FILSAFAT DAN TEORI HUKUM POST MODERN
Dunia akan
kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini
adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia
mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai
membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan
mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang Vietnam
pada awal dekade 1960-an?Mengapa kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana? Dan yang
lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu
terjadi pada abad ke-20 ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang
mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas menara gading itu? Semua
ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu
budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya
lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi manusia
di bumi ini.
Karena
itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu
sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin
lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal
menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru
terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena
sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap
pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan
tersebut dianggap wajar-wajar saja.
Science is an essentially
anarchistic enterprise: Theoretical anarchism is more humanitarian and more
likely to encourage progress than its law-and-order alternatives (Paul Feyerabend, 1982:
17).
Bagi
para penganut ajaran postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala
kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal,
harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarah-musyawarahan
dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah
perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Aliran
postmodern ini masuk pula ke dalam bidang hukum, yang bersama-sama dengan paham
terakhir di bidang hukum, saat itu, yaitu paham realisme hukum serta bersama
pula dengan paham kritis radikal seperti aliran Frankfurt di Eropa, mereka
bersama-sama mempolakan suatu aliran baru dalam bidang hukum, yang tentu saja
radikal, yaitu yang disebut dengan aliran hukurn kritis (critical legal
studies). Seorang pelopor utama dari aliran critical legal studies, yaitu
Roberto Mangabeira Unger menyatakan bahwa:
the critical legal studies
movement has undermined the central ideas of modem legal though and put another
conception of law in their place
(Roberto Mangabeira Unger, 1986:
1).
Dalam
berbagai bidang ilmu terdapat berbagai variasi terhadap visi dan perkembangan
aliran terakhirnya di abad kedua puluh itu. Ada yang secara langsung melawan
paham sebelumnya berupa paham positivisme yang sangat dipengaruhi oleh pola
pikir ilmiah – rasional berdasarkan ilmu dan teknologi. Aliran-aliran hukum
yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dengan cara berpikir dengan
menggunakan rasio yang abstrak-silogisme sebagaimana yang dilakukan paharn
positivisme dari Agust Gornte, ajaran hukum. murni dan grundnorm dari Hans
Kelsen dari Jerman, ataulbun ajaran hukum alam, bahkan ajaran-ajaran seperti
dari Durkheirn, Von Jhering, Max Weber, dan Gustav Radbruch sebelumnya sudah
dilabrak habis oleh aliran realisme hukum pada, sekitar dekade 1930-an. Jadi,
tidak benar jika ilmu hukum selalu bersifat konservatif dan cenderung
mempertahankan status quo sebagaimana yang dituding oleh banyak orang.
Aliran
realisme hukum ini melakukan pembangkangan terhadap teori dan konsep hukum yang
ada dengan mengajukan banyak pertanyaan penting terhadap hukum. Hanya saja,
eksistensi kehidupan aliran. realisme hukum tersebut kemuthan memang dalarn
keadaan megap-megap dan dunia hukum menjadi semakin redup setelah meninggalnya
para pelopor dari aliran realisme hukum itu, terutama dengan meninggalnya Karl
Llewellyn, Joreme Frank, dan Felix Cohen.
Akan
tetapi, kemudian dunia hukum kembali bersinar lagi, terutama dengan munculnya
aliran baru pada akhir abad ke~20 yang disebut dengan critical legal studies.
Aliran
critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti – liberal,
antiobiektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat
hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodem, neomarxism, dan
realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya,
yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak
hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap
golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan
hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu, di
mana aliran critical legal studies ini dengan menolak unsur kebenaran objektif
dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur
keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, mereka mengubah haluan
hukurn untuk kernudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi
dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Modernisme
mengakibatkan militerisme. Karena unsur religius dan moral tidak berdaya,
manusia cenderung menggunakan kekuatan kekuasaan sehingga perang crengan senjata
canggih, kekerasan, ataupun militerisme tidak terelakan. Meskipun penggunaan
agama secara fundamentalis juga dapat mengakibatkan hat yang sama afas nama
perjuangan menegakkan agama secara kaku.
Sebagai
konsekuensi penggunaan kekuasaan secara koersif, maka timbullah kembali paham
tribalisme, yang hanya mementingkan suku atau kelompoknya sendri.
(I. Bambang
Sugiharto, 1996:30).
Perkembangan
dunia modern yang sarat dengan ilmu dan teknologi dan dengan cara berpikir yang
sekuler dan kapital – liberalisme, ternyata telah membawa petaka berupa
kehancuran planet bumi sekaligus merupakan ancaman terhadap kehidupan dan
peradaban manusia. Karena itu, di mana-mana dewasa ini semangat menyelesaikan
segala persoalan manusia dengan mengikutsertakan pertimbangan spiritual sudah
mulai bergema lagi. Faktor agama yang suclah lama tidur lelap karena dipandang
hanya sebagai candu yang meninabobokan masyarakat, diundang untuk turun tangan
kembali. Jika pada masa-masa lalu ternyata agama dapat bersikap aktif dan
komunikatif, dengan adaptasi-adaptasi tertentu, diharapkan tentunya agama
tersebut dapat memainkan perannya kembali.
Relativisme
Merupakan
suatu paham yang mengajarkan bahwa semua putusan terhadap nilai bersifat
relatif terhadap perspektif dan tujuan yang terbatas. Jadi, tidak ada tempat
berpijak yang secara objektif menentukan bahwa sesuatu itu secara normatif
benar atau tidak.sekarang zaman postmodern telah datang, yang akan
menjungkirbalikkan hampir semua asumsi dan pola pikir zaman modern yang terkesan
congkak (arogan) tersebut.
Postmodern
merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana
diketahui bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene
Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era
modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan
berkembangnya secara pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan
konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan, mitos,
takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis
lainnya.
BAB II
Sketsa Post Modern : Porak – Porandanya Pengetahuan
Sketsa Post Modern : Porak – Porandanya Pengetahuan
Istilah
“postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi
disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua
kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling
berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan
seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak
dibutuhkan. Itulah dia watak postmodem, suatu ungkapan sangat populer, tetapi
tanpa definisi yang jelas.
Di
samping itu, bagi kaum postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala
kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal,
harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari
kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan
perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Kaum
postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas.
Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas
yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda –
beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor
aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran
(sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita
membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut,
universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas
tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang
diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu
realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
Paham
postmodem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu
kebenaran baru ada jika adanya hubungan yang selaras antara. statement yang
diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori korespondensi:
“Jika
Anda berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam
lemari es itu untuk membuktikan apakah perkataan Anda benar. “
(Stanley J.
Gren-i, 2001: 69).
Oleh
kaum realis, teori korespondensi ini dianggap berlaku universal dimana-mana.
Menurut kaum realis, pikiran manusia, dapat mengetahui suatu realitas secara,
utuh sehingga. dunia dapat digambarkan secara. utuh, lengkap, dan tepat
termasuk menggambarkan rahasia alam semesta, melalui ilmu pengetahuan. Dan
kesemuanya itu dapat digambarkan dengan suatu bahasa. yang tepat. Dengan
demikian, menurut kaurn postmodem,
bahasa. berfungsi sebagai permainan catur, yang memiliki aturan bagaimana
seharusnya, suatu pion digerakkan. Jacli, bahasa. ticlak dapat begitu saja
clihubungkan dengan suatu realitas karena bahasa ticlak menggambarkan realitas
secara tepat clan objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan dunia. dengah
berbagai cara. bergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa. tersebut.
Dengan
demikian, aliran critical legal studies,
yang antara lain merupakan refleksi aliran postmodem ke dalam bidang hukum
mencoba memberikan suatu jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap
kenyataan bahwa hukum pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi
tataran teoritis, filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di samping itu,
dengan pendekatan secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang
diterapkan dalam masyarakat, menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad
ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru, yang
memporak-porandakan premis hukum yang lama.
BAB III
Pengaruh Dari Realisme Hukum
The life of the law has not been
logic, it has been experience … the law can not dealt with as if it contained
only the axioms and corollaries of a book of mathematics.,
(Oliver
Wendell Holmes)
A. Latar
Belakang Lahirnya Aturan Realisme Hukum
Gerakan
critical legal studies, yang semula merupakan keluh kesah dari beberapa pernikir
hukum di Amerika Serikat yang kritis, tanpa disangka ternyata begitu cepat
gerakan ini nenemukan jati dirinya dan telah menjadi suatu aliran tersendiri
dalam teori dan filsafat hukum. Dan ternyata pula bahwa gerakan ini berkembang
begitu cepat ke berbagai negara dengan kritikan dan buah pikirnya yang cukup
segar dan elegan..
Sebagaimana
biasanya suatu aliran dalarn filsafat hukurn, maka aliran realisme hukum juga
lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan nonhukum, yaitu
faktor-faktor sebagai berikut:
Faktor
perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktor perkembangan sosial
dan politik.
Walaupun
begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari William James dan John Dewey itu
sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh
juga terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat
pengaruhnya terhadap ajaran dari Roscoe Pound.
Pengaruh
dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme
hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam dunia
filsafat sangat berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang
dikembangkan dan dianut oleh William James dan John Dewey. Bahkan, dapat dikatakan
bahwa pragmatisme sebenarnya merupakan landasan filsafat terhadap aliran
realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para penganut dan inspirator
aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau Oliver
Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme hukum
ini.
Hubungan
antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di
satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan
atau overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran
tersebut justru saling berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan penganut
aliran sociological jurisprudence, merupakan, salah satu pengritik terhadap
aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan namanya, aliran
realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih nyata
dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence.
B. Konsep
Pemikiran Dari Realisme Hukum
Paham
realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang hukum.
Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagaimana.
memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari
kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas
hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan
putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada
masa yang akan datang.
Para penganut aliran critical
legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari . aliran realisme hukurn
dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal-sosial terhadap politik
hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan dari
mitos “hukurn yang netral” yang melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan
menganalisis bagaimana sistern hukurn mentransformasi fenomena sosial yang
sarat dengan unsur politik ke dalam simbol-simbol operasional yang sudah
dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran critical legal studies dengan tegas
menolak upaya-upaya dari ajaran realisme hukum dalam hal upaya aliran realisme
hukum untvk memformulasi kembali unsur “netralitas” dari sistern hukum.
Seperti
telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya sendiri
lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka. menyebutnya
sebagai “gerakan” realisme hukum (legal realism movement). Nama
populer untuk aliran tersebut memang “realisme hukum” (legal realism)
meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain seperti: Functional
Jurisprudence. Experimental Jurisprudence.Legal Pragmatism. Legal
Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal
Discriptionism. Scientific Jurisprudence. Constructive Scepticism.
C. Hubungan
Realisme Hukum Dengan Critical Legal Studies
Kaum
realist hukum tidak percaya terhadap pendekatan pada hukum yang dilakukan oleh
kaurn positivist dan naturalist, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa hakirn
hanya menerapkan hukurn yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Bahkan,
sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran formalisme hukurn bahwa penalaran
hukum (legal reasoning) merupakan penalaran yang bersifat syllogism,
di mana premis mayor berupa aturan hukurn dan premis minor berupa fakta-fakta
yang relevan, sedangkan hasilnya berupa putusan hakim. Menurut ajaran realisme
hukum, aliran positivisme maupun allran formalisme sama-sama meremehkan
penerapan hukum oleh hakim, di mana menurut golongan ini, peranan hakirn hanya
sebatas menerapkan hukum atau paling jauh hanya menafsirkan hukum seperti yang
terdapat dalarn aturan perundangundangan. Sebaliknya, menurut aliran realisme
hukum, hakim tidak hanya menerapkan atau menafsirkan hukum. Dalarn banyak hal,
ketika hakirn memutuskan perkara, hakirn justru membuat hukum. Hukurn yAng
dibuat oleh hakirn ini umumnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang politik
dan perasaan dari hakirn yang memutuskan perkara tersebut.
Aliran
realisme hukurn pada prinsipnya me.mberikan beberapa tesis sebagai berikut:
1. Tesis
Pertama
Aturan hukurn yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap
putusan hakirn karena masing-masing fakta hukum dalarn masing-masing kasus yang
bersangkutan bersifat unik.
2. Tesis
Kedua
Karena itu, dalarn memutus perkara, hakirn membuat hukum yang baru.
3. Tesis
Ketiga
Putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat
dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral d.ari hakim itu sendiri, bukan
bbrdasarkan pertimbangan hukum.
Karena
masuknya ilmu-ilmu positif ke dalam bidang hukum menjadikan hukum seperti
kerangka-kerangka yang mati dan tidak berjiwa, maka keadilan yang sebenarnya merupakan
tujuan utama bagi hukum, semakin jauh dan kenyataan. Unsur-unsur antropologis
sama sekali diabaikan. Nilai-nilai, termasuk nilai keadilan, kebenaran,
perlindungan, rasa sayang, empati, dan. lain-lain tidak pernah lagi
dipertimbangkan oleh hukum. Hakim dipaksa menjadi semacam robot-robot. Dari sini
timbul gagasan untuk menggantikan hakim dengan mesin-mesin komputer saja.
D. Kritik
Terhadap Realisme Hukum
Sebagai
sebuah aliran yang menjelajahi sampai ke dunia filsafat, adalah wajar jika terhadap
aliran realisme hukum terjadi perbedaan pendapat dan kritikan-kritikan. Bahkan,
pada awal-awal kelahirannya, tentang konsep – konsep dari aliran ini sempat
menjadi perdebatan yang terbilang sengit di antara para ahli hukum. Sekitar
tahun 1931, bahkah terjadi perdebatan yang cukup seru di antara para ahli
hukurn kala itu, khususnya antara Roscoe Pound, Karl Llewellyn, dan Jorerne
Frank. Polemik tersebut sangat membekas dan terus berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya dari aliran realisme hukurn ini.
Kritik
terhadap aliran realisme hukum juga diajukan terhadap hal-hal yang berkenaan
dengan pandangannya tentang proses judisial. Dalam hal ini kritik diajukan
terhadap statement yang normatif dan terhadap konsep “logic”, sedangkan terhadap
penekanan kaum realis hanya terhadap kasus-kasus yang susah saja.
Mengenai
logika hukum, kaum realisme hukum dikritik bahwa kaum realisme hukum tersebut,
terutama Joreme Frank, gagal melihat bahwa logika bukan alat untuk menemukan
sesuatu, melainkan lebih merupakan suatu demonstrasi, di mana dari premise yang
tetap dapat ditarik kesimpulan tertentu dengan alasan yang logis. Sebagaimana
diketahui bahwa kaum realisme hukum memang menentang penarikan kesimpulan hukum
dengan menggunakan logika melalui silogisme. Akan tetapi, sebenarnya kaum
realisme hukurn sudah membedakan antara alasan (reason) untuk suatu pendapat (opinion) dan logika (logic) untuk
mengambil suatu keputusan hukum..
BAB IV
Critical Legal Studies :
Latar
Belakang dan Perkembangan
A. Latar
Belakang Lahirnya Critical Legal Studies
Sebagaimana
diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum
yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu., semisal
aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin
tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman
di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan
adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn praktek, teori, dan filsafat hukum
untuk menjawab tantangan zaman tersebut. Maka, aliran critical legal studies
datang pada saat yang tepat dengan menawarkan diri sebagai pengisi kekosongan
dan kehausan akan doktrin – doktrin baru dalarn hukum kontemporer.
Aliran
critical legal studies mengritik aliran-aliran hukum yang sedang berkembang
saat itu yang diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern
dalarn hukum. Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut memiliki
-karakteristik yang liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku pada
umumnya di bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam
bidang hukum, aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran
critical legal studies tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme
hukum.
B. Critical
Legal Studies Sebagai Tanggapan Terhadap Ketidakberdayaan Hukum
Menyadari
akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan filsafat ini,
maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum
mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan
gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya memunculkan suatu aliran baru
dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum
kritis” (critical legal studies). Meskipun aliran critical legal studies belum
tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia
sudah punya. sejarah.
Di
samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi
dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies).
Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa
terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented).
Khusus untuk masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan
oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical
sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena
sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang
dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang
dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara.
lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical
critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini
sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara
klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity
thinking).
C. Critical
Legal Studies, Formalisme, dan Pluralisme Hukum
Sebagaimana
diketahui bahwa aliran critical legal studies merupakan reaksi terhadap aliran-aliran
hukum sebelumnya, di mana aliran hukum sebelumnya tersebut sangat berpegang
pada. paradigma bahwa hukum terpisah dengan faktor politik dan moral, dengan
mengagung-agungkan manusia sebagai pernegang hak individual dan penyandang
kewajiban hukum, dan dengan mengabaikan hubungan politik dan sosial di antara
para anggota masyarakat.
Di
samping itu, menurut paham formalisme hukum, hukum bersifat imperatif, karena
hukum tersebut dibuat oleh negara. dan alat-alat pelengkapan negara bertugas
untuk menjalankan hukum tersebut. Pemerintah bersama~sama dengan DPR mempunyai
otoritas untuk membuat undang-undang, yang akan diterapkan oleh hakim di
pengadilan. Pemikiran seperti ini membawa akibat bahwa validitas hukum tidak
lagi dilihat pada aspek substantifnya. Yang dilihat hanyalah faktor formalnya,
seperti keabasahan prosedur pembuatan dan penerapan hukum, kewenangan pejabat
pembuat dan penerap hukum, dan lain-lain.
D.
Critical Legal Studies dan Sejarah Hukum
Aliran
critical legal studies juga banyak memberikan pandangannya yang secara langsung
atau tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum.
Selanjutnya,
kaum critical legal studies juga. Tidak percaya pada pandangan kaurn
adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang deskriptif
maupun terhadap pandangannya yang normatif.Pandangan yang
deskriptif dari kaurn adaptationism menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya
berisikan suatu daftar dari tema-tema umurn saja, sedangkan pandangannya yang
normatif menyatakan bahwa. masa kini merupakan perbaikan yang terus-menerus
terhadap masa lalu sehingga. apa yang terjadi masa kini harus disambut dengan
baik.
Sebenarnya,
yang pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah mazhab frankfurt,
yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social Research dari
University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana berhaluan kiri.
Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak begitu jelas
batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di kembangkan antara
lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk teori-teori sebagai
berikut: Teori marxist dari Frankfurt School,
Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan Roland Barthes, Teori psychoanalythic
dari Jacquest Lacan, Critical legal studies dari
Roberto Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori gender, Teori kultural,
Teori critical race, Teori radical criminology.
E.. Critical
Race Theory ( Race – Crits )
Sebagaimana
diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan critical
legal studies ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin, Medison,
dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua
pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran critical legal studies,
yaitu aliran critical feminist jurisprudence dan aliran critical race theory.
F. Respons
dari Kaum Ortodoks Terhadap Critical Legal Studies
Sebagai
suatu ajaran dalarm filsafat, sudah barang tentu aliran critical legal studies
ini mendapat resp6ns dan kritik dari berbagai sudut pandang. Di antara respons
yang penting terhadap aliran critical legal studies tersebut adalah responsns
dari kaum ortodoks, yang merupakan para penganut dari aliran liberal dalam
hukum. Pada pnn.sipnya, mereka mengritik aliran critical legal studies ini,
baik dari segi indeterminasi dan legitimasi maupun dari hasil yang didapati.
Mernang banyak ahli hukum menyatakan bahwa karena posisi yang diambil oleh
aliran critical legal studies ini sangat ekstrem, dalam, banyak hal malahan
overstated, menyebabkan mereka sangat mudah dikritik oleh pihak yang tidak
menyetujuinya.
BAB VI
Critical
Legal Studies Tentang
Kekuasaan
dan Masyarakat
A. Peranan
Hukum dalam Masyarakat
Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat.
Karena itu, tentu saja, peranan hukum dalam’masyarakat yang teratur seharusnya
cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapa kaeaunya masyarakat jika hukurn
tidak berperan. Masyarakat tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di
mana yang kuat akan memangsa yang lemah, sebagaimana pernah disetir oleh ahli
pikir terkemuka, yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo
Homini Lupus. Dan, yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan
perkembangan alam akan tersisih dan dibiarkan tersisih, sebagaimana disebut
oleh Charles Darwin dalam teori seleksi alamnya (natural selection),
di mana yang kuat yang akan survive (the fittest of survival). Karena
itu, intervensi hukurn untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan
conditio sine qua non (syarat mutlak), Dalam hal ini, hukum akan bertugas untuk
mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan manusia tersebut dijalankan sehingga
tidak menggilas orang’lain yang tidak punya kekuasaan.
BAB VII
Critical
Legal Studies Menurut Roberto Unger
A. Kritik
Terhadap Paham Formalisme dan Objektivisme
Ketika
paham formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum apa
yang mereka lakukan hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian, apa
yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah semacam
permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak manusia dan
masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan menggunakan
analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum yang cerdas
dengan mudah dapat membantah keputusan hukum.
Roberto
Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang
konservatif terhadap kritik kaurn critical legal studies tentang formalisme.
Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn critical legal studies
tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik
dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan
terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan
hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal
studies terhadap ajaran formalisme, ~sebenarnya juga dalam rarigka
mempertahankan ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga
dalarn rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara
penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat
(Roberto Unger, .1986: 11).
B. Konsep
– Konsep dari Aliran Critical Legal Studies
Telaahan
dari para penganut aliran critical legal studies terhadap hukum juga ikut
membicarakan antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen
konstruktif mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan
pelaksanaan doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide,
yang selalu dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai
bentuk eksperimen kolektif. Para penganut aliran critical legal studies
menganalisis dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn
yang ada yang mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi
penuh, dengan hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul
argumentasi alternatif yang bersifat persuasif.
Para
pengritik memperbedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga mereka
sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai suatu
putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat memperjelas
duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan dalam hidup
adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Para
pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif, akan
sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk mensakralkan
setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.
C. Program
– program Institusional dari Aliran Critical Legal Studies
Para
penganut aliran critical legal studies juga mengritik pandangan modern tentang
organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal
studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan hegara, akan
cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang
bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa
membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar