Kamis, 12 Januari 2012

polisi reformasi dalam tragedi sape

GAYA  POLISI REFORMASI
MENYELESAIKAN KONFLIK  SAPE
Oleh  Dr. H.Zainal Asikin,SH,SU
( Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram  NTB )
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Lombok Pos, 3 hari setelah tragedi  Sape terjadi.

A.  PENDAHULUAN
Sulit dibayangkan, ketika era reformasi ini masih dijumpai  tragedi berdarah “ pembunuhan  warga  “  yang dilakukan oleh aparat kepolisian seperti yang terjadi di Pelabuhan Sape  Bima NTB  yang menyebabkan  2 warga (, Arif Rahman dan Saiful ) tewas .   Sulit difahami ketika  institusi polisi yang “ katanya “  sedang melakukan reposisi dan reformasi internal  agar  menjadi polisi “rakyat “  tapi justru melakukan pembantaian secara  bringas kepada rakyat. Alih alih akan membangun citra kepolisian, semua tragedy yang menimpa rakyat, baik di Bima NTB  maupun di Mesuji Lampung justru akan menjauhkan rakyat dari kepolisian.
Yang patut disesalkan tragedy seperti ini tidak pernah saya jumpai dalam era Orde Baru di desa desa atau di kabupaten. Paling paling bentrokan seperti itu terjadi di Ibukota Negara ketika mahasiswa melakukan demontrasi dan dihalau oleh aparat TNI ( yang juga polisi masuk di dalamnya)., Tetapi ketika polisi  telah keluar dari TNI, ternyata tindakan  aparat  kepolisian yang telah keluar dari wilayah tentara ini melebihi tindakan tentara yang memang terlatih keras menghadapi medan perang.  Dan polisi reformasi ini ternyata memiliki dan mewarisi mentalitas yang demikian beringas jika menghadapi  tindakan demonstrasi maupun unjuk rasa.  Tindakan beringas ini hampir terjadi secara masiv di seluruh Indonesia.  Tentunya ada yang salah  dari intitusi kepolisian dalam memandang persoalan masyarakat, baik salah dalam melakukan pendekatan, maupun keliru dalam menafsirkan sebuah peraturan hukum ( Protap) yang dijadikan pedoman dalam  melakukan tindakan hukum.
Kepolisian  tentunya  sulit mau membela diri dengan mengatakan bahwa tindakan itu tidak melanggar HAM , karena  bukti tak terbantahkan bahwa  warga sipil telah tewas tertembak oleh peluru tajam (hal ini mengindikasikan  tindakan polisi memang melakukan kesengajaan  mengarahkan senjata pada  korban )  yang belum tentu pihak yang melakukan tindakan anarkis (membawa  senjata tajam ), dan belum tentu korban adalah pembawa bom molotov yang harus dilumpuhkan dengan dalih polisi membela diri. 
Yang paling menyakitkan, adalah sampai tulisan ini saya buat tidak ada satupun rasa  penyesalann dari intitusi Polri  atas para korban tersebut dengan menyatakan maaf kepada keluarga korban.   Tapi justru  Kapolri melalui berbagai masmedia mengumbar komprensi pers bahwa tindakan itu telah benar secara  yuridis ( Protap No 1/X/ 2010).
Dari pengantar di atas saya berkesimpulan bahwa  ada hal keliru dalam isntitusi Polri dari tingkat pusat  sampai daerah tentang bagaimana memandang “ hukum “ dan bagaimana menyelesaikan “ konflik “ melalui pendekatan  sosial dan psikologi hukum.

B.  MEMBUNUH  DEMI  KEPASTIAN  HUKUM
Dalam berbagai kesempatan  Humas Polri  Pak Boy   , dalam menyikapi tragedi Bima, bahwa tindakan  aparat kepolisian yang melakukan pembubaran unjuk rasa yang memblokade pelabuhan  Sape  sehingga menimbulkan korban jiwa adalah tindakan yang sesuai dengan hukum ( Protap).  Pertanyaannya, bolehkah dalam dunia penegakan hukum  melakukan pembunuhan demi sebuah kepastian hukum yang diatur dalam Protap No.1/x/ 2010.
Kalau alasan telah sesuai dengan Protap,  lalu nyawa boleh dikorbankan secara mudah, maka aparat kepolisian RI telah keliru dalam mempelajari hukum dan axiologi hukum.  Hukum apapun bentuknya apalagi hanya sebuah Protap tidak boleh di agung agungkan demi sebuah kepastian hukum.   Nampaknya intitusi Polri harus lebih banyak  belajar tentang  teori teori hukum secara sosiologis yang diajarkan oleh Roscoe Pound,  Teori Kamanfaatan Hukum ( utility teori)   oleh  Jeremy Bentham, maupun tokoh tokoh realisme hukum lainnya.
Jika memahami teori itu maka jelaslah betapa hukum itu bertujuan untuk memberikan kamaslahatan, keadilan, kedamaian,  dan perlindungan yang paripurna bagi masyarakat.  Hukum tidak harus mementingkan “ kepastian “  tapi mengorbankan jiwa dan martabat manusia.  Protap tidak harus ditafsirkan kaku, kemudian harus dilaksanakan dengan tafsir gramatikal yang menyebabkan  polisi  boleh menembak sampai mati karena telah dilindungi oleh hukum.   Nampaknya polisi lupa ada  interpretasi teleologis dalam memaknai hukum agar benar benar sesuai dengan kondisi  yang terjadi. Ternyata aparat kepolisian belum mampu membunuh hatinya sebagai pengayom demi menghidupi jiwa jiwa rakyat yang mendambakan kedamaian.
Hukum atau Protap baru bekerja apabila seluruh mekanisme hukum berjalan dengan  sehat dan berimbang.  Dalam kontes penggunaan Protap, maka  yang perlu dipertanyakan ialah : apakah kepolisian telah melakukan “ alternative dispute resolution “ sebelum melakukan tindakan memakai  Protap ?   Acapkali sepengetahuan penulis di dalam berbagai tindakan  pembubaran aksi, aparat kepolisian  tidak maksimal mempergunakan cara cara “ negosiasi atau mediasi  “.   Kalaupun itu dilakukan maka, kegagalan negosiasi dan mediasi itu lebih banyak diakibatkan oleh kurang profesionalisme yang dilakukan oleh aparat kepolisian .  Negosisi ataupun mediasi dalam suasana yang  krusial haruslah ditangani oleh tenaga yang profesional, memahami ilmu negosiasi, memahami ilmu psikologi hukum dan ilmu sosiologi massa. Dan itu hanya dimiliki oleh paling tidak aparat kepolisian yang berpangkat Perwira Menengah (Komisaris   Besar Polisi,     Ajun  Komisaris  Besar  Polisi , Komisaris Polisi) ,  akan  tetapi negotiator polisi terkadang hanya dilakukan oleh aparat yang berpangkat  Perwira Pertama atau Bintara. Hal  itu tentunya tidak akan dapat tercapai kesepakatan.  Dan manakala terjadi kegagalan negosiasi disebabkan oleh ketidak mampuan melakukan mediasi, apakah dapat menjadi alasan dilakukan penyerangan dengan dalih menegakkan Protap ?
Saya berpendapat jika kegagalan negosiasi itu akibat kesalahan polisi dalam melakukan  negosiasi  baik karena ketidak mampuan personal dan substansial maka penggunaan Protap adalah tindakan melanggar hukum dan melanggar HAM.  
Kepastian hukum dengan menerapkan Protap dapat dibenarkan apabila seluruh mekanisme dilakukan secara benar dalam seluruh dimensi hukum, bukan hanya tafsir sepihak dari aparat kepolisian.
C.     Benarkah Alasan Pembelaan Diri
Acapkali aparat kepolisian dalam melakukan tindakan pembubaran aksi massa   dengan melakukan penembakan  dengan dalih “  pembelaan diri “.  Dalam kasus di Sape, polisi dalam berbagai masmedia menyatakan bahwa  tindakan melakukan penembakan ( peringatan) atau tindakan  yang  bukan peringatan terpaksa dilakukan  karena massa menyerang petugas.  Argumentasi ini sangat lemah karena :
1.        Alat bukti yang ditemukan  di lokasi  baik bom moltov maupun senjata tajam  dalam keadaan yang belum dipergunakan . Apakah hanya dengan melihat orang bawa parang dan bom molotov, maka cukup menjadi dasar dilakukan tindakan penembakan sehingga menimbulkan korban luka dan meninggal ?
2.        Korban yang meninggal , berada bukan  di dalam pelabuhan Sape tapi di luar pelabuhan. Artinya polisi boleh jadi melakukan tindakan membabi buta terhadap orang yang belum tentu turut unjuk rasa.
Aparat kepolisian  melakukan pengalihan issue atas sebuah tragedi dengan mendramatisir sebuah temuan “ bom molotov “  yang entah berantah dari mana asalnya.   Sering mahluk “ bom molotov “  hadir dalam setiap aksi tanpa pernah dibuktikan siapa yang punya bom molotov dan siapa yang membuatnya.  Mahluk “ bom molotov “ wajib harus ada dalam setiap peristiwa demi melindungi tindakan polisi jika terjadi korban jiwa.   Dalam ratusan kali unjuk rasa sewaktu saya menjadi mahasiswa di era Orde Baru,  bahwa “ bom molotov “ adalah dewa penyelamat polisi agar negara membenarkan tindakan polisi demi keamanan rakyat sehingga perlu ada korban jiwa.  Cara cara Orde Baru  itu terus terwarisi sampai saat ini.    Nah dalam kasus Sape, polisi harus membuktikan bahwa bom molotov adalah buatan masyarakat dan harus ditemukan siapa pembuatnya, Kalau tidak, maka mahluk bernama “ bom molotov “ akan dianggap sebagai rekayasa.
Berdasarkan logika hukum itu maka sulit kiranya institusi kepolisian untuk membela diri  dengan menyatakan tindakannya benar dalam rangka pembelaan diri.
Pembelaan diri bukanlah tindakan hukum yang sederhana,  tindakan penembakan adalah upaya terakhir manakala tindakan lain sudah maksimal dilakukan, misalnya membubarkan massa melalui pemberian gass air mata, water kanon.  dan sebagainya melalui tahap tahap.
Tapi apa yang dilakukan kepolisian di Sape lebih mirip engan cara cara penyerbuan  terhadap mahasiswa di Uinversitas Trisaksi secara membabi buta sehingga menimbulkan banyak korban dan menjadi cikal bakal runtuhnya rezim Orde Baru.
Saya yakin jika upaya kepolisian lebih  professional tidak akan pernah melayang nyawa putra putri   Indonesia oleh polisinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar