GAYA POLISI REFORMASI
MENYELESAIKAN KONFLIK SAPE
Oleh Dr.
H.Zainal Asikin,SH,SU
( Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram NTB )
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Lombok Pos, 3 hari setelah
tragedi Sape terjadi.
A. PENDAHULUAN
Sulit dibayangkan, ketika era
reformasi ini masih dijumpai tragedi
berdarah “ pembunuhan warga “ yang
dilakukan oleh aparat kepolisian seperti yang terjadi di Pelabuhan Sape Bima NTB
yang menyebabkan 2 warga (, Arif
Rahman dan Saiful ) tewas . Sulit
difahami ketika institusi polisi yang “
katanya “ sedang melakukan reposisi dan
reformasi internal agar menjadi polisi “rakyat “ tapi justru melakukan pembantaian secara bringas kepada rakyat. Alih alih akan
membangun citra kepolisian, semua tragedy yang menimpa rakyat, baik di Bima
NTB maupun di Mesuji Lampung justru akan
menjauhkan rakyat dari kepolisian.
Yang patut disesalkan tragedy seperti ini tidak
pernah saya jumpai dalam era Orde Baru di desa desa atau di kabupaten. Paling
paling bentrokan seperti itu terjadi di Ibukota Negara ketika mahasiswa
melakukan demontrasi dan dihalau oleh aparat TNI ( yang juga polisi masuk di
dalamnya)., Tetapi ketika polisi telah
keluar dari TNI, ternyata tindakan
aparat kepolisian yang telah
keluar dari wilayah tentara ini melebihi tindakan tentara yang memang terlatih
keras menghadapi medan perang. Dan
polisi reformasi ini ternyata memiliki dan mewarisi mentalitas yang demikian
beringas jika menghadapi tindakan
demonstrasi maupun unjuk rasa. Tindakan
beringas ini hampir terjadi secara masiv di seluruh Indonesia. Tentunya ada yang salah dari intitusi kepolisian dalam memandang
persoalan masyarakat, baik salah dalam melakukan pendekatan, maupun keliru
dalam menafsirkan sebuah peraturan hukum ( Protap) yang dijadikan pedoman
dalam melakukan tindakan hukum.
Kepolisian
tentunya sulit mau membela diri
dengan mengatakan bahwa tindakan itu tidak melanggar HAM , karena bukti tak terbantahkan bahwa warga sipil telah tewas tertembak oleh peluru
tajam (hal ini mengindikasikan tindakan
polisi memang melakukan kesengajaan
mengarahkan senjata pada korban
) yang belum tentu pihak yang melakukan
tindakan anarkis (membawa senjata tajam
), dan belum tentu korban adalah pembawa bom molotov yang harus dilumpuhkan
dengan dalih polisi membela diri.
Yang paling menyakitkan, adalah sampai tulisan
ini saya buat tidak ada satupun rasa penyesalann
dari intitusi Polri atas para korban
tersebut dengan menyatakan maaf kepada keluarga korban. Tapi justru
Kapolri melalui berbagai masmedia mengumbar komprensi pers bahwa
tindakan itu telah benar secara yuridis
( Protap No 1/X/ 2010).
Dari pengantar di atas saya berkesimpulan
bahwa ada hal keliru dalam isntitusi
Polri dari tingkat pusat sampai daerah
tentang bagaimana memandang “ hukum “ dan bagaimana menyelesaikan “ konflik “
melalui pendekatan sosial dan psikologi
hukum.
B. MEMBUNUH
DEMI KEPASTIAN HUKUM
Dalam berbagai kesempatan Humas Polri
Pak Boy , dalam menyikapi
tragedi Bima, bahwa tindakan aparat
kepolisian yang melakukan pembubaran unjuk rasa yang memblokade pelabuhan Sape
sehingga menimbulkan korban jiwa adalah tindakan yang sesuai dengan
hukum ( Protap). Pertanyaannya, bolehkah
dalam dunia penegakan hukum melakukan
pembunuhan demi sebuah kepastian hukum yang diatur dalam Protap No.1/x/ 2010.
Kalau alasan telah sesuai dengan Protap, lalu nyawa boleh dikorbankan secara mudah,
maka aparat kepolisian RI telah keliru dalam mempelajari hukum dan axiologi hukum. Hukum apapun bentuknya apalagi hanya sebuah
Protap tidak boleh di agung agungkan demi sebuah kepastian hukum. Nampaknya intitusi Polri harus lebih banyak belajar tentang teori teori hukum secara sosiologis yang
diajarkan oleh Roscoe Pound, Teori
Kamanfaatan Hukum ( utility teori) oleh Jeremy Bentham, maupun tokoh tokoh realisme
hukum lainnya.
Jika memahami teori itu maka jelaslah betapa
hukum itu bertujuan untuk memberikan kamaslahatan, keadilan, kedamaian, dan perlindungan yang paripurna bagi
masyarakat. Hukum tidak harus
mementingkan “ kepastian “ tapi
mengorbankan jiwa dan martabat manusia. Protap tidak harus ditafsirkan kaku, kemudian
harus dilaksanakan dengan tafsir
gramatikal yang menyebabkan
polisi boleh menembak sampai mati
karena telah dilindungi oleh hukum. Nampaknya polisi lupa ada interpretasi
teleologis dalam memaknai hukum agar benar benar sesuai dengan kondisi yang terjadi. Ternyata aparat kepolisian
belum mampu membunuh hatinya sebagai pengayom demi menghidupi jiwa jiwa rakyat
yang mendambakan kedamaian.
Hukum atau Protap baru bekerja
apabila seluruh mekanisme hukum berjalan dengan
sehat dan berimbang. Dalam kontes
penggunaan Protap, maka yang perlu
dipertanyakan ialah : apakah kepolisian telah melakukan “ alternative dispute
resolution “ sebelum melakukan tindakan memakai
Protap ? Acapkali sepengetahuan
penulis di dalam berbagai tindakan
pembubaran aksi, aparat kepolisian
tidak maksimal mempergunakan cara cara “ negosiasi atau mediasi “.
Kalaupun itu dilakukan maka, kegagalan negosiasi dan mediasi itu lebih
banyak diakibatkan oleh kurang profesionalisme yang dilakukan oleh aparat
kepolisian . Negosisi ataupun mediasi
dalam suasana yang krusial haruslah
ditangani oleh tenaga yang profesional, memahami ilmu negosiasi, memahami ilmu
psikologi hukum dan ilmu sosiologi massa. Dan itu hanya dimiliki oleh paling
tidak aparat kepolisian yang berpangkat Perwira Menengah (Komisaris Besar Polisi, Ajun
Komisaris Besar Polisi , Komisaris Polisi) , akan
tetapi negotiator polisi terkadang hanya dilakukan oleh aparat yang
berpangkat Perwira Pertama atau Bintara.
Hal itu tentunya tidak akan dapat
tercapai kesepakatan. Dan manakala
terjadi kegagalan negosiasi disebabkan oleh ketidak mampuan melakukan mediasi,
apakah dapat menjadi alasan dilakukan penyerangan dengan dalih menegakkan
Protap ?
Saya berpendapat jika kegagalan negosiasi itu
akibat kesalahan polisi dalam melakukan
negosiasi baik karena ketidak
mampuan personal dan substansial maka penggunaan Protap adalah tindakan
melanggar hukum dan melanggar HAM.
Kepastian hukum dengan menerapkan Protap dapat
dibenarkan apabila seluruh mekanisme dilakukan secara benar dalam seluruh
dimensi hukum, bukan hanya tafsir sepihak dari aparat kepolisian.
C.
Benarkah Alasan Pembelaan Diri
Acapkali aparat kepolisian dalam melakukan
tindakan pembubaran aksi massa dengan
melakukan penembakan dengan dalih “ pembelaan diri “. Dalam kasus di Sape, polisi dalam berbagai
masmedia menyatakan bahwa tindakan
melakukan penembakan ( peringatan) atau tindakan yang
bukan peringatan terpaksa dilakukan
karena massa menyerang petugas.
Argumentasi ini sangat lemah karena :
1.
Alat
bukti yang ditemukan di lokasi baik bom moltov maupun senjata tajam dalam keadaan yang belum dipergunakan .
Apakah hanya dengan melihat orang bawa parang dan bom molotov, maka cukup
menjadi dasar dilakukan tindakan penembakan sehingga menimbulkan korban luka
dan meninggal ?
2.
Korban
yang meninggal , berada bukan di dalam
pelabuhan Sape tapi di luar pelabuhan. Artinya polisi boleh jadi melakukan
tindakan membabi buta terhadap orang yang belum tentu turut unjuk rasa.
Aparat kepolisian melakukan pengalihan issue atas sebuah
tragedi dengan mendramatisir sebuah temuan “ bom molotov “ yang entah berantah dari mana asalnya. Sering mahluk “ bom molotov “ hadir dalam setiap aksi tanpa pernah
dibuktikan siapa yang punya bom molotov dan siapa yang membuatnya. Mahluk “ bom molotov “ wajib harus ada dalam
setiap peristiwa demi melindungi tindakan polisi jika terjadi korban jiwa. Dalam ratusan kali unjuk rasa sewaktu saya
menjadi mahasiswa di era Orde Baru,
bahwa “ bom molotov “ adalah dewa penyelamat polisi agar negara membenarkan
tindakan polisi demi keamanan rakyat sehingga perlu ada korban jiwa. Cara cara Orde Baru itu terus terwarisi sampai saat ini. Nah dalam kasus Sape, polisi harus
membuktikan bahwa bom molotov adalah buatan masyarakat dan harus ditemukan
siapa pembuatnya, Kalau tidak, maka mahluk bernama “ bom molotov “ akan
dianggap sebagai rekayasa.
Berdasarkan logika hukum itu maka sulit kiranya
institusi kepolisian untuk membela diri
dengan menyatakan tindakannya benar dalam rangka pembelaan diri.
Pembelaan diri bukanlah tindakan hukum yang
sederhana, tindakan penembakan adalah
upaya terakhir manakala tindakan lain sudah maksimal dilakukan, misalnya
membubarkan massa melalui pemberian gass air mata, water kanon. dan sebagainya melalui tahap tahap.
Tapi apa yang dilakukan kepolisian di Sape
lebih mirip engan cara cara penyerbuan
terhadap mahasiswa di Uinversitas Trisaksi secara membabi buta sehingga
menimbulkan banyak korban dan menjadi cikal bakal runtuhnya rezim Orde Baru.
Saya yakin jika upaya kepolisian lebih professional tidak akan pernah melayang nyawa
putra putri Indonesia oleh polisinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar