan dampak dari lemahnya pengawasan orang tua, sehingga pelajar dan mahasiswa begitu mudah dapat mengkosumsi narkoba dan selanjutnya dapat melakukan hubungan seks pra nikah.
B. SARAN SARAN
1. Perlunya pengaturan pembangunan, pemanfaatan dan pengawasan rumah kos di Kota Mataram yang melibatkan seluruh elemen pejabat terkait dan komponen masyarakat. Peraturan Daerah yang mengatur rumah kos harulah menjadi kebutuhan yang mendesak.
2. Perlunya penyadaran bagi orang tua dan lembaga pendidikan tentang bahaya yang mengancam generasi muda atas lahirnya sikap konsumtif. Oleh sebab itu pengawasn orang tua dan lembaga pendidikan terhadap anak anak didik merupakan langkah yang mendesak yang perlu digiatkan.
5. Pemberantasan Narkoba di Kota Mataram haruslah dilakukan secara terpadu seluruh masyarakat. Menggantungkan pemberantasan narkoba kepada aparat semata mata akan menjadi sia sia karena dalam beberapa kasus ternyata oknum aparat juga terlibat dalam pemakaian barang haram tersebut.
6. Pola penanganan terhadap permasalahan di atas harus dilakukan secara Preventif, Represif, pendekatan Formal dan Non Formal, serta secara Integratif.
PENELITIAN TENTANG PENGARUH RUMAH KOS BAGI TINDAKAN PIDANA DI KOTA MATARAM , PENGGUNAAN NARKOBA, dan HUBUNGAN SEKS PRA NIKAH BAGI PELAJAR DI KOTA MATARAM
OLEH DR.H ZAINAL ASIKIN,SH,SU
A. PENDAHULUAN
Kota adalah pusat segala aktifitas manusia, baik dalam bidang politik, ekonomi, pemerintahan , pendidikan dan sebagai pusat akulturasi budaya. Karena membawa berbagai pesona dan harapan , maka acakali kota menjadi tumpuan semua pihak, sebagai tempat harapan digantungkan, sebagai asa dan kekecewaan terlantarkan.
Hiruk pikuk dan gemerlapan kota acapkali membawa “ kota “ sebagai pertemuan dua kutub yang berlawanan yaitu kutub hitam yang melambangkan kekejaman dan kemasiatan, serta berhadapan dengan dunia putih yang mencitrakan kesucian dan keuhrawian. Pilihan hitam putih terkadang sangat tipis setipis kulit ari, karena terkadang manusia yang memiliki hati putih, ketika menjalani kehidupan kota yang kejam maka “ sang putih “ tergelapar menjadi hitam kelam. Akan tetapi kadangkali seorang yang menamatkan pendidikannya pada dunia yang hitam dengan menjadi sang perampok dan pencopet, tetapi berubah menjadi sang pendakwah. Ya itulah kota yang membawa berbagai kisah misteri.
Mataram sebagai sebuah kota, tentunya tidak lepas`dari fenomena di atas, yaitu fenomena kehidupan hitam putih yang terkadang sulit untuk dimengerti. Ada memang secercah harapan dari pemerintah kota untuk menjadikan kota Mataram menjadi kota yang “ Maju “ dan “ Religius “. Sebuah cita cita yang mempesona karena ingin menciptakan kota yang menampilkan sosok yang modern tapi tidak gemerlap, maju tapi tidak seronok, canggih tapi tidak ruwet, ramai tapi tertib, kaya tapi secara halal… dan berbagai impian yang berada pada dimensi yang berlawanan. Bisakah ? itulah pertanyaan yang selalu terngiang.
Gagasan membuat Perda Anti Maksiat, Perda Miras, Perda Rumah Kos adalah contoh sebuah perjuangan untuk menciptakan sebuah kota yang bersih dari kemaksiatan, sebuah kota yang maju tanpa minuman keras, sebuah kota yang tanpa perlu tempat esek esek.
Gagasan itu tentunya tidak akan berhasil tanpa didukung partisipasi semua lapisan masyarakat. Oleh sebab itu tulisan dan hasil penelitian ini merupakan salah satu gambaran Kota Mataram yang semestinya tidak boleh terjadi untuk menjadikan kota ini menjadi kota IBADAH.
Tulisan dbawah ini merupakan hasil penelitian dengan mempergunakan metode partisipastif atau terlibat langsung untuk mengetahui kehidupan Mahasiswa dan Pelajar i Mataram dengan berbagai penomena yang ada didalamnya yang dibagi dalam 3 karegori yaitu :
a. Penomena Rumah Kos;
b. Penomena Penggunaan Narkoba
c. Penomena Sek Pra Nikah.
B. METODE PENELITIAN
B.1. Tipe penelitian : penelitian ini bersifat eksploratif untuk menggali persoalan persoalan yang terjadi berkenaan dengan tema penelitian secara mendalam, dan penggalian ini dibutuhkan waktu berbulan bulan untuk satu responden penelitian agar terungkap dan diperoleh jawaban yang dapat dipercaya ;
B.2. Metode Pengumpulan data/Informasi
a. Partisipastif ( berusaha berkenalan dengan korban dan pelaku) dan secara investigasi secara diam diam mewawancarainya ;
b. Metode observatif.( melakukan pemindaian lokasi lokasi berpura pura sebagai pengunjung)
c. Metode terlibat ( harus ikut kos untuk memantau kegiatan sasaran)
d. Snow Bolling Metode, metode berantai dari teman ke teman untuk megetahui kelompok sasaran ( melalui Internet, Face Book, HP, SMS, )
B.3.. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Mataram dengan memilih secara purposive terhadap beberapa rumah kos yang berada di Kecamatan Mataram, Cakranegara dan Ampenan. Dan dilakukan penelitian terhadap 8 hotel Melati di Kota Mataram;
B.4. Waktu Penelitian : penelitian ini dilakukan dalam tanggang waktu Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2008.
B.5. Responden
Dalam penelitian ilmu ilmu social bahwa jumlah ( kuantitas ) responden tidaklah menjadi ukuran yang utama. Tetapi yang lebih penting adalah kualitas responden. Berpijak dari pandangan di atas maka responden yang ditemukan dalam penelitian sebanyak 150 responden terdiri dari, Pemuda Putus Sekolah, Mahasiswa, Pelajar SLTA dan Pelajar SMP.
Untuk memperoleh para responden tersebut dipergunakan system snow bowling system dengan mencari hubungan satu responden dengan responden yang lain yang tergulir sehingga ditemukan beberapa responden dari satu responden ke responden yang lain.
B.6. Analisis
Berdasarkan data yang terkumpul kemudian diadakan analisi secara mendalam dengan conten analysis. Dengannalisis isi tersebut berhasil dibuat laporan yang terangkai seperti tersebut dalam laporan penelitian ini.
C. HASIL PENELITIAN
1. MISTERI RUMAH KOS KOSAN
Rumah kos kosan diberbagai daerah telah menjadi suatu masalah yang serius untuk segera diatasi, karena telah menyangkut kepentingan bangsa khusunya menyangkut pembangunan mental dan moral generasi muda.
Dalam suatu tulisan dan hasil penelitan di Purwokerto telah diungkap bahwa rumah kos telah dijadikan sarang perbuatan yang tidak bermoral antara generasi muda yang berlainan jenis.
Pada rumah kos-lah dua orang anak muda yang sedang berpacaran dapat secara bebas melakukan hubungan suami isteri tanpa ada yang mampu melarang dan memberikan sanksi. Bahkan secara gambling ditulis bahwa seks bebas sudah meng gejala di kalangan mahasiswa di Purwkerto sehingga muncul istilah pacarku adalah bojoku ( lihat tulisan Masardy dengan judul Fenomena Anak Kost, Pacarku Bojoku, Masardycom, tanggal 16 Juli 2010).
Tulisan yang sama juga dapat dibaca dari artikel saudara Arif Fajar Ardianto dengan menyatakan “ …sudah menjadi rahasia umum, di beberapa wilayah, terutama di tengah kota Surabaya, bermunculan rumah kos yang menawarkan fasilitas yang menggiurkan, yakni terjaminnya privasi, serta kebebasan penuh terhadap penyewa untuk memasukan pasangan yang bukan mukhrimnya
( Tulisan dari Arif Fajar Ardianto, tanggak 17 September 2010, ,Beritajatim.com).
Berdasarkan kenyataan di atas maka menjadi tantangan bagi kita di Mataram, bagaimanakan dampak maraknya pembangunan rumah kos dalam perspektif pembanguna moral.
Pembangunan rumah rumah kos di Kota Mataram dalam 10 tahun terakhir ini telah menjamur seiring dengan pesatnya kebutuhan masyarakat yang memamfaatkan rumah sebagai sarana mencari nafkah. Sisi lain bahwa pangsa pasar kos kosan menjadi kebutuhan yang mendesak akibat banyaknya pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan rumah kos (terutama bagi mahasiswa yang berasal dari luar daerah).
Rumah kos sebenarnya memiliki sisi positip dalam rangka membantu kebutuhan masyarakat sepanjang keberadaan rumah kos mememenuhi persaratan hukum ( pendiriannya memenuhi Ijin Lokasi maupun IMB untuk mendirikan rumah kos), maupun operasionalnya (setelah berjalan /beroperasi) mendapat pengawasan yang efektif dari pemiliknya, misalnya dengan melakukan seleksi calon penghuni), pengawasan secara rutin terhadap keberadaan dan aktifikitas penghuni.
Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan ternyata keberadaan rumah kos acapkali dipergunakan untuk kebutuhan dan kegiatan yang negative yaitu :
a. Sebagai Rumah Transaksi Narkoba
Hasil penelusuran penulis di beberapa tempat kos kosan di Kota Mataram ternyata tempat kos kosan sebahagian besar dipergunakan untuk pesta sabu sabu oleh para pemakai barang haram. Hal ini dapat terjadi karena pada rumah kos kosanlah yang dipandang sebagai tempat yang paling aman untuk melakukan trasaksi dan pemakaian obat obat terlarang. Pola penghunian rumah kos yang “ bebas “ tanpa kontrol dari pemilik rumah kos menyebabkan rumah kos bukan lagi sebagai tempat yang “ bergengsi “ sebagai tempat menitipkan anak anak yang melanjutkan studi. Tapi justru akan menjadi ancaman bagi orang tua yang menyekolahkan anak anaknya jika tidak pandai memilih rumah kos.
Sebagai sarana kumpul kebo Para Remaja dan Kaum Muda.
Rumah kos kosan di Kota Mataram yang tumbuh berkembang secara pesat pada awal tahun 80 an dan sampai sekarang menjamur di beberapa sudut kota Mataram, telah mengancam “ kehidupan moral “ anak anak muda di Kota Mataram. Betapa tidak berdasarkan hasil investigasi penulis di beberapa rumah Kos yang berlokasi di Cakranegara, Ampenan dan Mataram, terdapat rumah rumah kos dihuni oleh sepasang laki laki dan perempuan yang tidak terikat dalam ikatan suami isteri. Yang mengejutkan bahwa mereka ada yang masih berstatus pelajar dan mahasiswa secara bersama sama menyewa rumah kos tersebut padahal mereka memiliki orang tua yang sekota. Artinya bahwa para remaja menyewa rumah kos adalah sebagai tempat pertemuan di siang hari sepulang sekolah sampai sore, dan mereka tidak mempergunakanya pada malam hari.
b. Rumah Kos Sebagai sarana Penyimpanan istri pejabat
Penomena lain yang ditemui penulis dalam penelitian bahwa rumah kos di Kota Mataram pada beberapa tahun terakhir ini dipergunakan sebagai tempat tinggal “isteri simpanan “ beberapa kalangan eksekutif di NTB. Kata eksekutif disini dimanakan sebagai kalangan “ pejabat baik yang berada pada posisi tertentu di dunia usaha, para legislator dan lembaga lainnya yang berasal bukan saja dari NTB tapi dari luar NTB “. Hal ini bias terjadi karena jika mereka menyewa hotel dengan tariff Rp. 300.000 sampai Rp.800.000 per malam, maka dengan uang sejumlah itu mereka bisa menyewa rumah kos untuk satu bulan. Tentunya lebih irit.
c. Rumah Kos Sebagai sarana penampungan Pekerja Seks Komersial .
Jika pada era tahun 80 han para pekerja seks komersial biasanya ditampung oleh kalangan hidung belang disebut dengan istilah “ germo “. Pola penampungan ini ternyata dirasakan oleh para germo tidak aman seiring dengan semakin seringnya razia ketampat rumah germo tersebut. Para germo di Kota Mataram yang dulu bernama D , H, dan S sehingga julukan ini diplesetkan menjadi Kompi D, Kompi S dan Kompi H.
Pola pola konvesnional tersebut kemudian oleh para germo beralih dengan menjajakan barang dagangannya alias ayamya dengan menaikkan ke dalam mobil dan diparkir di tempat tempat tertentu. Kemudian para hidung belang dapat melihat langsung ke dalam mobil yang diparkir wanita wanita yang ingin dipilih.
Seiring dengan perjalanan waktu dan semakin canggihnya alat komunikasi berupa Hand Phone dingan Face Book, maka pola konvensional maka para penjaja cinta tidak mau terikat oleh germo karena para germo seringkali memang memeras para wanita penjaja cinta dengan bagian 60 % untuk germo dan 40 % untuk anak buahnya. Oleh sebab itu memasuki era tahun 2000 maka para wanita penjaja cinta lebih senang memilih membuat jaringan pemasaran sendiri yang terikat germo dan akhirnya mereka tinggal di rumah kos. Para pekerja seksual kemudian membuat jaringan dengan mempergunakan petugas hotel sebagai “ jasa penawaran “ jika ada laki laki yang membutuhkan.
d. Rumah Kos Sebagai Tempat Penampungan Barang Hasil Kejahatan.
Modus baru pengguaan rumah kos adalah tempat bersembunyinya para aktor atau pelaku pencurian dan sekaligus ssebagai tempat penyembunyian barang barang hasil hasil kejahatan.
Digunakan rumah kos kosan sebagai tempat persembunyian karena rumah kos dirasa aman karena tidak dilakukan pengawasan oleh pemilik, para aparat pemerintahan dari tingkat RT sampai Kecamatan . Kondisi ini juga didukung oleh tidak adanya saling komunikasi masing masing penghuni ( saling tidak mengenal satu sama lain, bahkan satu sama lain saling tidak perduli), semakin memudahkan para pelaku kejahatan menyembunyikan identitas dan menyembunyikan hasil hasil kejahatan berupa sepeda motor, alat alat elektronika, hp dan sebagainya.
2. Mengapa Rumah Kos Disalah Gunakan ?
Penggunaan rumah kos sebagai tempat (lokasi) kumpul kebo pergaulan sek bebas pelajar dan mahasiswa , dan sebagai tempat pemakaian obat obat terlarang. diakibatkan oleh berepa hal :
a. Tidak adanya prosedur yang ketat dalam menyeleksi calon penghuni kos, yang menyangkut KTP dan Kartu / Surat Nikah;
b. Tidak adanya pengawasan terhadap penghuni oleh pemilik rumah kos sehingga penghuni bebas melakukann transaksi kegiatan negative.
c. Tidak adanya pengawasan maupun tindakan dari Pemerintah daerah terhadap pengelola/pemilik rumah kos yang melanggar ketentuan hukum yang menyangkut rumah kos ;
d. Lemahnya peran dan aparat penegak hukum dalam melakukan penertiban rumah kos;
3. PEREDARAN DAN PEMAKAIAN NARKOBA BAGI KALANGAN PELAJAR DAN MAHASISWA Di KOTA MATARAM
Persoalan penggunaan obat obatan ( Narkoba) telah menjadi ancaman yang serius bagi gerenasi muda , pelajar dan mahasiswa di Kota Mataram. Penelitian selama 2 tahun menunjukkan penggunaan Narkoba bagi kalangangan remaja ( pemuda, mahasiswa dan pelajar ) telah meningkat dengan tajam.
Dari 150 Responden yang diwawancari ternyata sekitar 47 % telah pernah menggunakan narkoba.
Pada awalnya peneliti menemukan beberapa generasi muda ( putus sekolah) yang menggunakan obat obatan sejenis “ pil ectasi, ganja dan sabu sabu “ di tempat hiburan malam ( bar/cafĂ©, dan tempat tempat kos kosan).
Namun pada perkembangan berikutnya, penggunaan Narkoba ternyata telah merambah ke kalangan Mahasiswa, Pelajar SMU dan Pelajar SLTP.
Penggunaan obat obatan tersebut disebabkan oleh beberapa hal :
b. Karena mencoba coba dikasi oleh teman (pola pertemanan) (17 %);
c. Karena membeli dari Bandar narkoba ;(23 %)
d. Karena di berikan oleh aparat dan bersama sama aparat memakai obat tersebut (13 %);
e. Dikasi oleh pacar dan memakai bersama sama (Pola pacaran) ( 47 %)
Transaksi obat obatan tersebut di atas menurut para responden biasanya dilakukan secara sembunyi sembunyi melalui sindikat pengedar , melalui Bandar, dari teman ke teman , dan bahkan dapat dilakukan melalui perantaraan oknum aparat kepolisian , yang harganya sekitar 200.000/ gram ( Tahun 2009) yang sebelumnya sekitar 500.000/gram tahun ( 2004-2007). Dan pada tahun terakhir ini penjualan satu paket seharga Rp. 4.000.000 pergram yang dibagi menjadi beberapa poket (lintingan kecil kecil) dengan harga Rp. 500.000,-
Transaksi jual beli narkoba yang awal mulanya melalui Bandar Bandar tertentu yang harus dicari oleh pelanggan melalui jaringan pertemanan dan bertemu di tepat tempat yang beralih alih pada setiap transaksi. Maka pada bebarapa tahun belakangan ini transaksi narkoba dilakukan melalui modus modus lain, yaitu para Bandar narkoba menitipkan barang dagangannya melalui warung warung diinggir jalan yang menjual bebarapa jenis makanan, mainan, dan kembang api. Para peminat biasanya menilpon atau menghubungi para pemilik warung dengan mengatakan bahwa nantinya ada orang yang mau membeli barang terseut dengan menyebutkan jenis kelamin orang yang mau membeli, kendaraan yang akan dipakai dengan plat nomernya, kemudian dengan menyebutkan cirri cirri pakaian yang memudahkan pemilik warung melayani. Karena tidak semua orang dapat dilayani untuk membeli barang haram tersebut.
4. FENOMENA VIRGINITAS PELAJAR DAN MAHASISWA
DI KOTA MATARAM
Kita tersentak dengan hasil survei BKKBN yang baru dilansir di beberapa media baru-baru ini. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, termasuk kota Medan. Hasilnya 51% pelajar Jakarta melakukan hubungan sek pra-nikah, bahkan di Metro TV, sebelum HASIL SURVEI ini dianalisis , memberitakan trend peningkatan pembelian kondom di kalangan pelajar.
Satu sisi merupakan indikator meningkatnya kesadaran pelajar kita terhadap bahaya penyebaran HIV/AIDS. Tetapi kecenderungan pembelian kondom oleh rata-rata remaja usia sekolah menjadi fenomena tersendiri yang harus disikapi bijak dan protektif. Tentu saja hasil survei yang menempatkan kota Medan sebagai kota yang paling banyak pelajarnya melakukan seks pra-nikah patut memprihatinkan kita, karena 52% pelajar kita sudah tidak perawan (tidak virgin)
Ada beberapa catatan penting yang dapat saya simpulkan:
pertama; globalisasi sebagai konsekuansi dari moderenisasi telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap sikap dan perilaku remaja dan pelajar ditanah air. Bahaya negatif yang lazim timbul harus disikapi dengan cermat.
Kedua; hasil survei yang ada tidak boleh dibiarkan saja hanya sebagai berita tanpa adanya action (tindakan) dari semua pemangku kepentingan. Sebab masalah moralitas remaja merupakan masalah bersama dan kita tidak boleh hanya saling menyalahkan sebab hanya memperlambat upaya penanganan.
Ketiga; betapa bobroknya moral anak-anak kita. Bayangkan di setiap malam pergantian tahun, sebagian besar remaja kita menghabiskan waktu dengan melakukan seks. Ini dibuktikan dengan kecendrungan meningkatnya pembelian kondom. Bahkan pada malam pergantian tahun 2009 di beberapa harian memberitakan banyak apotik kehabisan stok persedian kondom karena trend banyaknya permintaan yang kebanyakan oleh para remaja kita. Silakan kita perhatikan fenomena sekarang, Warnet menjadi tempat konsentrasi remaja, yang notabenenya merupakan basis pemicu pergaulan seks. Tempat-tempat hiburan malam menjadi tempat yang selalu ramai dikunjungi, silahkan kita survei sendiri siapa yang paling banyak di sana. Hotel-hotel kelas melati yang ada di Medan kebanjiran pengunjung di hari dan momen-momen tertentu.
Keempat; bagi sebagian besar remaja ditanah air, tidak terkecuali Medan. Keperawanan tidak menjadi sesuatu yang terlalu penting, boleh jadi karena memang jaman sudah “edan”, atau ada pergeseran nilai di masyarakat bahwa masalah keperawanan tidak menjadi aspek penting dalam sebuah pernikahan.
Bagi sebagian masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tentu saja fenomena seks pra-nikah tidak dapat dibenarkan, sekaligus harus mengelus dada sembari menarik napas dalam-dalam. Betapa tidak, di negara tercinta yang merupakan Muslim terbesar di dunia, dan menjadikan pancasila sebagai dasar negara--yang sejak zaman nenek moyang menganut sistim nilai kesusilaan yang kental--rasanya kita miris menyaksikan fenomena ini ( Baca “Virginitas pelajar, Tanggung Jawab siapa ?, Waspada Online, tanggal 29 Desember 2010).
Pergaulan bebas (pornografi dan pornoaksi). Seiring dengan derasnya arus globalisasi, yang menjadikan dunia ini semakin sempit, maka di waktu yang sama hal itu akan membawa sebuah konsekwensi; baik positif atapun negatif. Kita tidak akan membicarakan mengenai konsekwensi positif dari globalisasi saat ini. Karena hal itu tidak akan membahayakan rusaknya moral generasi muda. Namun yang menjadi perhatian kita adalah efek atau dampak negatif yang dibawa oleh arus globalisasi itu sendiri yang mengakibatkan merosotnya moral para remaja saat ini.
Bahkan bukan merupakan hal yang tabu lagi di era sekarang ini, hubungan antar muda-mudi yang selalu diakhiri dengan hubungan layaknya suami-isteri atas landasan cinta dan suka sama suka. Sebuah fenomena yang sangat menyedihkan tentunya ketika prilaku semacam itu juga ikut disemarakkan oleh para muda-mudi yang terdidik di sebuah istansi berbasis agama. Namun itulah fenomena sosial yang harus kita hadapi di era yang semakin bebas dan arus yang semakin global ini.
Pertumbuhan budaya seks bebas di kalangan pelajar mulai mengancam masa depan bangsa Indonesia. Pemerintah menemukan indikator baru yakni makin sulitnya menemukan remaja putri yang masih memiliki keperawanan (virginity) di kota-kota besar seperti telah dikutip pada awal tulisan ini.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berdasar survei menyatakan separuh remaja perempuan lajang yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi kehilangan keperawanan dan melakukan hubungan seks pranikah. Bahkan, tidak sedikit yang hamil di luar nikah. Rentang usia remaja yang pernah melakukan hubungan seks di luar nikah antara 13-18 tahun.
“Berdasar data yang kami himpun dari 100 remaja, 51 diantaranya sudah tidak lagi perawan,” Ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarief ketika ditemui dalam peringatan Hari AIDS sedunia di lapangan parkir IRTI Monas, Minggu (28/11) kemarin.
Ironisnya, temuan serupa juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di Jabodetabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain. Di Surabaya misalnya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen.
Menurutnya, data ini dikumpulkan BKKBN sepanjang kurun waktu 2010 saja. “Ini ancaman yang diam-diam bisa menghancurkan masa depan bangsa, jadi harus segera ditemukan solusinya,” ujar Sugiri. Maraknya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja berimbas pada kasus infeksi penularan HIV.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi melempar wacana agar penerimaan siswa baru mulai dari tingkat SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, bagi siswa perempuan harus melalui tes keperawanan. Tes tersebut dilakukan dengan tujuan menangkal banyaknya hubungan seks bebas di kalangan pelajar.
"Wacana ini diharapkan bisa menangkal hubungan seks bebas di kalangan pelajar. Dengan adanya atuiran ini diharapkan menciptakan budaya malu bagi kalangan pelajar, sehingga takut melakukan hal perbuatan yang dilarang oleh agama tersebut," kata Bambang Susatyo, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jambi, kepada wartawan Rabu (22/9).
Disisi lain, perkembangan teknologi yang semakin canggih, akan semakin memudahkan para remaja untuk mengakses hal-hal yang mendukung terciptanya suasana yang serba bebas. Hal-hal yang dahulu di anggap tabu dan masih terbatas pada kalangan tertentu, kini seakan sudah menjadi konsumsi publik yang dapat diakses di mana saja. Sebagai contoh konkrit adalah merebaknya situs-situs berbau pornografi dapat dengan mudah dikonsumsi oleh para pengguna internet. Memang di satu sisi tidak bisa dinafikan, bahwa internet memberikan kontribusi besar dalam perkembangan moral dan intelektual. Akan tetapi dalam waktu yang sama, internet juga dapat menghancurkan moral, intelektual dan mental generasi sebuah negara. berdasarkan penelitian tim KPJ (Klinik Pasutri Jakarta) saja, hampir 100 persen remaja anak SMA, sudah melihat media-media porno, baik itu dari situs internet, VCD, atau buku-buku porno lainnya, (Harian Pikiran Rakyat, minggu 06 juni 2004).
Persoalannya adalah bagaimanakah fenomena virginitas terhadap para pelajar dan mahasiswa di kota Mataram ?
Dari hasil penelitian dan wawancara mendalam terhadap 150 responden maka diperoleh data sebagai berikut :
Responden Jumlah Virgin (58 %) Tidak Virgin (42 %)
SLTP 50 orang 39 11
SMU 50 orang 27 23
MAHSISWA 50 orang 21 29
Angka di atas tentunya cukup mengejutkan bagi kita dimana angka “ ketidak perawanan “ terhadap pelajar dan mahasiswa di Kota Mataram cukup banyak yaitu 22 % untuk pelajar SLTP, 46 % untuk anak SMU dan 58 % untuk mahasiswa.. Sehingga rata rata angka ketidak perawanan menjadi 42 % atau berada diatas angka rata rata Yogyakarta ( 37 %) atau berada dibawah Kota Bandung (47 %).
Adapun penyebab dari para remaja dan mahasiswa tersebut melakukan hubungan nikah disebabkan beberapa hal :
1. Karena dalam keadaan tidak sadar terpengaruh oleh pemakaian Narkoba ;
2. Karena bujuk rayu ketika pacaran
3. Karena faktor ekonomi keluarga
4. Karena stress/ frustrasi
Kemajuan tehnologi dan informasi disatu segi memberikan dampak positif bagi generas muda kita,karena dengan kemajuan iptek tersebut kita dapat dengan mudah dapat mengakses berbagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi dampak tehnologi ternyata mengancam moral generasi muda jika tidak dibentengi oleh iman dan moral yang kuat.
Dengan munculnya berbagai perangkat tehnologi seperti computer dan hand phone dengan berbagai merek dan dengan berbagai harga maka akan mempengaruhi minat dan sikap generasi muda kearah yang “ konsumtif “. Bagi generasi muda yang orang tuanya mampu maka “ memiliki perangkat lap top dan HP “ bukan persoalan yang mudah. Tetapi bagi generasi muda yang orang tuanya tidak mampu maka “ keinginan untuk memiliki HP dan Perangkat Komputer lainnya menjadi godaan tersendiri. Maka tidak heran beberapa responden yang diwanwancarai oleh penulis secara mendalam yang terdiri dari para pelajar (SLTP), para pelajar SLTA, dan Mahasiswa rela mengorbankan mahkotanya yang paling berharga hanya semata untuk memperoleh perangkat perangkat tersebut (Hp. Laptop, dll). Kemudian dengan perangkat yang mereka miliki kemudian mereka akhirnya melanjutkan kegiatannya baik yang positif maupun yang negative.
Jika pada dekade tahun 80 han penomena ketidak perawanan pelajar dan mahasiswa semata mata disebabkan oleh mulai maraknya pergaulan bebas ( berpacaran dengan cara cara yang diluar norma agama). Maka memasuki era tahun 2000 sampai sekarang maka penomena yang mengancam generasi muda adalah mengorbankan mahkotanya yang paling berharga hanya untuk memperoleh perangkat tehnologi informatika sebagai symbol kemapanan., dan penggunaan narkoba yang menyebebkan mereka tidak sadar karena sakau.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Maraknya pembangunan rumah kos di Kota Mataram yang tidak diikuti dengan pengaturan dan pengawasan yang memadai akan mengakibatkan penggunaan rumah kos kosan sebagai tempat kegiatan yang melanggar hokum ( sebagai tempat pesta narkoba, sebagai tempat hidup bersama tanpa ikatan suami isteri generasi muda, sebagai tempat penampungan isteri simpanan, sebagai lokasi tempat kediaman penjaja seks komersial yang aman).
2. Kemajuan tehnologi dan informatika yang sebenarnya memberikan dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan, ternyata disisi lain dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya tindakan negative bagi generasi muda demi sebuah harga diri yang hidup konsumtif.
3. Penggunaan obat obat terlarang bagi generasi muda di Kota Mataram telah menjadi ancaman karena 47 % responden telah pernah menggunakan barang terlarang tersebut.
4. Tingginya angka ketidak perawanan (42 %) bagi pelajar dan mahasiswa merupakan dampak dari lemahnya pengawasan orang tua, sehingga pelajar dan mahasiswa begitu mudah dapat mengkosumsi narkoba dan selanjutnya dapat melakukan hubungan seks pra nikah.
B. SARAN SARAN
1. Perlunya pengaturan pembangunan, pemanfaatan dan pengawasan rumah kos di Kota Mataram yang melibatkan seluruh elemen pejabat terkait dan komponen masyarakat. Peraturan Daerah yang mengatur rumah kos harulah menjadi kebutuhan yang mendesak.
2. Perlunya penyadaran bagi orang tua dan lembaga pendidikan tentang bahaya yang mengancam generasi muda atas lahirnya sikap konsumtif. Oleh sebab itu pengawasn orang tua dan lembaga pendidikan terhadap anak anak didik merupakan langkah yang mendesak yang perlu digiatkan.
5. Pemberantasan Narkoba di Kota Mataram haruslah dilakukan secara terpadu seluruh masyarakat. Menggantungkan pemberantasan narkoba kepada aparat semata mata akan menjadi sia sia karena dalam beberapa kasus ternyata oknum aparat juga terlibat dalam pemakaian barang haram tersebut.
6. Pola penanganan terhadap permasalahan di atas harus dilakukan secara Preventif, Represif, pendekatan Formal dan Non Formal, serta secara Integratif.
Kamis, 26 Januari 2012
Sabda Pandito Ratu dan Kantor Bupati Bima Dibakar
Kisah Kabupaten Bima dan Yogyakarta
0leh DR.H.ZAINAL ASIKIN, SH, SU
A.Pengantar
Ketika tulisan ini saya buat, konon saya mendapat
BBM bahwa Kantor Bupati Bima dibakar massa sampai luluh lantak. Saya tidak tahu persis yang membakar dan apa
penyebab aksi pembakaran itu. Saya hanya
mampu mengira ngira bahwa penyebabnya mungkin masih sekitar ketidak puasan
masyarakat Sape yang merasa terancam dengan rencana pembangunan tambang, dan
masih sekitar kekecewaan masyarakat yang
harus menjadi korban keganasan polisi di Pelabuhan Sape.
Pikiran saya menerawang ketika
sekolah di Yogya , betapa Sri Sultan begitu sangat dihargai dan dihormati oleh
rakyatnya. Bahkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X kuliah di Fakultas Hukum UGM, manakala Sri Sultan masuk ruangan kuliah semua mahasiswa berdiri menyambut
kedatangannya , tidak kecuali dosen pengajar harus ikut berdiri. Itulah bentuk
kesetiaan rakyat Yogya pada rajanya. Sehingga nyaris tidak pernah ada demo
mendemo yang ditujukan kepada Gubernur (Sri Sultan), paling paling demo hanya
ada di kampus dan mendemo rektor.
Kondisi ini kontras benar dengan
Bima, yang rakyatnya selalu mendemo Bupati yang nota benenya adalah Raja Bima
atau akhli waris tahta kerajaan yang sebenarnya hampir sama dengan Sri Sultan
HB.X yang juga akhli waris Keraton
Yokya.
Apa yang terjadi. Mungkinkah ada yang keliru dalam sikap,
tindak, laku, dan budi dari Ferry Zulkarnaen sebagai Bupati (Raja Bima)
sehingga tidak lagi didengarkan rakyatnya ?
B. Sabda Pandito Ratu dalam
Kasus Bima
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda
pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana".
Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat
diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana
dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau
secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan.
Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu.
Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu.
Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya.
Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan.
Raja yang selama ini dianggap sebagai contoh teladan mentaati hukum, ternyata oleh rakyat telah melakukan pelanggaran hukum dan mencederai hati rakyat, sehingga Sabdanya tidak lagi lagi menjadi ” Pandito Ratu ”, tapi menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup rakyat. Itulah sebabnya mungkin penyebab dilakukannya pembakaran atas Kantor Bupati itu.
Saya berharap raja raja di NTB dan raja raja kecil yang ada di masing masing kabupaten di NTB ini sedikit meniru sebuah kisah ketulusan dan kejujuran dalam mentaati hukum oleh seorang raja seperti kisah di bawah ini.
C.. Raja Harus Taat Hukum versi Yogya
Suatu
pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam pagi, polisi muda
Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri dengan gagah di tepi
posnya di kawasan Soko. Dari
arah yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam
berplat AB. Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu
melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi
posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam itu.
Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya.
Saat
mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi
hormat. “Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!” Pada masa itu, surat mobil
masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan,
pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh. “Ada apa, pak
polisi?” tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa
pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main, tapi itu
hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam
sikap sempurna. “Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu
arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri
Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan
menolak.
“Ya…
saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan
menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus
berbuat apa. “Jadi…?” Sinuwun bertanya. Pertanyaan singkat, namun sulit bagi
Brigadir Royadin untuk menjawabnya.
“Em…
emm… Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak juga
memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan
begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan raja pun, beliau tidak
melakukannya.
“Baik…
Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera
ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat
tilang. Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang. Ingin
rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi
tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya.
Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak sepatah kata pun keluar dari mulut
Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapat dispensasi. “Sungguh orang
besar…!” begitu gumamnya.
Surat
tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada Sinuwun sebelum
Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Setelah
Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi
sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada
siapa pun berhasil menghibur dirinya.
***
Esok
paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan. Nama
Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir Royadin diminta menghadap
komisaris polisi selaku kepala kantor. “Royadin, apa yang kamu lakukan….
Sa’enake dewe. Ora mikir… Iki sing mbok tangkep sopo heh… ngawur… ngawur!”
Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun
berpindah bolak-balik dari telapak kanan ke kiri. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas
saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe sopo
sinuwun?”
“Siap
Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah… dan memang
salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya,
tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang…
Ngawur… jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Saat itu kepala
polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir
Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai
polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Usai mendapat
marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa.
***
Suatu
sore saat bertugas, Royadin diminta menghadap komisaris di kantor. Setibanya di
kantor, komisaris berkata, “Royadin…. Minggu depan kamu diminta pindah!”
Mendengar berita itu, tubuh Royadin menjadi lemas. Ia membayangkan harus
menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi
ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko.
“Siap,
Pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama
keluargamu semua, dibawa!” Pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa
keluarga ke tepi Pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya
sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di
rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…
Kamu sanggup bersepeda Pekalongan-Yogya? Pindahmu itu ke Yogya bukan di sini.
Sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana. Pangkatmu mau dinaikkan satu
tingkat!” cetus pak komisaris. Disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada Brigadir
Royadin.
Surat itu ditulis
tangan yang inti isinya: “Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Yogya, sebagai
polisi yang tegas saya selaku pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di
wilayah Yogyakarta bersama keluarganya dengan
meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Surat itu ditandatangani Sri Sultan
Hamengkubuwono IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera
menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti
Sultan HB IX, namun ia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta
Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota
ini.
“Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima
kasih, tapi saya tidak bisa pindah dari Pekalongan. Ini tanah kelahiran saya,
rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf
saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak
memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya
dari sang komisaris, namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang
menjadi korban ketegasannya. Luar biasa!
Kisah Kabupaten Bima dan Yogyakarta
0leh DR.H.ZAINAL ASIKIN, SH, SU
A.Pengantar
Ketika tulisan ini saya buat, konon saya mendapat
BBM bahwa Kantor Bupati Bima dibakar massa sampai luluh lantak. Saya tidak tahu persis yang membakar dan apa
penyebab aksi pembakaran itu. Saya hanya
mampu mengira ngira bahwa penyebabnya mungkin masih sekitar ketidak puasan
masyarakat Sape yang merasa terancam dengan rencana pembangunan tambang, dan
masih sekitar kekecewaan masyarakat yang
harus menjadi korban keganasan polisi di Pelabuhan Sape.
Pikiran saya menerawang ketika
sekolah di Yogya , betapa Sri Sultan begitu sangat dihargai dan dihormati oleh
rakyatnya. Bahkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X kuliah di Fakultas Hukum UGM, manakala Sri Sultan masuk ruangan kuliah semua mahasiswa berdiri menyambut
kedatangannya , tidak kecuali dosen pengajar harus ikut berdiri. Itulah bentuk
kesetiaan rakyat Yogya pada rajanya. Sehingga nyaris tidak pernah ada demo
mendemo yang ditujukan kepada Gubernur (Sri Sultan), paling paling demo hanya
ada di kampus dan mendemo rektor.
Kondisi ini kontras benar dengan
Bima, yang rakyatnya selalu mendemo Bupati yang nota benenya adalah Raja Bima
atau akhli waris tahta kerajaan yang sebenarnya hampir sama dengan Sri Sultan
HB.X yang juga akhli waris Keraton
Yokya.
Apa yang terjadi. Mungkinkah ada yang keliru dalam sikap,
tindak, laku, dan budi dari Ferry Zulkarnaen sebagai Bupati (Raja Bima)
sehingga tidak lagi didengarkan rakyatnya ?
B. Sabda Pandito Ratu dalam
Kasus Bima
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda
pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana".
Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat
diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana
dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau
secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan.
Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu.
Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu.
Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya.
Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan.
Raja yang selama ini dianggap sebagai contoh teladan mentaati hukum, ternyata oleh rakyat telah melakukan pelanggaran hukum dan mencederai hati rakyat, sehingga Sabdanya tidak lagi lagi menjadi ” Pandito Ratu ”, tapi menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup rakyat. Itulah sebabnya mungkin penyebab dilakukannya pembakaran atas Kantor Bupati itu.
Saya berharap raja raja di NTB dan raja raja kecil yang ada di masing masing kabupaten di NTB ini sedikit meniru sebuah kisah ketulusan dan kejujuran dalam mentaati hukum oleh seorang raja seperti kisah di bawah ini.
C.. Raja Harus Taat Hukum versi Yogya
Suatu
pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam pagi, polisi muda
Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri dengan gagah di tepi
posnya di kawasan Soko. Dari
arah yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam
berplat AB. Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu
melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi
posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam itu.
Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya.
Saat
mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi
hormat. “Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!” Pada masa itu, surat mobil
masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan,
pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh. “Ada apa, pak
polisi?” tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa
pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main, tapi itu
hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam
sikap sempurna. “Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu
arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri
Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan
menolak.
“Ya…
saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan
menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus
berbuat apa. “Jadi…?” Sinuwun bertanya. Pertanyaan singkat, namun sulit bagi
Brigadir Royadin untuk menjawabnya.
“Em…
emm… Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak juga
memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan
begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan raja pun, beliau tidak
melakukannya.
“Baik…
Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera
ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat
tilang. Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang. Ingin
rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi
tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya.
Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak sepatah kata pun keluar dari mulut
Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapat dispensasi. “Sungguh orang
besar…!” begitu gumamnya.
Surat
tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada Sinuwun sebelum
Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Setelah
Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi
sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada
siapa pun berhasil menghibur dirinya.
***
Esok
paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan. Nama
Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir Royadin diminta menghadap
komisaris polisi selaku kepala kantor. “Royadin, apa yang kamu lakukan….
Sa’enake dewe. Ora mikir… Iki sing mbok tangkep sopo heh… ngawur… ngawur!”
Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun
berpindah bolak-balik dari telapak kanan ke kiri. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas
saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe sopo
sinuwun?”
“Siap
Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah… dan memang
salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya,
tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang…
Ngawur… jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Saat itu kepala
polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir
Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai
polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Usai mendapat
marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa.
***
Suatu
sore saat bertugas, Royadin diminta menghadap komisaris di kantor. Setibanya di
kantor, komisaris berkata, “Royadin…. Minggu depan kamu diminta pindah!”
Mendengar berita itu, tubuh Royadin menjadi lemas. Ia membayangkan harus
menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi
ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko.
“Siap,
Pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama
keluargamu semua, dibawa!” Pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa
keluarga ke tepi Pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya
sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di
rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…
Kamu sanggup bersepeda Pekalongan-Yogya? Pindahmu itu ke Yogya bukan di sini.
Sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana. Pangkatmu mau dinaikkan satu
tingkat!” cetus pak komisaris. Disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada Brigadir
Royadin.
Surat itu ditulis
tangan yang inti isinya: “Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Yogya, sebagai
polisi yang tegas saya selaku pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di
wilayah Yogyakarta bersama keluarganya dengan
meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Surat itu ditandatangani Sri Sultan
Hamengkubuwono IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera
menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti
Sultan HB IX, namun ia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta
Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota
ini.
“Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima
kasih, tapi saya tidak bisa pindah dari Pekalongan. Ini tanah kelahiran saya,
rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf
saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak
memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya
dari sang komisaris, namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang
menjadi korban ketegasannya. Luar biasa!
Senin, 23 Januari 2012
Reformasi Politik Yang Biadab
REFORMASI POLITIK
YANG BIADAB
Oleh DR. H.
ZAINAL ASIKIN, SH, SU
A.Pendahuluan
Ketika
tahun 1999 saya turun ke jalan mengajak
mahasiswa melakukan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim Orde Baru yang
otoriter dan korup, tidak pernah
terpikir bagi saya dan mahasiswa tentang
resiko, meskipun desingan peluru menghujam ke tembok tembok kampus yang sengaja
diarahkan oleh aparat keamanan yang “pro Orde Baru “. Hanya satu yang dipikirkan oleh gerakan
reformasi adalah bagaimana sebuah rezim
jatuh dan tergantikan oleh suasana baru
dan iklim politik baru yang lebih
demokratis.
Dan
ahirnya gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, meskipun
ketika itu kaum reformis belum siap
dengan konsep Indonesia Baru yang lebih bermartabat, semua belum siap bagaimana mengelola sebuah
Negara yang demokratis, mengelola sebuah kehidupan politik yang
santun, bagaimana merumuskan nilai nilai kebaruan yang
beretika, dan membangun kehidupan ekonomi yang menghidupi rakyat.
Nah
sekonyong konyong, muncul para Rambo
Rambo politik, para reformis gadungan (yang dulu tidak pernah
terdengar) tiba tiba mengaku sebagai tokoh reformasi Indonesia yang “
gila dan kemaruk kekuasaan “ dengan membuat partai politik, membuat undang undang partai politik, undang undang
susunan dan kedudukan anggota DPR
dan DPRD yang memberikan kekuasan yang “
super kepada DPR.
Oleh
sebab itu jika sekarang orang menggembar gemborkan bahwa KPK adalah lembaga
super body, maka pernyataan itu salah sama sekali karena lembaga superbody di Indonesia adalah DPR,
karena seluruh pengangkatan apa saja di Indonesia harus persetujuan DPR. Tidak ada pengangkatan lembaga public tanpa
melalui DPR, bahkan Negara Asing jika ingin menempatkan Duta dan Konsulnya di Indonesia harus
persetujuan DPR. Ini sudah benar benar
gila. Tapi itulah kesalahan awal reformasi politik yaitu “
ketidak siapan reformasi ini melakukan seleksi awal “ tentang
“ hukum hukum moralitas dan
sumberdaya yang berkualitas “.
- Parlemen Yang Biadab
Salah satu
kesalahan awal yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dan para reformis
gadungan itu adalah sekonyong konyong
membuat undang undang partai politik yang melarang pegawai negeri untuk berpolitik dan bergabung dalam partai politik,
padahal kita tahu sumber daya manusia
yang berkualitas berada di kantor kantor pemerintah, di kampus kampus
dan di lembaga non depertemen. Maka
peraturan itu memaksa partai politik melakukan seleksi kader secara semrawut, asal asalan dan sama sekali tidak melakukan seleksi secara ketat apalagi berjenjang
karena memang partai politik harus segera berkuasa melalui Pemilu 1999 .
Akibat
kesalahan awal ini maka parlemen kita diisi oleh politisi gadungan, politisi yang kerjaannya tidur,
nonton film porno, atau marah marah pada
menteri karena dengan marah tertutuplah kelemahannya. Bagaimana tidak saya
melihat ada anggota parlemen yang asalnya dari tukang parkir terminal, bahkan yang mengejutkan saya ada anggota
parlemen daerah berprofesi sebagai mucikari ?
Itulah akibat tidak adanya seleksi yang ketat untuk bisa menjadi kader
partai.
Parlemen kita
tidak lebih sebagai “ pasar “ tempat
traksaksi anggaran yang akhirnya
menggeret hampir seluruh anggota
parlemen di Indonesia , dari tingkat Kabupaten, Propinsi, dan Pusat masuk pada pusaran “ korupsi yang memalukan
“. Bagaimana dengan eksekutif ? Eksekutif kita di Indonesia, juga
sama saja, dihuni oleh politisi, karena melalui jalur politiklah orang bisa
menjadi gubernur, bupati dan walikota.
Kendati jalur independent dibolehkan, tapi jalur ini banyak mengalami
jalan berliku yang dibuat oleh politisi.
Akibat lebih jauh adalah hampir di seluruh Indonesia para pimpinan daerah
terlibat kasus korupsi yang sangat memalukan.
Yang menyakitkan sekali bahwa
koruptor yang ditangani KPT itu mayoritas berasal dari Partai yang memakai nama
Islam.
Rapuhnya
mentalitas politisi Indonesia
juga disebabkan tidak adanya kaidah kaidah dan etika politik yang dimiliki oleh
partai politik, sehingga begitu
mudahnya seorang lompat dari partai politik yang satu ke partai politik yang
lain. Padahal partai politik adalah
sebuah perjuangan idiologi
yang sejatinya ditanamkan secara militant pada kader partai. Tapi jika partai
politik tidak memiliki adab pengkaderan maka muncullah kader kutu loncat yang
sekedar cari untung pribadi, bukan berpolitik untuk membangun kehidupan politik
yang lebih prospektif.
Kondisi
kondisi di atas adalah pemicu lahirnya sebuah Parlemen yang biadab dan
eksekutif yang tidak bermartabat,
sehingga mereka menjadi bangga jika berjalan jalan (studi banding) ditengah tengah
kesulitan bangsa ini membangun ekonomi, mereka bangga membangun WC senilai 2
Milyar atau membeli korsi senilai 25
Juta.
- Menuju Orde Baru Jilid Kedua
Menyaksikan sinetron politik yang ada di
Indonesia, maka nampaknya pembangunan
politik di Indonesia tidak dapat lagi sepenuhnya diserahkan kepada politisi dan
partai politik. Karena partai politik
dan politisi telah menunjukkan kegagalannya dalam melaksanakan amanah reformasi
di Indonesia.
Gerakan melakukan pembaharuan harus segera
dilakukan jika tidak mengharapkan kehancuran bangsa ini kearah yang lebih gawat.
Mengharapkan para politisi bersedia memperbaiki hukum hukum yang lebih
rasional untuk membatasi kewenangan
DPR agar tidak menjadi lembaga superbody
dan lembaga yang tidak beradab adalah suatu yang mustahil.
Maka gerakakan reformasi jilid kedua nampaknya
perlu dilakukan dengan melakukan revolusi
yang sistematis oleh para
mahasiswa dan birokrasi yang selama ini menjadi korban politik.
Gerakan ini harus dilakukan dengan mengajak
militer melakukan pembelaan dan
memberikan kesempatan kepada militter mengambil peran dalam reformasi, bukan hanya sebagai pemadam
kebakaran dan selalu dibayangi oleh HAM.
Diperlukan Orde Baru jilid II dengan memberikan semua elemen untuk
menikmati kehidupan politik, dan politik bukan hanya milik politisi., apalagi
politisi yang tidak beridiologi (politisi lompat pagar).
Dengan demikinan maka Parlemen Indonesua akan
dihuni oleh orang cerdas, birokrat cerdas,
dan ilmuwan cerdas yang mampu merumuskan visi misi Indonesia ke
depan. Bukan parlemen dan
eksekuyif yang menjadi berhala bagi rakyat.
Dan sangat menakutkan.
Dengan demikian maka keluhan rakyat kecil yang
menyatakan zaman Orde Baru lebih enak dari zaman Reformasi, dengan kata kata
bahwa Orde Baru Jilid II lebih bermakna ketimbang reformasi tanpa arah.
REFORMASI POLITIK
YANG BIADAB
Oleh DR. H.
ZAINAL ASIKIN, SH, SU
A.Pendahuluan
Ketika
tahun 1999 saya turun ke jalan mengajak
mahasiswa melakukan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim Orde Baru yang
otoriter dan korup, tidak pernah
terpikir bagi saya dan mahasiswa tentang
resiko, meskipun desingan peluru menghujam ke tembok tembok kampus yang sengaja
diarahkan oleh aparat keamanan yang “pro Orde Baru “. Hanya satu yang dipikirkan oleh gerakan
reformasi adalah bagaimana sebuah rezim
jatuh dan tergantikan oleh suasana baru
dan iklim politik baru yang lebih
demokratis.
Dan
ahirnya gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, meskipun
ketika itu kaum reformis belum siap
dengan konsep Indonesia Baru yang lebih bermartabat, semua belum siap bagaimana mengelola sebuah
Negara yang demokratis, mengelola sebuah kehidupan politik yang
santun, bagaimana merumuskan nilai nilai kebaruan yang
beretika, dan membangun kehidupan ekonomi yang menghidupi rakyat.
Nah
sekonyong konyong, muncul para Rambo
Rambo politik, para reformis gadungan (yang dulu tidak pernah
terdengar) tiba tiba mengaku sebagai tokoh reformasi Indonesia yang “
gila dan kemaruk kekuasaan “ dengan membuat partai politik, membuat undang undang partai politik, undang undang
susunan dan kedudukan anggota DPR
dan DPRD yang memberikan kekuasan yang “
super kepada DPR.
Oleh
sebab itu jika sekarang orang menggembar gemborkan bahwa KPK adalah lembaga
super body, maka pernyataan itu salah sama sekali karena lembaga superbody di Indonesia adalah DPR,
karena seluruh pengangkatan apa saja di Indonesia harus persetujuan DPR. Tidak ada pengangkatan lembaga public tanpa
melalui DPR, bahkan Negara Asing jika ingin menempatkan Duta dan Konsulnya di Indonesia harus
persetujuan DPR. Ini sudah benar benar
gila. Tapi itulah kesalahan awal reformasi politik yaitu “
ketidak siapan reformasi ini melakukan seleksi awal “ tentang
“ hukum hukum moralitas dan
sumberdaya yang berkualitas “.
- Parlemen Yang Biadab
Salah satu
kesalahan awal yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dan para reformis
gadungan itu adalah sekonyong konyong
membuat undang undang partai politik yang melarang pegawai negeri untuk berpolitik dan bergabung dalam partai politik,
padahal kita tahu sumber daya manusia
yang berkualitas berada di kantor kantor pemerintah, di kampus kampus
dan di lembaga non depertemen. Maka
peraturan itu memaksa partai politik melakukan seleksi kader secara semrawut, asal asalan dan sama sekali tidak melakukan seleksi secara ketat apalagi berjenjang
karena memang partai politik harus segera berkuasa melalui Pemilu 1999 .
Akibat
kesalahan awal ini maka parlemen kita diisi oleh politisi gadungan, politisi yang kerjaannya tidur,
nonton film porno, atau marah marah pada
menteri karena dengan marah tertutuplah kelemahannya. Bagaimana tidak saya
melihat ada anggota parlemen yang asalnya dari tukang parkir terminal, bahkan yang mengejutkan saya ada anggota
parlemen daerah berprofesi sebagai mucikari ?
Itulah akibat tidak adanya seleksi yang ketat untuk bisa menjadi kader
partai.
Parlemen kita
tidak lebih sebagai “ pasar “ tempat
traksaksi anggaran yang akhirnya
menggeret hampir seluruh anggota
parlemen di Indonesia , dari tingkat Kabupaten, Propinsi, dan Pusat masuk pada pusaran “ korupsi yang memalukan
“. Bagaimana dengan eksekutif ? Eksekutif kita di Indonesia, juga
sama saja, dihuni oleh politisi, karena melalui jalur politiklah orang bisa
menjadi gubernur, bupati dan walikota.
Kendati jalur independent dibolehkan, tapi jalur ini banyak mengalami
jalan berliku yang dibuat oleh politisi.
Akibat lebih jauh adalah hampir di seluruh Indonesia para pimpinan daerah
terlibat kasus korupsi yang sangat memalukan.
Yang menyakitkan sekali bahwa
koruptor yang ditangani KPT itu mayoritas berasal dari Partai yang memakai nama
Islam.
Rapuhnya
mentalitas politisi Indonesia
juga disebabkan tidak adanya kaidah kaidah dan etika politik yang dimiliki oleh
partai politik, sehingga begitu
mudahnya seorang lompat dari partai politik yang satu ke partai politik yang
lain. Padahal partai politik adalah
sebuah perjuangan idiologi
yang sejatinya ditanamkan secara militant pada kader partai. Tapi jika partai
politik tidak memiliki adab pengkaderan maka muncullah kader kutu loncat yang
sekedar cari untung pribadi, bukan berpolitik untuk membangun kehidupan politik
yang lebih prospektif.
Kondisi
kondisi di atas adalah pemicu lahirnya sebuah Parlemen yang biadab dan
eksekutif yang tidak bermartabat,
sehingga mereka menjadi bangga jika berjalan jalan (studi banding) ditengah tengah
kesulitan bangsa ini membangun ekonomi, mereka bangga membangun WC senilai 2
Milyar atau membeli korsi senilai 25
Juta.
- Menuju Orde Baru Jilid Kedua
Menyaksikan sinetron politik yang ada di
Indonesia, maka nampaknya pembangunan
politik di Indonesia tidak dapat lagi sepenuhnya diserahkan kepada politisi dan
partai politik. Karena partai politik
dan politisi telah menunjukkan kegagalannya dalam melaksanakan amanah reformasi
di Indonesia.
Gerakan melakukan pembaharuan harus segera
dilakukan jika tidak mengharapkan kehancuran bangsa ini kearah yang lebih gawat.
Mengharapkan para politisi bersedia memperbaiki hukum hukum yang lebih
rasional untuk membatasi kewenangan
DPR agar tidak menjadi lembaga superbody
dan lembaga yang tidak beradab adalah suatu yang mustahil.
Maka gerakakan reformasi jilid kedua nampaknya
perlu dilakukan dengan melakukan revolusi
yang sistematis oleh para
mahasiswa dan birokrasi yang selama ini menjadi korban politik.
Gerakan ini harus dilakukan dengan mengajak
militer melakukan pembelaan dan
memberikan kesempatan kepada militter mengambil peran dalam reformasi, bukan hanya sebagai pemadam
kebakaran dan selalu dibayangi oleh HAM.
Diperlukan Orde Baru jilid II dengan memberikan semua elemen untuk
menikmati kehidupan politik, dan politik bukan hanya milik politisi., apalagi
politisi yang tidak beridiologi (politisi lompat pagar).
Dengan demikinan maka Parlemen Indonesua akan
dihuni oleh orang cerdas, birokrat cerdas,
dan ilmuwan cerdas yang mampu merumuskan visi misi Indonesia ke
depan. Bukan parlemen dan
eksekuyif yang menjadi berhala bagi rakyat.
Dan sangat menakutkan.
Dengan demikian maka keluhan rakyat kecil yang
menyatakan zaman Orde Baru lebih enak dari zaman Reformasi, dengan kata kata
bahwa Orde Baru Jilid II lebih bermakna ketimbang reformasi tanpa arah.
Langganan:
Postingan (Atom)