Senin, 23 Januari 2012


REFORMASI   POLITIK
YANG   BIADAB
Oleh  DR. H. ZAINAL ASIKIN, SH, SU

A.Pendahuluan

            Ketika tahun 1999 saya  turun ke jalan mengajak mahasiswa melakukan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter dan korup,  tidak pernah terpikir bagi saya dan mahasiswa  tentang resiko, meskipun desingan peluru menghujam ke tembok tembok kampus yang sengaja diarahkan oleh aparat keamanan yang “pro Orde Baru “.   Hanya satu yang dipikirkan oleh gerakan reformasi  adalah bagaimana sebuah rezim jatuh dan tergantikan  oleh suasana baru dan  iklim politik baru yang lebih demokratis.
            Dan ahirnya gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, meskipun ketika itu  kaum reformis belum siap dengan konsep Indonesia Baru yang lebih bermartabat,  semua belum siap bagaimana mengelola sebuah Negara yang demokratis, mengelola sebuah kehidupan politik  yang  santun, bagaimana merumuskan nilai nilai kebaruan  yang  beretika, dan membangun kehidupan ekonomi yang menghidupi rakyat.
            Nah sekonyong konyong,  muncul para Rambo Rambo  politik,  para  reformis gadungan (yang dulu tidak pernah terdengar) tiba tiba mengaku sebagai tokoh reformasi Indonesia  yang “  gila dan kemaruk  kekuasaan “   dengan membuat partai  politik, membuat  undang undang partai politik, undang undang susunan dan kedudukan anggota DPR  dan  DPRD   yang memberikan kekuasan  yang  “ super kepada DPR.   
            Oleh sebab itu jika sekarang orang menggembar gemborkan bahwa KPK adalah lembaga super body, maka pernyataan itu salah sama sekali karena  lembaga superbody di Indonesia adalah DPR, karena seluruh pengangkatan apa saja di Indonesia harus persetujuan DPR.    Tidak ada pengangkatan lembaga public tanpa melalui DPR, bahkan Negara Asing jika ingin menempatkan Duta dan Konsulnya di Indonesia harus persetujuan DPR. Ini sudah benar benar  gila.  Tapi itulah  kesalahan awal reformasi politik  yaitu “  ketidak siapan reformasi ini melakukan seleksi awal “  tentang  “ hukum hukum moralitas  dan sumberdaya yang berkualitas “.


  1. Parlemen  Yang Biadab

Salah satu kesalahan awal yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dan para reformis gadungan itu adalah sekonyong  konyong membuat undang undang partai politik yang melarang pegawai negeri untuk  berpolitik dan bergabung dalam partai politik, padahal kita tahu sumber daya manusia  yang berkualitas berada di kantor kantor pemerintah, di kampus kampus dan di lembaga non depertemen.   Maka peraturan itu memaksa partai politik melakukan seleksi kader  secara semrawut, asal asalan  dan sama sekali tidak melakukan  seleksi secara ketat apalagi berjenjang karena memang partai politik harus segera berkuasa melalui Pemilu 1999 .
Akibat kesalahan awal ini maka parlemen kita diisi oleh politisi  gadungan, politisi yang kerjaannya tidur, nonton film porno,  atau marah marah pada menteri karena dengan marah tertutuplah kelemahannya. Bagaimana tidak saya melihat ada anggota parlemen yang asalnya dari tukang parkir terminal,  bahkan yang mengejutkan saya ada anggota parlemen daerah berprofesi sebagai mucikari ?   Itulah akibat tidak adanya seleksi yang ketat untuk bisa menjadi kader partai.
  
Parlemen kita tidak lebih sebagai “  pasar “ tempat traksaksi anggaran  yang akhirnya menggeret hampir  seluruh anggota parlemen di Indonesia , dari tingkat Kabupaten, Propinsi, dan Pusat  masuk pada pusaran “ korupsi yang memalukan “.   Bagaimana dengan eksekutif ?    Eksekutif kita di Indonesia, juga sama saja, dihuni oleh politisi, karena melalui jalur politiklah orang bisa menjadi gubernur, bupati dan walikota.  Kendati jalur independent dibolehkan, tapi jalur ini banyak mengalami jalan berliku yang dibuat oleh politisi.   Akibat lebih jauh adalah hampir di seluruh Indonesia para pimpinan daerah terlibat kasus korupsi yang sangat memalukan.  Yang menyakitkan  sekali bahwa koruptor yang ditangani KPT itu mayoritas berasal dari Partai yang memakai nama Islam.

Rapuhnya mentalitas politisi Indonesia juga disebabkan tidak adanya kaidah kaidah dan etika politik yang dimiliki oleh partai politik, sehingga   begitu mudahnya seorang lompat dari partai politik yang satu ke partai politik yang lain. Padahal partai politik adalah  sebuah  perjuangan idiologi yang  sejatinya  ditanamkan secara  militant pada kader partai. Tapi jika partai politik tidak memiliki adab pengkaderan maka muncullah kader kutu loncat yang sekedar cari untung pribadi, bukan berpolitik untuk membangun kehidupan politik yang lebih  prospektif.

Kondisi kondisi di atas adalah pemicu lahirnya sebuah Parlemen yang biadab dan eksekutif  yang tidak bermartabat, sehingga mereka menjadi bangga jika  berjalan jalan (studi banding) ditengah tengah kesulitan bangsa ini membangun ekonomi, mereka bangga membangun WC senilai 2 Milyar  atau membeli korsi senilai 25 Juta.


  1. Menuju Orde Baru Jilid Kedua

Menyaksikan sinetron politik yang ada di Indonesia, maka  nampaknya pembangunan politik di Indonesia tidak dapat lagi sepenuhnya diserahkan kepada politisi dan partai politik.  Karena partai politik dan politisi telah menunjukkan kegagalannya dalam melaksanakan amanah reformasi di Indonesia.
Gerakan melakukan pembaharuan harus segera dilakukan jika tidak mengharapkan kehancuran bangsa ini kearah yang  lebih gawat.
Mengharapkan para politisi  bersedia memperbaiki hukum hukum yang lebih rasional  untuk membatasi kewenangan DPR  agar tidak menjadi lembaga superbody dan lembaga yang tidak beradab adalah suatu yang mustahil.
Maka gerakakan reformasi jilid kedua nampaknya perlu dilakukan dengan melakukan   revolusi   yang sistematis  oleh para mahasiswa dan birokrasi yang selama ini menjadi korban politik.
Gerakan ini harus dilakukan dengan mengajak militer melakukan  pembelaan dan memberikan kesempatan kepada militter mengambil peran  dalam reformasi, bukan hanya sebagai pemadam kebakaran dan selalu dibayangi oleh HAM.
Diperlukan Orde Baru jilid II  dengan memberikan semua elemen untuk menikmati kehidupan politik, dan politik bukan hanya milik politisi., apalagi politisi yang tidak beridiologi (politisi lompat  pagar).
Dengan demikinan maka Parlemen Indonesua akan dihuni oleh orang cerdas, birokrat cerdas,  dan ilmuwan cerdas yang mampu merumuskan visi misi Indonesia ke depan.    Bukan parlemen dan eksekuyif  yang menjadi berhala bagi rakyat. Dan sangat menakutkan.
Dengan demikian maka keluhan rakyat kecil yang menyatakan zaman Orde Baru lebih enak dari zaman Reformasi, dengan kata kata bahwa Orde Baru Jilid II lebih bermakna ketimbang reformasi tanpa arah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar