REFORMASI POLITIK
YANG BIADAB
Oleh DR. H.
ZAINAL ASIKIN, SH, SU
A.Pendahuluan
Ketika
tahun 1999 saya turun ke jalan mengajak
mahasiswa melakukan gerakan reformasi untuk menumbangkan rezim Orde Baru yang
otoriter dan korup, tidak pernah
terpikir bagi saya dan mahasiswa tentang
resiko, meskipun desingan peluru menghujam ke tembok tembok kampus yang sengaja
diarahkan oleh aparat keamanan yang “pro Orde Baru “. Hanya satu yang dipikirkan oleh gerakan
reformasi adalah bagaimana sebuah rezim
jatuh dan tergantikan oleh suasana baru
dan iklim politik baru yang lebih
demokratis.
Dan
ahirnya gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru, meskipun
ketika itu kaum reformis belum siap
dengan konsep Indonesia Baru yang lebih bermartabat, semua belum siap bagaimana mengelola sebuah
Negara yang demokratis, mengelola sebuah kehidupan politik yang
santun, bagaimana merumuskan nilai nilai kebaruan yang
beretika, dan membangun kehidupan ekonomi yang menghidupi rakyat.
Nah
sekonyong konyong, muncul para Rambo
Rambo politik, para reformis gadungan (yang dulu tidak pernah
terdengar) tiba tiba mengaku sebagai tokoh reformasi Indonesia yang “
gila dan kemaruk kekuasaan “ dengan membuat partai politik, membuat undang undang partai politik, undang undang
susunan dan kedudukan anggota DPR
dan DPRD yang memberikan kekuasan yang “
super kepada DPR.
Oleh
sebab itu jika sekarang orang menggembar gemborkan bahwa KPK adalah lembaga
super body, maka pernyataan itu salah sama sekali karena lembaga superbody di Indonesia adalah DPR,
karena seluruh pengangkatan apa saja di Indonesia harus persetujuan DPR. Tidak ada pengangkatan lembaga public tanpa
melalui DPR, bahkan Negara Asing jika ingin menempatkan Duta dan Konsulnya di Indonesia harus
persetujuan DPR. Ini sudah benar benar
gila. Tapi itulah kesalahan awal reformasi politik yaitu “
ketidak siapan reformasi ini melakukan seleksi awal “ tentang
“ hukum hukum moralitas dan
sumberdaya yang berkualitas “.
- Parlemen Yang Biadab
Salah satu
kesalahan awal yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dan para reformis
gadungan itu adalah sekonyong konyong
membuat undang undang partai politik yang melarang pegawai negeri untuk berpolitik dan bergabung dalam partai politik,
padahal kita tahu sumber daya manusia
yang berkualitas berada di kantor kantor pemerintah, di kampus kampus
dan di lembaga non depertemen. Maka
peraturan itu memaksa partai politik melakukan seleksi kader secara semrawut, asal asalan dan sama sekali tidak melakukan seleksi secara ketat apalagi berjenjang
karena memang partai politik harus segera berkuasa melalui Pemilu 1999 .
Akibat
kesalahan awal ini maka parlemen kita diisi oleh politisi gadungan, politisi yang kerjaannya tidur,
nonton film porno, atau marah marah pada
menteri karena dengan marah tertutuplah kelemahannya. Bagaimana tidak saya
melihat ada anggota parlemen yang asalnya dari tukang parkir terminal, bahkan yang mengejutkan saya ada anggota
parlemen daerah berprofesi sebagai mucikari ?
Itulah akibat tidak adanya seleksi yang ketat untuk bisa menjadi kader
partai.
Parlemen kita
tidak lebih sebagai “ pasar “ tempat
traksaksi anggaran yang akhirnya
menggeret hampir seluruh anggota
parlemen di Indonesia , dari tingkat Kabupaten, Propinsi, dan Pusat masuk pada pusaran “ korupsi yang memalukan
“. Bagaimana dengan eksekutif ? Eksekutif kita di Indonesia, juga
sama saja, dihuni oleh politisi, karena melalui jalur politiklah orang bisa
menjadi gubernur, bupati dan walikota.
Kendati jalur independent dibolehkan, tapi jalur ini banyak mengalami
jalan berliku yang dibuat oleh politisi.
Akibat lebih jauh adalah hampir di seluruh Indonesia para pimpinan daerah
terlibat kasus korupsi yang sangat memalukan.
Yang menyakitkan sekali bahwa
koruptor yang ditangani KPT itu mayoritas berasal dari Partai yang memakai nama
Islam.
Rapuhnya
mentalitas politisi Indonesia
juga disebabkan tidak adanya kaidah kaidah dan etika politik yang dimiliki oleh
partai politik, sehingga begitu
mudahnya seorang lompat dari partai politik yang satu ke partai politik yang
lain. Padahal partai politik adalah
sebuah perjuangan idiologi
yang sejatinya ditanamkan secara militant pada kader partai. Tapi jika partai
politik tidak memiliki adab pengkaderan maka muncullah kader kutu loncat yang
sekedar cari untung pribadi, bukan berpolitik untuk membangun kehidupan politik
yang lebih prospektif.
Kondisi
kondisi di atas adalah pemicu lahirnya sebuah Parlemen yang biadab dan
eksekutif yang tidak bermartabat,
sehingga mereka menjadi bangga jika berjalan jalan (studi banding) ditengah tengah
kesulitan bangsa ini membangun ekonomi, mereka bangga membangun WC senilai 2
Milyar atau membeli korsi senilai 25
Juta.
- Menuju Orde Baru Jilid Kedua
Menyaksikan sinetron politik yang ada di
Indonesia, maka nampaknya pembangunan
politik di Indonesia tidak dapat lagi sepenuhnya diserahkan kepada politisi dan
partai politik. Karena partai politik
dan politisi telah menunjukkan kegagalannya dalam melaksanakan amanah reformasi
di Indonesia.
Gerakan melakukan pembaharuan harus segera
dilakukan jika tidak mengharapkan kehancuran bangsa ini kearah yang lebih gawat.
Mengharapkan para politisi bersedia memperbaiki hukum hukum yang lebih
rasional untuk membatasi kewenangan
DPR agar tidak menjadi lembaga superbody
dan lembaga yang tidak beradab adalah suatu yang mustahil.
Maka gerakakan reformasi jilid kedua nampaknya
perlu dilakukan dengan melakukan revolusi
yang sistematis oleh para
mahasiswa dan birokrasi yang selama ini menjadi korban politik.
Gerakan ini harus dilakukan dengan mengajak
militer melakukan pembelaan dan
memberikan kesempatan kepada militter mengambil peran dalam reformasi, bukan hanya sebagai pemadam
kebakaran dan selalu dibayangi oleh HAM.
Diperlukan Orde Baru jilid II dengan memberikan semua elemen untuk
menikmati kehidupan politik, dan politik bukan hanya milik politisi., apalagi
politisi yang tidak beridiologi (politisi lompat pagar).
Dengan demikinan maka Parlemen Indonesua akan
dihuni oleh orang cerdas, birokrat cerdas,
dan ilmuwan cerdas yang mampu merumuskan visi misi Indonesia ke
depan. Bukan parlemen dan
eksekuyif yang menjadi berhala bagi rakyat.
Dan sangat menakutkan.
Dengan demikian maka keluhan rakyat kecil yang
menyatakan zaman Orde Baru lebih enak dari zaman Reformasi, dengan kata kata
bahwa Orde Baru Jilid II lebih bermakna ketimbang reformasi tanpa arah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar