Kisah Kabupaten Bima dan Yogyakarta
0leh DR.H.ZAINAL ASIKIN, SH, SU
A.Pengantar
Ketika tulisan ini saya buat, konon saya mendapat
BBM bahwa Kantor Bupati Bima dibakar massa sampai luluh lantak. Saya tidak tahu persis yang membakar dan apa
penyebab aksi pembakaran itu. Saya hanya
mampu mengira ngira bahwa penyebabnya mungkin masih sekitar ketidak puasan
masyarakat Sape yang merasa terancam dengan rencana pembangunan tambang, dan
masih sekitar kekecewaan masyarakat yang
harus menjadi korban keganasan polisi di Pelabuhan Sape.
Pikiran saya menerawang ketika
sekolah di Yogya , betapa Sri Sultan begitu sangat dihargai dan dihormati oleh
rakyatnya. Bahkan ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X kuliah di Fakultas Hukum UGM, manakala Sri Sultan masuk ruangan kuliah semua mahasiswa berdiri menyambut
kedatangannya , tidak kecuali dosen pengajar harus ikut berdiri. Itulah bentuk
kesetiaan rakyat Yogya pada rajanya. Sehingga nyaris tidak pernah ada demo
mendemo yang ditujukan kepada Gubernur (Sri Sultan), paling paling demo hanya
ada di kampus dan mendemo rektor.
Kondisi ini kontras benar dengan
Bima, yang rakyatnya selalu mendemo Bupati yang nota benenya adalah Raja Bima
atau akhli waris tahta kerajaan yang sebenarnya hampir sama dengan Sri Sultan
HB.X yang juga akhli waris Keraton
Yokya.
Apa yang terjadi. Mungkinkah ada yang keliru dalam sikap,
tindak, laku, dan budi dari Ferry Zulkarnaen sebagai Bupati (Raja Bima)
sehingga tidak lagi didengarkan rakyatnya ?
B. Sabda Pandito Ratu dalam
Kasus Bima
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda
pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana".
Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat
diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana
dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau
secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan.
Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu.
Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu.
Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya.
Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan.
Raja yang selama ini dianggap sebagai contoh teladan mentaati hukum, ternyata oleh rakyat telah melakukan pelanggaran hukum dan mencederai hati rakyat, sehingga Sabdanya tidak lagi lagi menjadi ” Pandito Ratu ”, tapi menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup rakyat. Itulah sebabnya mungkin penyebab dilakukannya pembakaran atas Kantor Bupati itu.
Saya berharap raja raja di NTB dan raja raja kecil yang ada di masing masing kabupaten di NTB ini sedikit meniru sebuah kisah ketulusan dan kejujuran dalam mentaati hukum oleh seorang raja seperti kisah di bawah ini.
C.. Raja Harus Taat Hukum versi Yogya
Suatu
pagi di pertengahan tahun 1960-an pada pukul setengah enam pagi, polisi muda
Royadin yang berpangkat brigadir polisi, sudah berdiri dengan gagah di tepi
posnya di kawasan Soko. Dari
arah yang berlawanan dengan arus kendaraan lainnya, tampak sebuah sedan hitam
berplat AB. Brigadir Royadin memandang di kejauhan, sementara sedan hitam itu
melaju perlahan menuju ke arahnya. Dengan sigap, ia menyeberang jalan di tepi
posnya. Tangannya diayunkan ke depan untuk menghentikan laju sedan hitam itu.
Sedan tahun 50-an itu berhenti di hadapannya.
Saat
mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi
hormat. “Selamat pagi! Boleh ditunjukkan rebuwes!” Pada masa itu, surat mobil
masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan,
pria di dalam sedan menurunkan kaca samping secara penuh. “Ada apa, pak
polisi?” tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget. Ia mengenali siapa
pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main, tapi itu
hanya berlangsung sedetik. Naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam
sikap sempurna. “Bapak melanggar verboden, tidak boleh lewat sini, ini satu
arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Yogya, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilakan Sri
Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sri Sultan
menolak.
“Ya…
saya salah. Kamu benar, saya pasti salah!” Sinuwun turun dari sedannya dan
menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus
berbuat apa. “Jadi…?” Sinuwun bertanya. Pertanyaan singkat, namun sulit bagi
Brigadir Royadin untuk menjawabnya.
“Em…
emm… Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak juga
memakai kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya. Jangankan
begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat negara dan raja pun, beliau tidak
melakukannya.
“Baik…
Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya harus segera
ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat
tilang. Dengan tangan bergetar, Brigadir Royadin membuatkan surat tilang. Ingin
rasanya tidak memberikan surat itu, tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi
tak boleh membeda-bedakan pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya.
Yang membuatnya sedikit tenang adalah tak sepatah kata pun keluar dari mulut
Sinuwun yang menyebutkan bahwa dia berhak mendapat dispensasi. “Sungguh orang
besar…!” begitu gumamnya.
Surat
tilang pun berpindah tangan. Brigadir Royadin menghormat pada Sinuwun sebelum
Sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. Setelah
Sinuwun pergi, Brigadir Royadin menyadari kebodohan dan kekakuannya. Tapi, nasi
sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada
siapa pun berhasil menghibur dirinya.
***
Esok
paginya saat apel, suara amarah meledak di markas polisi Pekalongan. Nama
Royadin diteriakkan dari ruang komisaris. Brigadir Royadin diminta menghadap
komisaris polisi selaku kepala kantor. “Royadin, apa yang kamu lakukan….
Sa’enake dewe. Ora mikir… Iki sing mbok tangkep sopo heh… ngawur… ngawur!”
Komisaris mengumpat dalam bahasa Jawa. Di tangannya, rebuwes milik Sinuwun
berpindah bolak-balik dari telapak kanan ke kiri. “Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas
saja Sinuwun. Biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia. Ngerti nggak kowe sopo
sinuwun?”
“Siap
Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa. Beliau ngaku salah… dan memang
salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya,
tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia. Ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang…
Ngawur… jan ngawur…. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Saat itu kepala
polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir
Royadin pasrah, apa pun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai
polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja. Usai mendapat
marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa.
***
Suatu
sore saat bertugas, Royadin diminta menghadap komisaris di kantor. Setibanya di
kantor, komisaris berkata, “Royadin…. Minggu depan kamu diminta pindah!”
Mendengar berita itu, tubuh Royadin menjadi lemas. Ia membayangkan harus
menempuh jalan menanjak di pinggir kota Pekalongan setiap hari, karena mutasi
ini, karena ketegasan sikapnya di persimpangan Soko.
“Siap,
Pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama
keluargamu semua, dibawa!” Pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa
keluarga ke tepi Pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya
sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di
rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…
Kamu sanggup bersepeda Pekalongan-Yogya? Pindahmu itu ke Yogya bukan di sini.
Sinuwun yang minta kamu pindah tugas ke sana. Pangkatmu mau dinaikkan satu
tingkat!” cetus pak komisaris. Disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada Brigadir
Royadin.
Surat itu ditulis
tangan yang inti isinya: “Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Yogya, sebagai
polisi yang tegas saya selaku pemimpin Yogyakarta akan menempatkannya di
wilayah Yogyakarta bersama keluarganya dengan
meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Surat itu ditandatangani Sri Sultan
Hamengkubuwono IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera
menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti
Sultan HB IX, namun ia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta
Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota
ini.
“Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima
kasih, tapi saya tidak bisa pindah dari Pekalongan. Ini tanah kelahiran saya,
rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf
saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak
memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX. Amarah hanya diperolehnya
dari sang komisaris, namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang
menjadi korban ketegasannya. Luar biasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar