Kamis, 26 Januari 2012


Kisah  Kabupaten Bima dan Yogyakarta
0leh DR.H.ZAINAL ASIKIN, SH, SU

A.Pengantar
Ketika tulisan ini saya buat, konon saya mendapat BBM bahwa Kantor Bupati Bima dibakar massa sampai luluh lantak.  Saya tidak tahu persis yang membakar dan apa penyebab aksi pembakaran itu.  Saya hanya mampu mengira ngira bahwa penyebabnya mungkin masih sekitar ketidak puasan masyarakat Sape yang merasa terancam dengan rencana pembangunan tambang, dan masih sekitar  kekecewaan masyarakat yang harus menjadi korban keganasan polisi di Pelabuhan Sape.
            Pikiran saya menerawang ketika sekolah di Yogya , betapa Sri Sultan begitu sangat dihargai dan dihormati oleh rakyatnya. Bahkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X  kuliah di Fakultas Hukum UGM,  manakala Sri Sultan masuk ruangan kuliah  semua mahasiswa berdiri menyambut kedatangannya , tidak kecuali dosen pengajar harus ikut berdiri. Itulah bentuk kesetiaan rakyat Yogya pada rajanya. Sehingga nyaris tidak pernah ada demo mendemo yang ditujukan kepada Gubernur (Sri Sultan), paling paling demo hanya ada di kampus dan mendemo rektor.
            Kondisi ini kontras benar dengan Bima, yang rakyatnya selalu mendemo Bupati yang nota benenya adalah Raja Bima atau akhli waris tahta kerajaan yang sebenarnya hampir sama dengan Sri Sultan HB.X yang juga  akhli waris Keraton Yokya.
            Apa yang terjadi.  Mungkinkah ada yang keliru dalam sikap, tindak, laku, dan budi dari Ferry Zulkarnaen sebagai Bupati (Raja Bima) sehingga tidak lagi didengarkan rakyatnya ?
 B. Sabda Pandito Ratu   dalam Kasus Bima
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan.


Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu.

Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu.

Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya.
Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya.


Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan.
Nah nampaknya Bupati Bima yang sekaligus Raja Bima agak lupa akan janji setianya bahwa sebagai raja harus tetap setia mengabdi kepada rakyat dan membela rakyat, bukan membela jabatannya,  harus selalu setia pada kata katanya bahwa  pengabdian untuk rakyat, bukan pengabdian untuk pengusaha.   Sabda sang Raja itu rupanya oleh rakyat telah dilalaikan dan  diingkari sehingga rajanya  yang selama ini dianggap pengayom ternyata menjadi musuhnya sehingga tiada kata lain selain  harus melawan dan tidak lagi patuh pada rajanya.
            Raja yang selama ini dianggap sebagai contoh teladan mentaati hukum, ternyata oleh rakyat telah melakukan pelanggaran hukum dan mencederai hati rakyat, sehingga Sabdanya tidak lagi lagi menjadi ” Pandito Ratu ”, tapi menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup rakyat.  Itulah sebabnya mungkin penyebab dilakukannya pembakaran atas Kantor Bupati itu.
            Saya berharap raja raja di NTB dan raja raja kecil yang ada di masing masing kabupaten di NTB ini sedikit  meniru sebuah kisah ketulusan dan kejujuran dalam mentaati hukum oleh seorang raja seperti kisah di bawah ini.
C.. Raja Harus Taat Hukum versi Yogya
Suatu pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam pagi, polisi muda Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri dengan gagah di tepi posnya di kawasan Soko. Dari arah yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam berplat AB. Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam itu. Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya.
Saat mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat. “Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!” Pada masa itu, surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh. “Ada apa, pak polisi?” tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main, tapi itu hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna. “Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan menolak.
“Ya… saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa. “Jadi…?” Sinuwun bertanya. Pertanyaan singkat, namun sulit bagi Brigadir Royadin untuk menjawabnya.
“Em… emm… Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak juga memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan raja pun, beliau tidak melakukannya.
“Baik… Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang. Ingin rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak sepatah kata pun keluar dari mulut Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapat dispensasi. “Sungguh orang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada Sinuwun sebelum Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Setelah Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapa pun berhasil menghibur dirinya.
***
Esok paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan. Nama Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir Royadin diminta menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor. “Royadin, apa yang kamu lakukan…. Sa’enake dewe. Ora mikir… Iki sing mbok tangkep sopo heh… ngawur… ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun berpindah bolak-balik dari telapak kanan ke kiri. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe sopo sinuwun?”
“Siap Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah… dan memang salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya, tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang… Ngawur… jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa.
***
Suatu sore saat bertugas, Royadin diminta menghadap komisaris di kantor. Setibanya di kantor, komisaris berkata, “Royadin…. Minggu depan kamu diminta pindah!” Mendengar berita itu, tubuh Royadin menjadi lemas. Ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko.
“Siap, Pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” Pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi Pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur… Kamu sanggup bersepeda Pekalongan-Yogya? Pindahmu itu ke Yogya bukan di sini. Sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana. Pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!” cetus pak komisaris. Disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada Brigadir Royadin.
Surat itu ditulis tangan yang inti isinya: “Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Yogya, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di wilayah Yogyakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Surat itu ditandatangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX, namun ia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.
“Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima kasih, tapi saya tidak bisa pindah dari Pekalongan. Ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris, namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya. Luar biasa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar