Selasa, 31 Januari 2012

Teori Keadilan

TEORI  KEADILAN   JOHN  RAWL
OLEH  :  DR. H.ZAINAL  ASIKIN,SH,SU
Masyarakat adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan di antara individu. Namun, yang terjadi dalam masyarakat tidak hanya bersifat cooperate melainkan juga kompetitif, bahkan tidak jarang saling menjatuhkan di antara yang lain. Kenyataan ini memberikan ruang pada konsep keadilan, bagaimana mengatur kehidupan individu-individu yang berbeda dan sama-sama mempunyai kepentingan sendiri, sehingga bisa berjalan bersama saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak lain. Tulisan ini mengungkap pemikiran John Rawls dalam bukunyaA Theori of Justice yang berusaha menjawab persoalan tersebut.
Peta Pemikiran Etika.
Sebelum berbicara tentang Rawls, perlu dipetakan dulu pemikiran etika secara keseluruhan, sehingga diketahui posisi konsep keadilan Rawls dalam kancah pemikiran etika. Harus dikatakan bahwa etika bukan disiplin ilmu tersendiri yang terpisah dari lainnya melainkan justru merambah pada seluruh sendi keilmuan, teoritis maupun praktis. Ia adalah salah satu dari sekian fondasi peradaban manusia. Di sini akan dilihat persoalan-persoalan etika dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusannya, etika dalam dataran normatif (teoritis), sosial dan hukum.
A. Pertama, dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusan moral.
Ada tiga kelompok pemikiran dalam masalah ini.
(1) Antara ekspresi dan tuntutan (assertion). Menurut kelompok ini, sebuah tindakan adalah wujud dari ekspresi langsung dari pelaku atau sikap yang tanpa harus dipikir lebih dulu. Artinya, sumber keputusan moral adalah reaksi langsung, insting dan gharizah tanpa berkaitan dengan kondisi lingkungan (lokus dan tempus). Sebaliknya, menurut yang lain, sumber tindakan moral adalah adanya tuntutan dari lingkungan, misalnya, sikap ketika menghadap raja berbeda dengan ketika menghadapi bawahan.
(2) Antara pernyataan dari rasa pelaku (personal taste) dan pilihan-pilihan yang dihadapi pelaku (personal preference). Menurut kelompok ini, sumber tindakan moral bukan  gharizah atau kondisi tertentu melainkan pada perasaan yang bersangkutan. Sebaliknya, lawan kelompok ini menyatakan sebuah tindakan dilakukan setelah seseorang mempertimbangkan berbagai alternatif. Artinya, sumber keputusan moral adalah rasio setelah mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada.
(3) Antara subjektif dan objektif. Menurut kelompok ini, moralitas lebih merupakan penilaian subjektif pelaku. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk, itu adalah subjektif. Sebaliknya, menurut yang lain, moralitas adalah objektif, sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya, ketika seseorang menyatakan meja itu hijau, adalah karena kondisi riil meja adalah hijau.
B. Kedua, dataran etika normatif (teoritis). Di sini ada beberapa kelompok  pemikiran.
             (1) Teleologis, paham bahwa baik-buruknya tindakan etis ditentukan oleh tujuan tertentu. Karena itu, menurut kaum teleolog, etika adalah konsep yang relatif terhadap tujuan.  Termasuk dalam kategori ini, antara lain; (a) etika eudamonia, bahwa baik buruknya tindakan manusia dilihat dari sejauh mana ia mampu mengantarkan si pelaku pada kebahagiaan tertinggi. Tokoh utamanya adalah Aristoteles; (b) etika egoisme, bahwa baik buruk perbuatan individu diukur dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan  pribadi si pelaku.Tokohnya, antara lain, GC. Scotti dan Max Sterner; (c) etika utilitarianisme, bahwa benar salahnya perbuatan dilihat pada dampaknya dalam memberikan sebanyak mungkin kebaikan, pada diri pelaku dan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang lain.7 Tokohnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873).
(2) Deontologis, kebalikan dari teleologis, bahwa baik buruk tindakan tidak dilihat pada tujuan atau konsekuensi tindakan melainkan pada perbuatan itu sendiri, dengan merujuk pada aturan perilaku formal, di mana aturan perilaku formal ini dihasilkan dari intuisi atau a priori.  Misalnya, berbohong adalah jelek, karena perbuatan bohong itu sendiri secara moral memang tidak baik, meski ia dilakukan untuk tujuan-tujuan yang baik. Tokoh pemikiran etika ini adalah Immanuel Kant (1724-1804).
(3) Relativisme, bahwa dalam putusan-putusan moral tidak ada kriteria yang absolut. Semua tergantung pada kebudayaan masing-masing individu, sehingga nilai moralitas masing-masing orang atau masyarakat akan berbeda. Pemikiran ini dianut, antara lain, oleh Protagoras, Pyrrho, Westermack, Joseph Fletcher dan kaum skeptis.
(4) Nihilisme, suatu paham yang menyangkal keabsahan alternatif positif manapun. Menurut paham ini, semua putusan nilai etis telah kehilangan kesahehannya, sehingga tidak ada satu pun yang bisa digunakan sebagai patokan etis. Paham ini, antara lain, diberikan oleh Nietzche (1844-1900), Schopenhauer dan Giorgias.(5) Universalisme, bahwa apa yang dianggap baik oleh seseorang harus juga dianggap baik atau benar oleh orang lain dalam situasi yang sama. Misalnya, jika A tidak boleh mencuri dalam situasi tertentu, maka B, C, D dan seterusnya juga tidak boleh mencuri dalam situasi yang serupa.
C. Ketiga, etika dalam kaitannya dengan persoalan masyarakat (sosial).

Ini   lebih bersifat praktis dan langsung menjawab persoalan yang timbul, terbagi dalam tiga pemikiran.

(1) Dalam kaitannya dengan hukum sosial, etika membahas persoalan seperti, euthanasia, aborsi,   pengawasan senjata, kebebasan berbicara, tentang hak kepemilikan dan perlindungan satwa.
 (2) Dalam hubungannya dengan peran negara, etika berbicara tentang kebebasan, hak azazi manusia (HAM), demokrasi dan keadilan.
(3) Dalam kaitannya antara hak dan kewajiban, etika membahas persoalan keadilan dan hak-hak pribadi.

D. Keempat, etika dalam hubungannya dengan hukum (law).

Dalam hal ini   muncul berbagai teori. Antara lain

, (1) Teori hukuman (punishment), bahwa yang berbuat salah mesti dihukum, bisa berupa pemberian ganti rugi (retribution), memberi balas jasa (restitution), atau memberi manfaat pada yang dizalimi (utilitarian).

  (2) Teori tanggung jawab (responsibility), bahwa siapa yang berbuat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di sini berkaitan dengan, apakah tindakan tersebut dilakukan karena tidak-tahu, adanya paksaan atau tekanan, atau karena kesalahan semata.

  (3) Teori kesengajaan berbuat (intentional acts) dan ketidaksengajaan bertindak (unintentional acts), bahwa berkaitan dengan hukum, perlu dilihat apakah tindakan tersebut disengaja (direncanakan) atau tidak direncanakan.  yang samar, “tidak merugikan pihak lain”. Karena itu, di sini harus ada batasan lebih lanjut, yaitu prinsip perbedaan. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang berada dalam pososi yang menguntungkan harus ikut berperan aktif dalam memperbaiki kondisi mereka yang kurang beruntung. Perbaikan kondisi ini berupa pengadaan prospek yang sama untuk meraih kedudukan dan fungsinya di mana pembagian sarana social ekonomi tersebut dikaitkan.  Artinya, kegiatan masyarakat yang diasumsikan memenuhi tuntutan kebebasan yang sama (prinsip I) dan tuntutan kesamaan kesempatan yang fair (prinsip II) hanya akandian ggap  adil jika perolehan sarana social ekonomi yang diterima pihak yang menguntungkan   dipergunakan untuk memperbaiki kondisi pihak-pihak yang kurang menguntungkan.   Sekarang marilah kita melihat skema dari prinsip keadilan Rawls dan   penjelaskan atas keempat interpretasi yang mungkin terjadi.

1.  Prinsip Keadilan  Efisiensi dan Kesamaan

Prinsip ini merupakan perpadan antara (a. prinsip efisiensi, dan (b.) kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat. Sistem ini mengandaikan terpenuhinya prinsip I, “kebebasan yang sama”. Diasumsikan juga oleh sistem ini bahwa keadaan ekonomi secara kasar berada pada pasar bebas. Bagi sistem KA, suatu kegiatan stuktur social-ekonomi dianggap adil jika setiap orang mempunyai kebebasan mewujudkan bakat dan kemampuannya untuk mendapatkan apa yang diinginkan sejauh tidak membawa membawa kerugian pada pihak lain.
Rawls mengkritik sistem ini karena bisa melahirkan kesewenang- wenangan. Kesewenang-wenangan ini muncul berdasarkan atas kenyataan bahwa masing-masing individu mempunyai bakat dan keberuntangan alami yang berbeda. Ada sebagian individu yang mempunyai bakat dan keberuntungan alami yang baik, sementara ada sebagian lainnya yang mempunyai bakat dan keberuntungan  kurang bagus. Berdasarkan bakat dan kemampuan yang menguntungkan tersebut suatu pihak dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, sementara pihak lain hanya puas dengan apa yang mereka dapatkan. Karena itu, mereka tidak bisa diberikan fasilitas dan kebebasan yang sama. Tegasnya, interpretasi ini tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah keadilan.
(2) Kesamaan Bebas (KB).
Interpretasi ini dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pertama (KA). Koreksi dibuat dengan memperluas prinsip kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat (b.1), menjadi kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2). Hasilnya, dengan pengandaian prinsip I, system KB merupakan perpaduan antara prinsip efisiensi (a.1) dengan kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2). Dengan interpretasi seperti ini, persoalan tentang adanya bakat-bakat dan kemampuan yang berbeda dapat diatasi. Yaitu, misalnya, diberikan sarana dan latihan yang lebih pada bakat-bakat yang kurang guna mengejar dan memperoleh kedudukannya dalam sosial, sehingga bisa menghindari kesewenang-wenangan.
Namun, Rawls juga masih keberatan atas interpretasi model kedua ini. Alasannya, KB belum memberikan batasan yang jelas dan tegas tentang konsep “tidak membawa kerugian pada orang lain”. Akibatnya, KB masih tidak berbeda dengan KA dan program pemberian sarana serta pelatihan dalam rangka memberikan prospek bagi mereka yang secara alami kurang beruntung menjadi percuma. Artinya, keuntungan pihak-pihak tertentu masih banyak dipengaruhi oleh loteri alam dan keberuntungan.  Karena itu, perlu interpretasi baru yang selain memberikan prospek yang sama pada pihak-pihak yang berbeda juga memperhatikan tuntutan perkembangan bagi mereka yang kurang beruntung oleh alam.
(3) Aristokrasi Alam (AA).
Interpretasi ketiga ini merupakan perpaduan antara prinsip perbedaan (a.2) dengan prinsip kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat (b.1). Secara teoritis, system AA sudah mengajukan tuntutan bagi perkembangan dari yang kurang beruntung. Namun, dalam pelaksanaannya, hal itu masih diserahkan pada kebaikan hati yang beruntung tanpa ada aturan tegas dan sangsi. System ini menerapkan prinsip “noblesse oblige” (darah kebangsawanan membawa kewajiban). Artinya, mereka yang beruntung secara nasib dibiarkan memperoleh kekayaan yang besar karena nantinya mereka berkewajiban untuk membantu dan menaikkan nasib kelompok yang secara alamiah kurang beruntung. Di tanah air, system ini agaknya pernah diterapkan pada masa orde baru. Saat itu, para konglomerat diberi modal dan kesempatan besar dengan harapan bahwa setelah berhasil mereka diharapkan akan membantu usaha kaum usaha kelas menengah dan kecil.
Rawls tidak sepakat juga dengan system ketiga ini. Menurutnya, system ini masih memberi peluang pada kesewenang-wenangan. Sebab, hanya berdasarkan kebaikan hati tanpa aturan yang tegas dan sangsi, tidak ada jaminan bahwa system ini akan berjalan seperti yang diharapkan. Selain itu, pembagian kekayaan dalam system ini masih sangat ditentukan oleh mereka yang secara alamiah beruntung.   Kenyataan yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru juga menunjukkan  kebenaran analisa Rawls ini.
(4) Kesamaan Demokratis (KD).
System KD ini dibangun untuk mengatasi kelemahan-kelemahan system sebelumnya sekaligus menggunakan kelebihan-kelebihannya, khususnya system KB dan AA. Dari KB diambil keunggulan “prospek yang sama” sedang dari AA diambil keunggulan “memperkembangan mereka yang secara alamiah kurang beruntung”. Artinya, system KD merupakan perpaduan antara prinsip perbedaan (a.2) dengan prinsip kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2).
Bagaimana kedua prinsip ini digabungkan? Menurut Rawls, tuntutan bahwa yang beruntung harus berperan dalam mengembangkan prospek bagi mereka yang kurang beruntung, dilakukan dengan cara menyediakan sarana dan pelatihan. Yaitu, mereka yang beruntung wajib menyediakan dana untuk penyediaan sarana dan pelatihan bagi kalangan yang kurang beruntung dalam rangka meningkatkan kemampuan dan menyamamakan prospek. Dengan ketentuan ini, kesewenang-wenangan dalam pembagian kekayaan bisa diatasi.  Ini merupakan interpretasi yang terbaik dari sistem keadilan, dan Rawls berharap sistem kesamaan demokratis (KD) ini bisa menjadi pedoman untuk menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan terpenuhinya keadilan sebagaif airness.
Dalam akhir tulisan ini disampaikan beberapa tanggapan berkaitan dengan
teori keadilan sosial Rawls.
       1. Berkaitan dengan peta pemikiran etika di atas, teori keadilan Rawls agaknya berada dalam persoalan tarik menarik antara keadilan & kebebasan, dan antara hak dan kewajiban, yang merupakan sub-bagian dari pembahasan soal etika sosial.
       2. Dari sisi teoritis, apa yang disampaikan Rawls sebenarnya menarik. Ia membangun teorinya sebagai alternatif atas perilaku etika utilitarian yang dianggap tidak berkeadilan. Namun, teorinya agaknya hanya benar-benar sebuah teori yang tidak banyak bersinggungan dengan fakta sosial, sehingga sulit diaplikasikan meski telah diberikan interpretasi keadilan secara lebih kongkrit. Bagaimana cara membagi kesempatan secara fair, misalnya. Ini adalah sesuatu yang sulit karena menyangkut kekuatan motivasi dan rencana hidup masing-masing orang yang berbeda. Spenello menyatakan bahwa teori keadilan Rawls hanya mimpi.
       3. Dari sudut teknis sebuah teori keadilan, teori Rawls juga patut dipertanyakan. Soal gagasan “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorenca), khususnya. Ini sulit diterima nalar dan bahkan sulit dibayangkan. Bagaimana mungkin masyarakat yang diasumsikan rasional, yang harus tahu benar tentang kepentingannya sendiri, kepentingan orang lain, persoalan politik dan seterusnya tetapi pada waktu yang sama dituntut juga untuk tidak tahu tentang diri sendiri dan masyarakatnya. Dituntut tidak boleh tahu tentang bakat alaminya, tentang kepentingan dan tujuan hidupnya, bahkan jenis kelaminnya. Seperti ditulis

Menurut  Robert Paul Wolff, teori keadilan Rawls ini tidak dapat diterima oleh filsafat  ilmu pengetahuan. Karena  :
      1. Berkaitan dengan makna keadilan. Keadilan –sebagaimana juga ditulis Wallance Matson44-- adalah persoalan benar dan salah, tetapi Rawls justru memberikan prinsip kebebasan. Kebebasan bukan paradigma keadilan melainkan berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut dengan kompetisi soal ekonomi dalam kehidupan sosial. Kenyatannya, Rawls justru lebih banyak berbicara tentang distribusi kekayaan. Karena itu, Rawls sesungguhnya tidak mendiskusikan tentang keadilan melainkan distribusi kekayaaan.
       2 Berkaitan dengan kerangka dasar teori yang digunakan. Menurut Rawls, ia membangun teorinya berdasarkan kerangka teori Locke, Rousseau dan Kant. Khusus tentang teori Kant, ia mendasarkan ethikanya pada tiga prinsip; otonomi, imperatif kategoris dan rasionalitas. Akan tetapi, Rawls justru membuat asumsi dasar masyarakat dengan veil of ignorence dan original position. Menurut Oliver Johnson,45 ini terjadi mungkin karena Rawls salah memahami prinsip-prinsip dasar etika Kant di atas, sehingga ia bukan Kantian melainkan justri anti-Kantian.
       3. Berkaitan dengan konsep Rawls tentang keluarga sebagai lembaga pendidikan keadilan, muncul persoalan, bagaimana dengan tradisi kurang terdidik dan terbelakang, dalam arti biasa hidup dalam kekerasan. Keluarga seperti ini sulit diharapkan mampu memberikan pendidikan keadilan karena terbiasa dalam kekerasan dan penindasan. Konsep Rawls ini juga akan terbentur dengan model tradisi yang berbeda, atau tradisi yang tidak menunjang kearah pembentukan masyarakat yang diangankan Rawls


Tidak ada komentar:

Posting Komentar